- BPUPKI dan PPKI
Pada 29 April 1945, bertepatan
dengan ulang tahun Kaisar Jepang, disampaikanlah “hadiah ulang tahun” yang termuat
dalam maklumat Gunseikan (pembesar sipil dari Pemerintahan Militer Jepang
di Jawa dan Madura), sebagai langkah kongkrit, maka dibentuklah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai (Ismaun, 1972: 62; Lembaga Soekarno-Hatta, 1986: 23).
Menurut Pranarka (1985: 25) peresmian terbentuknya BPUPKI adalah pada 1 Maret 1945.
Janji kemerdekaan dan pembentukan BPUPKI merupakan taktik menarik simpati dan
dukungan bangsa Indonesia terhadap Jepang yang telah terlihat tanda-tanda
kekalahannya.
BPUPKI beranggotakan 62 orang
pemimpin bangsa Indonesia dan 6 orang anggota istimewa bangsa Jepang.
Anggota-anggota tersebut diambil dari para pemimpin dan pejuang nasional
indonesia. Badan ini diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Badan ini
terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Perundingan yang diketuai oleh
Ichibangase (Jepang) dan Bagian Tata Usaha yang diketuai oleh R.P. Suroso.
Berhubung dengan jabatan R.P. Suroso sebagai Kedu Suutyokan dan berdomisili
di Magelang, maka tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Mr. A.G. Pringgodigdo.
Tujuan pembentukan BPUPKI adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting
yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lain-lain
yang dibutuhkan dalam usaha pemebentukan negara Indonesia merdeka (Sartono Kartodirdjo,
1976: 16). Menurut Ismaun (1972: 64), tugas BPUPKI tidak hanya menyelidiki
usaha-usaha persiapan kemerdekaan. BPUPKI juga merancang dasar negara dan
Undang Undang Dasar bagi negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yang
berbeda dengan tujuan awal pembentukannya. Pendapat ini untuk mendukung kesimpulan
bahwa bangsa Indonesia telah menentukan nasibya sendiri untuk mencapai kemerdekaan,
tidak mengikuti begitu saja kemauan Jepang.
Selama keberadaannya, BPUPKI
menyelenggarakan dua kali persidangan. Masa persidangan pertama berlangsung tgl
29 Mei-1 Juni 1945 dan masa persidangan kedua berlangsung tgl. 10-17 Juli 1945.
Masa sidang pertama BPUPKI lebih banyak digunakan untuk membahas tentang dasar negara,
meskipun beberapa orang anggota merasa khawatir jika hal tersebut akan menjadi perdebatan
filosofis yang berkepanjangan, sehingga mereka menghendaki langsung pada pembicaraan
tentang Undang Undang Dasar saja. Masa sidang kedua BPUPKI disampaikan laporan
Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil tentang modus kompromi antara golongan
nasionalis dan golongan Islam yang tertuang dalam rancangan Pembukaan Hukum
Dasar atau lazim disebut Piagam Jakarta. Masa sidang kedua tersebut banyak
membahas tentang materi Hukum Dasar, yang kemudian diubah istilahnya menjadi Undang
Undang Dasar setelah memperoleh penjelasan dari Soepomo. Mengenai pembahasan
tentang dasar negara dan Undang Undang Dasar akan dibahas lebih lanjut pada
bab-bab berikutnya.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibubarkan pada tgl 7 Agustus 1945 dan
pada tanggal tersebut terbentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Iinkai beranggotakan 21 orang, yang
diketuai oleh Soekarno dan wakilnya adalah Mohammad Hatta. Pada tgl. 9
Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat berangkat
ke Dalath, Vietnam, guna mengadakan pembicaraan dengan Jenderal Terauchi, Panglima
Balatentara Jepang wilayah Asia Tenggara. Hasil pembicaraan itu adalah bahwa
kemerdekaan Indonesia akan diselenggarakan sekitar tgl. 29 Agustus 1945.
Sebagai persiapan, PPKI akan mengadakan rapat pada tgl. 19 Agustus 1945.
Ketiga pemimpin tersebut tiba kembali di Jakarta pada tgl. 14 Agustus
1945. Pada tanggal tersebut Jepang menyerah tanpa syarat setelah Amerika
(Sekutu) menjatuhkan bom atom atas kota Nagasaki.
Berita penyerahan tanpa syarat
Jepang kepada Sekutu tersebar di kalangan pemuda, terutama yang bekerja di
Kantor Berita Domei, melalui siaran radio luar negeri. Pada saat-saat yang
kritis sekitar tgl. 15-16 Agustus 1945 tersebut terjadi ketegangan antara kelompok-kelompok
pemuda dengan Soekarno dan Hatta. Pihak pemuda mendesak agar kemerdekaan
diproklamasikan secepat mungkin, tanpa campur tangan Jepang. Mereka juga menuntut
agar proklamasi tidak dilakukan oleh PPKI, sebab badan ini bentukan Jepang.
Jika dilakukan oleh PPKI dikhawatirkan akan timbul image yang jelek,
seakanakan kemerdekaan Indonesia merupakan “hadiah” Jepang. Sebaliknya Soekarno
dan Hatta tampak masih ingin menunggu berita resmi tentang menyerahnya Jepang.
Lagi pula, tokoh-tokoh ini berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaaan harus
dilakukan oleh PPKI, sebab badan ini bersifat legal, formal, dan lebih
representatif mewakili bangsa Indonesia.
Pada tgl. 16 Agustus 1945 pukul
04.30, Soekarno beserta keluarga dan Hatta, dengan kawalan pemuda menuju ke
Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan di wilayah Karawang yang telah bebas dari
kekuasaan asing. Sementara itu di Jakarta pada pukul 10.00 diselenggarakan
rapat gabungan antara PPKI dan pemuda. Golongan pemuda berhasil menyakinkan
golongan yang masih ragu-ragu agar segera memproklamasikan kemerdekaan.
Selanjutnya kelompok Achmad Soebardjo mengusahakan agar Soekarno dan Hatta
segera kembali ke Jakarta. Karena Soekarno dan Hatta masih belum yakin akan penyerahan
Jepang, maka dutuslah Kunto ke Jakarta untuk mendapatkan berita resmi.
Pada pukul 16.00, Kunto telah
kembali ke Rengasdengklok yang membawa berita resmi tentang penyerahan Jepang.
Atas dasar itu Soekarno dan Hatta sanggup memproklamasikan kemerdekaan dan pada
pukul 22.00 mereka berangkat ke Jakarta. Pada pukul 24.00, Soekarno dan Hatta
sampai di kediaman Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang
yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia, di Jalan Imam Bonjol No. 1
Jakarta. Malam itu juga kedua pemimpin itu, dengan diantar oleh Maeda, Mijoshi
(sekretaris), dan Nishijima (penerjemah) dapat menemui Gunseikan, untuk memperoleh
jaminan bahwa Jepang tidak akan campur tangan terhadap langkah-langkah yang
akan diambil oleh bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri.
Pada larut malam menjelang tgl.
17 Agustus 1945, di Jalan Imam Bonjol No. 1 itulah Soekarno, Hatta, Achmad
Soebardjo, Sukarni, Chaerul Saleh, B.M. Diah, Sajoeti Melik, Buntaran, Iwa
Kusumasumantri, dan lain-lain mengadakan pembicaraaan untuk merumuskan redaksi
naskah proklamasi kemerdekaan. Setelah melalui pencoretan dan perbaikan
beberapa kalimat, termasuk penggantian kata-kata “wakil-wakil bangsa Indonesia”
menjadi “atas nama bangsa Indonesia”, maka selanjutnya teks itu diketik oleh Sajoeti
Melik untuk dikemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.
- PROSES PERUMUSAN DASAR NEGARA
Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dr. Radjiman Wedyodiningrat, dalam pidato pembukaan sidang masa
persidangan pertama melontarkan pertanyaan “Apa dasar negara Indonesia yang
akan kita bentuk?”. Terhadap pertanyaan tersebut, beberapa orang anggota merasa
khawatir jika hal tersebut akan menjadi perdebatan filosofis yang
berkepanjangan, sehingga mereka menghendaki langsung pada pembicaraan tentang
Undang Undang Dasar saja. Akan tetapi ternyata persoalan dasar negara menjadi
pembahasan utama dalam persidangan itu. Menurut Naskah Persiapan Undang Undang
Dasar 1945 (Muh. Yamin, 1959), terdapat tiga orang anggota yang mengajukan
rancangan Dasar Negara, yaitu Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Muh. Yamin menyampaikan pidato pada hari pertama, tgl. 29 Mei 1945, antara
lain menyatakan : “..... kewajiban yang terpikul di atas kepala dan kedua belah
bahu kita ialah suatu kewajiban yang sangat istimewa. Kewajiban untuk
menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar dari susunan negara yang akan
terbentuk dalam suasana kemerdekaan .....”. Lebih lanjut dikemukakan lima
prinsip dasar negara, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
Kelima prinsip dasar negara tersebut disampaikan Yamin secara lisan dalam
pidatonya. Sesudah itu, ia menyampaikan secara tertulis rancangan Undang Undang
Dasar yang di dalamnya tercantum lima prinsip dasar negara, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Soepomo yang berpidato pada hari ketiga, tgl. 31 Mei 1945, antara lain
menyatakan bahwa pertanyaan tentang dasar negara pada dasarnya adalah
pertanyaan tentang staatsidee (cita-cita negara). Staatsidee berkaitan
dengan pertanyaan, teori apa yang akan dianut oleh negara Indonesia Merdeka
nanti? Untuk menjawab pertanyaan itu, Soepomo mengajukan tiga teori, yaitu
teori perorangan, teori golongan, dan teori integralistik. Yang dimaksud teori
perorangan adalah individualisme. Yang dimaksud teori golongan adalah adalah
sosialisme atau kolektivisme. Adapun yang dimaksud teori integralistik, menurut
Hegel, adalah idealisme absolut. Teori integralistik pada umumya lebih dipahami
seperti yang dikemukan Hegel, yang sifatnya totaliter. Namun teori
integralistik yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan dalam segala lapangan
(Yamin, 1959: 110-113; Pranarka, 1985: 28-29).
Soekarno yang menyampaikan pidato pada hari keempat atau hari terakhir masa
sidang pertama, tgl. 1 Juni 1945, antra lain menyatakan bahwa apa yang telah
disampaikan para anggota tidak memenuhi permintaan atau menjawab pertanyaan
Ketua BPUPKI tentang dasar negara. Menurut Soekarno, dasar negara itu adalah philosofische
grondslag, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, suatu fondamen yang di
atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. Dasar negara itu adalah weltanschauung
(dasar hidup bersama suatu bangsa) (Pranarka, 1985: 31). Selanjutnya ia
mengemukakan lima prinsip dasara negara, yaitu :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Sesuai dengan petunjuk seorang ahli bahasa, yang tidak disebutkan namanya,
Soekarno menyebut dasar negara yang diusulkan itu dengan nama Pancasila, yang
berarti lima asas atau lima dasar. Pada bagian akhir pidatonya, Soekarno masih
menawarkan kemungkinan dasar negara yang lain, yaitu Trisila yang isinya adalah
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan, atau Ekasila yang isinya
adalah gotong-royong (Pranarka,1985: 31-33). Berdasar uraiaian tersebut,
Pancasila sebagai nama dasar negara
diperkenalkan untuk pertama kali oleh Soekarno dalam pidatonya di depan sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945. Atas dasar
itulah muncul pendapat bahwa tgl. 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pada tahun 1947, pidato tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku kecil, yang
oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantarnya disebut pidato
lahirnya Pancasila (Roestandi, dkk, 1988: 69). Semantara itu, Nugroho
Notosusanto (1981: 27) tidak menolak bahwa “nama Pancasila” untuk dasar negara
muncul pertama kali pada tgl. 1 Juni 1945. Bahkan ia menyatakan bahwa Soekarno
adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengusulkan “dasar negara dengan
nama Pancasila”. Akan tetapi, Soekarno bukan yang pertama kali mengusulkan
rumusan dasar negara, sebab telah ada tokoh lain yang telah mengusulkan sebelumnya.
Tentang nama Pancasila, dalam pengertian tidak sebatas sebagai dasar negara,
Nugroho mengutip pidato Presiden Soekarno sendiri pada peringatan lahirnya
Pancasila di Istana Negara tanggal 5 Juni 1958, yang mengatakan “saya bukan
pembentuk atau pencipta Pancasila, tapi sekedar sebagai penggali Pancasila”.
Sesudah berakhirnya sidang pertama pada 1 Juni 1945, BPUPKI mengalami masa
reses persidangan selama satu bulan
lebih. Namun sebelum masa reses dimulai dibentuklah suatu panitia kecil
beranggota 9 orang yang disebut “Panitia 9” yang diketua Ir. Soekarno
untuk mengolah usul-usul dan konsep Dasar Negara.
Pada 22 Juni 1945 bertempat di kantor Jawa Hookoo Kai (Himpunan
Kebaktian Rakyat Jawa, organisasi yang dibentuk setelah POETERA dibubarkan)
diselenggarakan pertemuanyang dimaksudkan untuk mencapai modus kompromi
sehubungan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pandangan antara golongan
Nasionalis dan golongan Islam. Terminologi kedua golongan tersebut lebih dimaksudkan
sebagai penggolongan atau pengelompokan ideologi politik. Mohammad Hatta,
misalnya, adalah seorang nasionalis dengan semangat kebangsaannya yang sangat kuat,
namun juga seorang penganut Islam yang sangat taat. Di pihak lain, sebagaimana yang
dipersoalkan oleh Wachid Hasyim, tokoh-tokoh golongan Islam juga tidak kurang nasionalistisnya.
Di samping pengelompokan kedua golongan tersebut dikenal pula adanya golongan
Barat Sekuler, yang menonjol dengan usulannya untuk memasukkan ketentuan-ketentuan
di dalam Hukum Dasar tentang hak-hak asasi manusia dan pertanggungjawaban Menteri
kepada DPR. Pada 22 Juni 1945 itu pula, “Panitia 9” menghasilkan sebuah naskah hasil kompromi
antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Modus kompromi itu tertuang dalam
rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau lazim disebut Piagam Jakarta. Rumusan rancangan
Pembukaan Hukum Dasar itu hampir sama dengan rumusan Pembukaan Undang Undang
Dasar yang berlaku hingga saat ini, dengan perbedaannya yang esensial (setelah
diadakan perubahan) adalah pada alinea keempat yang berisi tentang dasar negara.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokurisu Zyunbi Iinkai, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno. Bersamaan dengan dibentuknya PPKI, maka
BPUPKI dibubarkan. Sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pada
tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menyelenggarakan sidang. Sidang tersebut
mengambil keputusan penting bagi sistem ketatanegaran Republik
Indonesia, yaitu :
1. Mengesahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar
2. Mengesahkan Undang-Undang Dasar
3. Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
4. Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah
Komite Nasional.
Dari keempat keputusan penting tersebut, yang perlu dibahas di sini adalah
keputusan tentang pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Sebab, di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah terdapat rumusan Pancasila dasar
negara. Dengan demikian, pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar secara
inklusif juga pengesahan dasar negara.
Sebelum pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar telah diadakan pembicaraan
antara Bung Hatta dengan pemimpin-pemimpin Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo,
Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan. Pembicaraan menyangkut
keberatan wakil-wakil dari Indonesia Timur tentang rumusan tujuh kata di
belakang kata “Ketuhanan”, yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemelukpemeluknya”. Pembicaraan itu akhirnya menyepakati penggantian
tujuh kata tersebut dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian
rumusannya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesedian para pemimpin Islam
tersebut menunjukkan “jiwa besar” yang lebih mengutamakan bangsa dan negara
Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan dari pada kepentingan
golongan.
PENGESAHAN PANCASILA SEBAGAI DASAR
NEGARA
- PROSES PERUMUSAN UNDANG – UNDANG DASAR 1945
Poses perumusan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar pertama dilaksanakan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai. Masa sidang pertama berlangsung pada tanggal 29 Mei - 1 Juni
1945. Dalam masa sidang ini lebih banyak digunakan untuk membahas rancangan
pembukaan hukum dasar atau konstitusi. Masa sidang kedua berlangsung pada
tanggal 10-17 Juli 1945. Dalam masa sidang ini lebih banyak digunakan untuk
membahas rancangan isi pasal-pasal hukum dasar atau konstitusi.
Masa persidangan pertama BPUPKI
yang berlangsung pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 sebenarnya digunakan untuk
merumuskan rancangan dasar negara. Akan tetapi pada akhirnya justru
menghasilkan rumusan rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau Konstitusi, yang
dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Rancangan tersebut dirumuskan pada tanggal
22 Juni 1945 oleh sebuah panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan, yang
terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Wachid Hasjim, Abdul Kahar
Muzakir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, Ahmad Soebardjo, dan Muh. Yamin.
Memang di dalam rumusan rancangan
Pembukaan Hukum Dasar atau Konstitusi itu tercantum pula rumusan rancangan
dasar negara. Rumusan rancangan Pembukaan Hukum Dasar itu hampir sama dengan
rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berlaku hingga saat ini,.
Perbedaannya terletak pada alinea keempat, terutama pada rumusan tentang dasar
negara, yang berbunyi “..... dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Hasil inventarisasi usulan sesudah berakhirnya masa sidang pertama
menunjukkan
bahwa terdapat berbagai macam usul yang dikelompokkan menjadi sembilan
kelompok usulan, yakni tentang (1) tuntutan Indonesia merdeka secepatnya, (2)
dasar negara, (3) bentuk unifikasi atau federal, (4) bentuk negara dan kepala
negara, (5) warga negara, (6) daerah, (7) soal agama dan negara, (8) pembelaan,
dan (9) keuangan (Yamin, 1959: 147-148; Pranarka, 1985: 34). Masa sidang kedua
BPUPKI yang berlangsung tanggal 10-17 Juli 1945 lebih banyak membahas tentang
materi pasal-pasal Hukum Dasar., Istilah Hukum Dasar kemudian diubah imenjadi
Undang Undang Dasar setelah memperoleh penjelasan dari Soepomo.
Tentang bentuk negara, antara pilihan bentuk serikat (federalisme) atau
kesatuan (unitarisme), suara terbanyak memilih bentuk negara kesatuan. Tentang
bentuk pemerintahan, sidang menyepakati bentuk republik, bukan kerajaan.
Tentang jumlah pimpinan negara disetujui satu orang, dengan sebutan Presiden.
Pada sidang itu juga dibahas tentang wilayah negara Indonesia. Perlu diketahui,
pada waktu itu berkembang tiga gagasan pilihan tentang wilayah negara, yaitu
pilihan (1) meliputi wilayah Hindia Belanda, (2) meliputi wilayah Hindia
Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua Nugini, Timor Timur dan
pulau-pulau sekelilingnya, dan (3) meliputi wilayah Hindia Belanda ditambah
Malaya dan dikurangi Irian Barat.
Di samping golongan Nasionalis dan golongan Islam, dikenal pula adanya
golongan Barat Sekuler. Golongan ini menonjol dengan usulannnya agar Hukum
Dasar memuat ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia dan
pertanggungjawaban Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Usulan tersebut
ditentang oleh beberapa anggota karena dianggap sebagai pandangan Barat, yang
mengedepankan kepentingan individu.
Materi lain yang sempat muncul adalah usulan Wachid Hasjim yang didukung
oleh Soekiman mengenai rancangan UUD pasal 4 ayat 2 (tentang Presiden) ditambah
dengan kata-kata “yang beragama Islam” dan pasal 29 diubah sehingga berbunyi “Agama
negara ialah agama Islam”. Usul ini tidak disetujui H. Agus Salim, karena akan mementahkan
kembali hasil kompromi. Sementara itu, Husein Djajadiningrat, Wongsonagoro, dan
Otto Iskandardinata menyarankan untuk menghapus pasal 4 ayat 2 dan memecah
pasal 29 menjadi dua ayat, yakni ayat pertama yang diambil dari Pembukaan dan
ayat kedua yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.
Dalam hal pasal 29 ayat 2 tersebut, Wongsonagoro mengusulkan penambahan
kata-kata “dan kepercayaannya”, yang kemudian berbunyi “ Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing”. Sementara itu Ny. Maria
Ulfah Santosa mengusulkan perlunya memasukkan hak-hak dasar ke dalam Undang
Undang Dasar. Ketua Panitia Kecil dalam tanggapannya menerima usulan
penghapusan pasal 4 ayat 2 maupun pemecahan pasal 29, menolak masuknya hak-hak
dasar ke dalam Undang Undang Dasar, karena negara Indonesia berdasar atas kedaulatan
rakyat, serta menerima penggantian istilah Badan Permusyawaratan Rakyat menjadi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pranarka, 1985: 38-39).
Pada masa sidang kedua itu, Soepomo sebagai tim Perancang Undang-Undang Dasar
menjelaskan tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dan
penjelasan pasal demi pasal. Hal-hal yang dijelaskan oleh Soepomo inilah yang lazim
disertakan pada bagian belakang sesudah rumusan Pembukaan dan Batang Tubuh
(pasal-pasal) Undang-Undang Dasar, yang disebut sebagai Penjelasan
Undang-Undang Dasar. Pada masa Orde Baru, Penjelasan Undang- Undang Dasar
dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang Dasar. Pada era
reformasi muncul kontroversi, apakah Penjelasan merupakan bagian dari
Undang-Undang Dasar atau bukan. Kontroversi itu terjawab oleh hasil amandemen
Undang-Undang Dasar yang tidak menempatkan Penjelasan tersebut sebagai bagian
dari Undang-Undang Dasar.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dilakukan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), setelah dibubarkannya BPUPKI. Panitia ini terdiri dari 27
orang anggota, yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PPKI menyelenggarakan sidangnya
yang pertama pada 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan. Sidang
PPKI tersebut membahas hal-hal penting bagi sebuah negara yang baru lahir,
terutama Undang-Undang Dasar yang akan menjadi dasar penyelenggaran negara
serta Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang akan memimpin penyelenggaraan
negara itu. Keputusan yang dihasilkan oleh sidang PPKI tersebut adalah :
1. Mengesahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar
2. Mengesahkan Undang-Undang Dasar
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
4. Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah
Komite Nasional.
Berdasar uraian tersebut diketahui bahwa pengesahan Pembukaan Undang-Undang
Dasar dan Undang-Undang Dasar dilakukan secara terpisah. Yang dimaksud dengan Undang-Undang
Dasar adalah isi pasal-pasalnya atau batang tubuhnya. Antara Permbukaan UUD dan
pasal-pasal/batang tubuh UUD merupakan dua substansi yang berbeda, sehingga
juga diputuskan dalam dua pengambilan keputusan. Dalam proses penyusunannya,
rancangan kedua substansi itupun dilakukan oleh dua panitia yang berbeda.
Rancangan pembukaan disusun oleh Panitia Sembilan, sedangkan rancangan pasal-pasal
UUD disusun oleh Panitia Perancang Hukum Dasar.
Pada awal sidang PPKI tersebut, Bung Hatta meyampaikan pengantar bahwa rumusan
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah rumusan Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan, yang lazim disebut Piagam
Jakarta. Namun menurut Bung Hatta ada keberatan yang disampaikan oleh utusan
dari Indonesia Timur terhadap tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”, yang
berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Oleh karena itu Bung Hatta telah mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh
golongan Islam, yakni Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo,
dan Teuku Moh. Hasan, untuk membicarakan hal tersebut. Akhirnya disepakati
penghapusan tujuh kata tersebut dan menggantikannya dengan kata-kata “Yang Maha
Esa”, sehingga berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini telah dikemukakan
pada pembahasan tentang proses perumusan Pancasila, sebab rumusan Pancasila
dasar negara memang tidak terpisahkan dengan naskah rumusan Pembukaan
Undang-Undang Dasar.
Kesepakatan ini mengakhiri berbagai perbedaan mengenai hal yang sangat mendasar
dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Perbedaan antara Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar (Piagam Jakarta) dengan Pembukaan Undang Undang Dasar
disajikan pada tabel di bawah ini.
Setelah Pembukaan Undang-Undang Dasar disahkan, maka acara dilanjutkan
untuk pengesahan batang tubuh (isi pasal-pasal) Undang-Undang Dasar. Lebih
dahulu Mr. Soepomo, tokoh yang sangat berperanan dalam Panitia Perancang Hukum
Dasar, memberi penjelasan pokok-pokok pikiran tentang susunan negara. Setelah
membahas pasal demi pasal, beberapa perubahan disepakati dan sidang berhasil mengesahkannya.
Demi persatuan yang bulat, lebih-lebih pada saat-saat yang genting, maka
pasal 6
ayat 1 menjadi berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”, setelah kata
“yang
beragama Islam” dicoret. Demikian pula dengan pasal 29 ayat 2 menjadi
berbunyi
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, setelah kalimat di
belakangnya yang berbunyi “dengan kewajiban ... dst” dicoret. Perbedaan
antara rancangan Hukum Dasar dengan Undang-Undang Dasar disajikan pada tabel di
bawah ini.
Setelah seluruh isi Undang-Undang Dasar disepakati, maka acara sidang
diselingi dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sesudah itu dilanjutkan
dengan pembahasan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar.
Seluruh isi rancangan Aturan Peralihan yang terdiri dari empat pasal dan Aturan
Tambahan yang terdiri dari dua ayat disetujui. Dengan demikian sidang berhasil
mengesahkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang lebih dikenal
dengan nama Undang- Undang Dasar 1945. Konstitusi pertama tersebut diundangkan
dalam Berita Republik Indonesia No. 7 Tahun II tanggal 15 Februari 1946.
SOCIALIZE IT →