- Makna Sila Keempat
Kerakyatan
berasal dari kata rakyat, yaitu sekelompok manusia. Kerakyatan dalam
hubungannya dengan sila ini menunjukkan makna bahwa kekuasaan tertinggi berada
di tangan rakyat. Karena itu kerakyatan disebut pula sebagai kedaulatan rakyat,
artinya rakyat yang berdaulat/berkuasa dan menentukan, atau diistilahkan dengan
demokrasi, yang berarti rakyat yang memerintah atau pemerintahan dengan
mengikutsertakan rakyat.
Hikmat
kebijaksanaan mengandug arti adanya penggunaan pikiran atau rasio yang sehat
dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur da bertanggung jawab serta didorong
oleh iktikad baik sesuai dengan hati nurani.
Permusyawaratan adalah suatu tata
cara untuk merumuskan dan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat,
sehingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat.
Permusyawaratan merupakan salah
satu cirri khas mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Pwewakilan adalah
suatu system dalam arti tata cara atau prosedur dengan mengusahakan turut
sertanya rakyat untuk mengambil bagian alam kehidupan bernegara melalui
badan-badan atau lembaga-lembaga perwakilan yang ada.
Dengan dekmikian yang dimaksud
dengan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” ialah bahwa
rakyat di dalam menjalankan kekuasaan yang dijalankan dengan mengatasnamakan
rakyat itu ditemph melalui system perwakilan, dan keputusan-keputusan yang
diambil diselenggarakan melalui jalan musyawarah yag dipimpin oleh pikiran yang
sehat serta rasa tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, maupun kepada
rakyat yang diwakilinya.[1]
Pada
pokoknya dasar kerakyatan ini bersumber pada pandangan hidup asli bangsa
Indonesia, yang terkanding diantaranya di dalam pepatah-pepatah dan fatwa-fatwa
adapt bansa Indonesia, yang telah dipusakai dari nenek moyang dan telah
dilaksanakannya dalam asa yang berabad-abad. Sistem kekuasaan menurut pandangan
hidup bangsa Indonesia bukanlah berarti adanya kekuasaan seseorang atas orang
lain, tetapi adalah dalam pengertian memimpi dan membimbing. Sifat memimpin dan
membimbing itu di dalam pandangan asli bangsa Indonesia adalah mencerminkan
prinsip dari rakyat dan untuk rakyat.[2]
Sila
keempat meripakan sendi yang penting daripada asas kekeluargaan, dan asas bahwa
tata pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat.
Hakikat pengertian sila ini selaras dengan:
- Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
”..... maka disusunlah
kemerdekaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat.....”
- Pasal-pasal 1, 2, 3, 28 dan 37 UUD 1945.
Pasal 2:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang.
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun.
3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.
Pasal 3:
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
UndangUndang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pasal 37:
1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar
sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
harus hadir.
2) Putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
- Pengamalan Pancasila Sila Keempat
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat,
setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada
orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil
keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi
oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap
keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Didalam musyawarah diutamakan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggung jawabkan secra moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil
yang dipercayakan untuk melaksanakan permusyawaratan.[3]
Kita pun telah melihat, mendengar dan merasakan bahwa berbagai
permusyawaratan bangsa seringkali hanya untuk kepentingan pribadi atau
golongannya. Sehingga hikmat salah dan benar hanya dipandang dengan sebelah
mata, tidak dipandang secara bijaksana. Padahal yang salah belum tentu salah
atau selamanya salah, begitupun sebaliknya yang benar belum tentu benar atau
selamanya benar, kecuali kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran yang diukur
saling menguntungkan, saling memberi manfaat dan saling memberi nikmat bagi
diri dan bagi bersama.
Dengan melihat sebelah mata maka dalam memilih dan menentukan perwakilan
rakyatnya pun, seringkali menjadi suatu hal yang menyakitkan dan mengecewakan.
Karena rakyat sendiri yang memilih tidak berdasarkan pada hikmat yang
bijaksana, alias hanya melihat dari satu sisi (sebelah mata).[4]
Selain itu
dalam sila ini terkandung nilai demokrasi: pertama, adanya kebebasan yang
disertai tanggung jawab moral terhadap masyarakat, kemanusiaan dan Tuhan;
kedua, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia; ketiga, menjamin dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama; keempat, mengakui
perbedaan pandangan dan kepercayaan dari setiap individu, kelompok, suku dan
agama, karena perbedaan merupakan kodrat bawaan manusia; kelima, Mengakui
adanya persaamaan yang melekat pada setiap manusia dan seterusnya; keenam,
mengarahkan perbedaan ke arah koeksistensi dan solidaritas kemanusiaan;
ketujuh, menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat; kedelapan, mewujudkan
dan mendasarkan kehidupan berdasarkan keadilan sosial.[5]
- Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sila Keempat
Dengan sila
keempat, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, dalam menggunakan hak-haknya dan
menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan
kepentingan masyarakat.
Karena
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak
boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil
keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan
musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai
mufakat ini meliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas
bangsa Indonesia.
Manusia
Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah,
karena itu semua piuhak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya
dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang
diutamakan diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembicaraan yang dengan
musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan,
demi kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan
diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayainya.[6]
SOCIALIZE IT →