A. PENGERTIAN GENDER
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian
gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis
kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima
analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan sosial. Seks
adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi
biologis dan merupakan kodrat Tuhan . Menurut Mansour Faqih, sex berarti
jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat
menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan
tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja .
Sedangkan gender, secara etimologis gender
berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin . Tetapi Gender
merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh
laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang.
Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor
biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan
cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat,
waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat .Dalam
batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status
yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima
atau diperoleh.
Gender merupakan analisis yang digunakan
dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk
mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender
bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan
pengukuran terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang
terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan
semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap
mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka
perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar
kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat
dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah
diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan
berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
B. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN
Yang dimaksud bias gender adalah
mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial atau
kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas
pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga
menyebabkan ketimpangan gender.
Berbagai bentuk kesenjangan gender yang
terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga
dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang
berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan
cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam
masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam
pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
1. Kurangnya partisipasi. partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah.
2. Kurangnya keterwakilan. Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun
pimpinan juga menunjukkan kecenderungan disparitas progresif.
3. Perlakuan yang tidak adil. Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat
merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang
lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan.
Menurut Philip Robinson, ketimpangan dalam
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ketimpangan pada akses
terhadap pendidikan dan ketimpangan pada hasil atau outcome pendidikan.
Akses perempuan ke sekolah lanjutan atas dan
perguruan tinggi masih terbatas. Factor yang menghambat akses perempuan
terhadap pendidikan tingkat atas dan tinggi adalah jumlah sekolah yang
terbatas, dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak
perempuan untuk bersekolah dibandingkan laki-laki. Perkawinan dini juga
diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah
kejenjang yang lebih tinggi.
Selain itu juga ditemukan gejala pemisahan
gender dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk
diskriminasi gender secara sukarela ke dalam bidang keahlian. Pemilihan
jurusan – jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi
domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam
menopang keonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih
keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri. Penjurusan pada
pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih
terdapatnya stereotype dalam sistem pendidikan di Indonesia yang
mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender.
Sebagai contoh, bidang ilmu sosial pada umumnya didominasi siswa
perempuan, sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi siswa
laki-laki.
Sedangkan ketimpangan pada hasil pendidikan
adalah perbedaan akhir pendidikan. Ketimpangan pada hasil pendidikan
menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada
prestasi pendidikan. Prestasi di antara mereka tidak sepadan. Prestasi
laki-laki lebih tinggi atau lebih baik daripada perempuan.
Ketimpangan akses pendidikan dapat berdampak
pada feminisasi dalam pendidikan. Ketidaksamaan kesempatan dalam
pendidikan antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada
kecenderungan melihat bahwa perempuan hanya bisa diterima pada sistem
pendidikan tertentu. Di masyarakat berkembang sikap bahwa perempuan
hanya cocok pada jenis pendidikan tertentu dan tidak pantas memilih
sistem pendidikan lainnya.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk
yang berjenis kelamin perempuan maka, secara otomatis perempuan belum
berperan secara maksimal. Terjadinya pengingkaran dan diskriminasi
terhadap hak-hak perempuan menurut Masdar F. Mus’udi pangkal mulanya
adalah disebabkan oleh adanya pelebelan sifat-sifat tertentu pada kaum
perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya perempuan itu lemah,
lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak
patut hidup selain di dalam rumah tangga, dll. Setidaknya ada empat
persoalan yang menimpa perempuan akibat adanya pelebelan ini .
Pertama, meletakkan perempuan di bawah supremasi lelaki, perempuan harus tunduk kepada kaum lelaki. Kedua, perempuan cenderung dimarginalkan, diletakkan di pinggir. Ketiga, karena kedudukannya yang lemah, perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kaum laki-laki. Keempat, perempuan hanya menerima beban pekerjaan yang jauh lebih berat dan lebih lama dari pada yang dipikul kaum laki-laki.
Secara khusus faktor penyebab bias gender dalam Pendidikan adalah:
1. Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang
tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan.
2. Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMU/Madrasah Aliyah perbedaan angka partisipasi menurut gender
lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-
daerah pedesaan dan luar Jawa.
3. Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses
perempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan.
C. KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar,
tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan,
Membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun
keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari
seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam
mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesetaraan
Gender, Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender merupakan
suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan
biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi
mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis
kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki
dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi
dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan
adil dari pembangunan.
Dasar persamaan pendidikan menghantarkan
setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro
menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan
kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan
tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.
Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai
pendidikan dasar. Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota
masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir dari kebijakan kependidikan
berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang
setiap saat harus diperjuangkan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa
nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami
bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak
laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak
laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan
menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah. Hal ini
dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan
segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu
orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika
Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam
menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara
yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping
penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim
laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada
setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka
memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan
seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat
setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama
dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian dan
keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua
bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah
awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan
dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan
dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan
menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif,
menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang
tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya
juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf
kemampuan dan minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan
seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara
sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti
gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender (sebab
pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi
anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih
tinggi daripada anak perempuan.
D. UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Ibu sebagai Pusat Pendidikan. Untuk
mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan pendidikan, Athiyah
berpendapat bahwa pendidikan harus dipusatkan pada ibu. Apabila
perempuan terdidik dengan baik, niscaya pemerataan pendidikan telah
mencapai sasaran. Sebab, ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam
keluarga. Minim sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu
adalah sekolah bagi rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi, waktu dan
dilakkukan penuh kasih sayang. Padahal inti demokrasi tertinggi adalah
saat keterbukaan, kerelaan dan persaudaraan telah mencapai tingkat kasih
sayang. Peran ini adalah pendidikan nonformal yang biasa dilakkukan
perempuan di rumah.
Presiden Tanzania, Nyerere pernah mengatakan,
“Jika anda mendidik seorang laki-laki, berarti anda telah mendidik
seorang person, tetapi jika anda mendidik seluruh orang perempuan
berarti anda telah mendidik seluruh anggota keluarga.” Kondisi tersebut
tidak bisa diperoleh lewat pendidikan yang meninggalkan nilai persamaan
dan kemanusiaan.
Sering dipahami bahwa perempuan didominasi
perasaan daripada rasio. Karenanya mereka cenderung sensitive, berbeda
dengan laki-laki yang lebih rasional karena yang dominan dalam dirinya
adalah rasio sehingga perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi
yang melibatkan rasio tersebut. Sebenarnya, kondisi yang sering disalah
tafsirkan ini dari sisi kemanusiaan malah menunjukkan sebaliknya, yaitu
perempuan memliki beberapa kelebihan diantaranya adalah lebih
berperannya hati. Padahal, hati merupakan penentu nilai baik-buruk
individu. Mereka yang dekat dengan alam, tekun dan teliti. Banyak
bidang-bidnag yang membutuhkan kelebihan-kelebihan tersebut.
Di samping itu, dengan hati nurani juga
seseorang membongkar kemunafikan. Bila hati nurani jernih dan bersih,
pasti sesuai dan sama dengan hati nurani bangsa serta rakyat secara
keseluruhan. Memang, perempuan cenderung emosional dan sensitive.
Karenanya, dengan hati dan kesensitivannya mereka mendapatkan
firasat-firasat keibuan yang membuatnya menjadi peka dan memiliki
intuisi tajam akan apa yang ada di permukaan dan kasih sayang. Hal
inilah yang menjadi inti dari nilai kemanusiaan.
Pusat pendidikan pada ibu, dapat memberi
kepekaan diatas sebagaimana kata Rukmini, “Ibulah yang pertama kali
tekun mendidik saya untuk memahami dunia dan kehidupan ini sebagai
keutuhan sistem. Beliau selalu mengajak saya bangun pada malam hari
melihat bintang dan menjelaskan soal jagad gede dan kaitannya dengan
jagad cilik. Dari beliau saya bisa belajar mengenai bagaimana memahami
keberadaan hidup ini dengan cara pandang yang taembus ruang dan
waktu.”Dengan kasih sayangnya Rukmini melakukan pembelaan terhadap siapa
yang lemah dan tertindas. Kepedulian seperti itu tak akan dilakukan
oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani.
Upaya lain untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits yang bias gender dilakukan secaa kontinu agar ajaran agama tidak
dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan
segelintir orang.
2. Muatan kurikulum nasional yang
menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula
kurikulum local dengan berbasis kesetaraan, keadilan dan keseimbangan.
Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang
dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat
Perguruan Tinggi.
3. Pemberdayaan kaum perempuan di sector
pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat
kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten disusaikan dengan kebutuhan
daerah.
4. Pemberdayaan disektor ekonomi untuk
meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industry rumah
tangga. Dengan demikian akan menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada
laki-laki karena salah satu terjadinya marginalisasi pada perempuan
adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki.
5. Pendidikan politik bagi perempuan agar
dilakukan secara intensif untuk menghilangkan melek politik bagi
perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya miliki
laki-laki dan politik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik
adalah seni untuk mecapai kekuasaan. Dengan demikian kuota 30% sesuai
dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi, mengingat pemilih
terbanyak adalah perempuan.
6. Pemberdayaan disektor keterampilan, baik
keterampilan untuk kebutuhan rumah tangga maupun yang memiliki nilai
jual ditingkatan, terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadi
keseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan
sama-sama memiliki keterampilan yang relative bagus.
7. Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan
dalam Rumah Tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan mengetahui
hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amahan dari UUK.
SOCIALIZE IT →