Tulisan berikut ini merupakan suntingan dari Doktor muda dalam bidang pendidikan Islam dari UIN Yogyakarta. Pria berkacamata tebal ini mencoba melihat pendidikan Islam dewasa ini dengan mengaitkan pada persoalan moralitas bangsa. Dr. Ainurrofiq, merupakan alumnus S.3 UIN Jakarta yang cukup produktif menulis buku, memberikan kata pengantar buku-buku tentang pendidikan dan lain sebagainya. Tulisan ini juga menyoroti perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, yang sampai saat ini masih menduduki ranngking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Penulis mensenyalir hal ini salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi. Fenoemena ini pada gilirannya telah menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis. Harapanpun telah tiba, dengan dinaikannnya anggaran pendidikan (20 persen), sudah siapkah mental para pengelola pendidikan? Dalam tulisan ini penulis juga sempat menggulirkan gagasan lama yang coba diusung kembali, yakni mensinergikan pendidikan menjadi satu atap, sehingga tidak terjadi dikotomi dalam pengelolaan pendidikan. Apa dan bagaimana sejarahnya selanjutnya baca tulisannya dalam dua edisi. (re-readings by Adib Gja)
Indonesia adalah sebuah negara besar yang
memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang
mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan
manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di
dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk
Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah
yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan
kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan
kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi
kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga
akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan
nasional.
Namun realitas membuktikan lain. Jumlah
manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan
sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas
belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia
Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar
(untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas
manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara
massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat
menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya
saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian
gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang
kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin
papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk
memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat
sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis—bukan hanya
orasi belaka—memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas
kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah
manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki
kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya,
dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil
pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang
dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak
aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses
pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain
itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh
nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang
atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran
secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai
landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas
masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena
didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah
satu factor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya
krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa
yang sangat "amburadul" dan tidak "karu-karuan".
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Kilasan Sejarah Singkat
Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat
diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren
diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan
ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi
memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial,
operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan
tersebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di
samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan
menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara
substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut
merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya,
dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni
sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasional trilogi sistem
penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai
kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau
penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis
bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan
memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai
lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional,
intelektual, dan kultural dari induknya.
Sebelum masuknya penjajah Belanda triilogi
sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan
perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan
santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi
kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam
dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan
masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya
saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda
dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa
menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian
masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang
diperoleh di dayah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai
terbuai dengan bujuk rayu para penjajah jahat tersebut.
Sebagian manusia pribumi yang menerima
bujukan dan rayuan penjajah di atas adalah manusia pribumi yang telah
lupa dan memang secara sadar melupakan ajaran yang mereka peroleh di
tempat pendidikannya. Mereka juga terbius dengan iming-iming kekayaan
dari para penjajah yang sangat licik. Kelicikan dan kejahatan para
penjajah memang tidak pernah diungkap oleh para sejarawan. Kelicikan dan
kejahatan penjajah sudah tidak bias diterima manusia normal. Bujukan
dan rayuan yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia
pribumi yang kelihatan secara moral, kepribadian, praktik keagamaan
masih lemah dan rendah. Moralitas yang rendah, kepribadian yang lemah
dan tingkat ketaatan keagamaan minim merupakan sasaran empuk bagi para
penjajah.
Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai
tergerus bahkan memang sengaja dibatasi serta dimatikan oleh penjajah.
Para penjajah memandang bahwa trilogi sistem pendidikan Islam tersebut
pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi hanyalah lembaga
agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan asumsi yang
demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk
mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah
mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi
polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal
pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul
sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah
pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini
kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yaikni ada ilmu
agama dan ilmu umum. Ilmu agama dipahami sebagai ilmu-ilmu yang
diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan
sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan
oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang
didirikan para penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara
kaum penjajah dan penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia
mulai mengalami perubahan dalam kehidupannya.
Mulai saat ini pulalah manusia Indonesia
mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dalam aspek ideologi,
ekonomi, politik, maupun moralitas. Dalam aspek ideologi manusia pribumi
mulai ada yang bergeser dari ideologi spiritualisme-religius ke
ideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi materialisme-kapitalisme
adalah ideologi yang lebih mementingkan kekayaan materi dan kekayaan
tersebut digunakan untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan
cara memeras dan menyiksa para fakir miskin adalah sebuah perilaku para
pengkiut ideilogi ini. Dalam aspek ekonomi juga mulai bergeser dari
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya mengarah ke
orientasi untuk menguasi seluruh kekayaan yang ada, sehingga kekayaan
tesrebut hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini memang merupoakan
konskuensi logis dari pergeseran ideologi di atas. Karena secara
teoritis dan praktis antara ideologi dan perilaku ekonomi akan memiliki
kesejajaran dan kesinambungan. Dalam aspek politik kehidupan masyarakat
bergeser dari sekedar menjadikannya sebagai sarana untuk menmgembangkan
ajaran dan moralitas masyarakat bergeser menjadi sebagai sarana untuk
menguasai masyarakat baik secara cultural maupun truktural. Inilah yang
belakangan menyebabkan munculnya kekayaan structural dan kemiskinan
structural. Yaitu kondisi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat
dimana yang kaya semakin kayak arena menguasai seluruh akses kekayaan,
sedangkan yang miskin semakin miskin karena memang telah direbut seluruh
aksesnya oleh orang yang kaya.
Dalam aspek moralitas pergeseran terjadi pada
pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di
sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya
sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Ketika penjajah yang
berkuasa di Indonesia, maka konsepsi tentang moral harus mengikuti
konstruksi masyarakat penajajah. Sedangkan sebagaimana dijelaskan di
depan bahwa ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, maka
sesuatu atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu
bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang
moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak
mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang
dianggap berhasil dan bermoral adalah seseorang yang telah memiliki
jabatan, kekayaan, dan harta l;ebih dari orang tuanya. Demikianlah
pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan di
Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang --yang merupakan
Saudara Tua (karena sama-sama di benu Asia dengan Indonesia)—pendidikan
tradisional mulai mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada
artinya karena memang penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa
Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah menancapkan ideologi,
politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat pribumi, maka
angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Dengan
demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kemabli lagi
ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat.
Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam
masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan
Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan
yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena
itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional
Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan
yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat secara praktis dan teoritis
berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Dari sinilah
kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal
ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern
yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional.
Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding
father negeri ini.
Kompromi yang diambil para funding father
negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional
akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para
ulama dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas.
Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan
khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan
yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu, pada masa
kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama
yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen
Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun
melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi
kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri
ini.
Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan
keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat
disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar
terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti
dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu
pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan
anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas
pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di
bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat
sementara pendidikan Islam yang berada di bawah payung Departemen Agama
“terseok-seok” dalam mengikuti perkembangan zaman.
Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan
Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan
Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara
mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem
pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami
nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila
dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan
negara-negara maju.
Demikianlah nasib perjalanan pendidikan di
Indonesia yang sampai saat ini masih menduduki ranngking kurang begitu
bagus dibanding negara-negara lainnya. Kurangnya perhatian pemerintah
pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi menyebabkan
pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Padahal
pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah sebuah keharusan dan
keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar, khususnya bagi bangsa
Indonesia. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral
yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit
kronis. (tobe continued next edition, by the title: “The Materialization
in Education, How come”?)
SOCIALIZE IT →