Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara
Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat
bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari
Indhia bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu
kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan
sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa
prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara
Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di
Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga),
Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina).
Konon sejarah yang berkembang di bumi Nusantara ini
mengenai munculnya aksara Jawa dilatarbelakangi dari cerita pada jaman dahulu,
di Pulau Majethi hidup seorang satria sakti mandraguna bernama Ajisaka. Sang
Satria mempunyai dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa
itu sangat setia kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan
perintahnya. Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelana meninggalkan
Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora,
sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga
pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan
pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Sembada
menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.
Pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang
terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan. Rajanya
bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana.
Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat
pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya
tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu. Ketika tanpa
sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang
sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyakan kepada Ki Juru
Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang
Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari
rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai
kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik
seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya.
Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena
rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri.
Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang
bisa dihaturkan kepada rajanya.
Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya Dora
tiba di Medhangkamulan, heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan
menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat
keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu
menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu
Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang
bila Ajisaka yang harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat
tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak
habis pikir, mengapa Ajisaka mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi
santapannya. Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu
asalkan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya.
Di samping itu, harus Sang Prabu
sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu
menyanggupi permintaannya. Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik
ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya.
Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga
akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh
Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah
menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan,
Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulau Majethi menggambil pusaka yang
dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan
menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada
tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka
ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu
memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua
punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung
seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar
oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa
kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk
mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai
berikut:
Ha Na Ca Ra Ka
“ada utusan”
Da TA Sa Wa La
“saling berselisih pendapat”
Pa Dha Ja Ya Nya
“sama-sama sakti”
Ma Ga Ba Tha Nga
“sama-sama mejadi mayat”
Aksara Jawa Hanacaraka
Tanda baca & pelengkap pada aksara Hanacaraka
Sumber :
1.
http://media.kompasiana.com/buku/2012/05/23/menyelami-makna-hanacaraka/
2.
http://nisyacin.blogdetik.com/tag/huruf-jawa-aksara-jawa-hanacaraka/
3.
http://blog.rawins.com/2010/07/hanacaraka-aji-saka.html
mantap
ReplyDeletedi read more mas.....
ReplyDelete