A.
Biografi Singkat
Protagoras merupakan seorang filsuf yunani yang
lahir sekitar tahun 490 SM dan meninggal pada tahun 420 SM. Ia berasal dari
Abdera, di daerah Thrace yang terletak di pantai utara Laut Aegea. Ia seorang
filsuf yang termasuk golongan sofis. Selama abad ke-5 SM, kata “Sophis”
berarti orang-orang yang terkenal baik karena pengetahuan mereka, atau mereka
yang profesional dalam mengajar muridnya.
Protagoras merupakan salah seorang sofis
pertama dan paling terkenal di masanya. Ia dikenal sebagai guru yang mengajar
banyak pemuda di zamannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orator dan juga
pendebat ulung di masanya. Namun ia juga menginspirasi generasi filsuf, guru,
dan ilmuwan sosial. Protagoras hampir menghabiskan 40 tahun untuk mengajar, dan
ia meninggal di usia 70 tahun. Ia sangat dihormati oleh orang-orang di
negaranya. Banyak anak-anak yang yang dikirim kepadanya untuk diberi
pendidikan.
Selain itu, Protagoras menghabiskan sebagian
besar hidupnya sebagai seorang sofis keliling, bepergian di seluruh yunani. Ia
juga seringkali melakukan perjalanan ke negeri-negeri lain, termasuk berkunjung
ke Athena. Disana ia menjadi sahabat Pericles dan membantunya menyusun
konstitusi bagi koloni Athena di Thurioi tahun 444 SM. Dengan kata lain, ia
diminta Pericles untuk mengarang undang-undang dasar bagi polis baru itu.
Pada akhir hidupnya, Protagoras dituduh karena
kedurhakaan terhadap agama di Athena. Buku-buku Protagoras tentang agama
dibakar di depan umum. Kemudian Protagoras diceritakan melarikan diri ke
Sisilia, namun perahu layar yang ditumpanginya tenggelam. Dan tak ada satupun
hasil tulisan Protagoras yang masih bertahan. Hanya beberapa fragmen pendek
yang masih tersimpan. Namun, isi filsafat Protagoras masih dapat diketahui
karena hasil pemikirannya banyak dibicarakan oleh filsuf-filsuf selanjutnya.
Plato merupakan sumber yang utama, khususnya kedua dialognya yang berjudul
Theaitetos dan Protagoras. Hasil tulisan Protagoras yang paling terkenal di
zamannya yaitu sebuah buku berjudul "Kebenaran" (Aletheia).
B.
Pemikiran
Protagoras memiliki banyak pemikiran dan
menulis banyak buku pada masanya. Beberapa pemikiran dapat menembus eranya
dengan sukses, namun adapula beberapa yang menentang hasil pemikirannya. Salah
satu diktum Protagoras yang paling terkenal mengenai filsafat dalam ajaran
pengenalan, yaitu "Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk
hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga
mereka tidak ada". Hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul
"Kebenaran" (Aletheia). Dalam pernyataan Protagoras tersebut dapat di
indikasikan bahwa kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang
menentukan benar tidaknya, atau bahkan ada tidaknya.[1]
Dalam pendapat Protagoras tersebut dipersoalkan
bagaimana kita mengartikan manusia tersebut, apakah manusia sebagai
individu/perorangan ataukah manusia sebagai umat/kebersamaan. Apakah kebenaran
tersebut tergantung kepada anda sendiri atau saya sendiri, sehingga kita memiliki
kebenarannya masing-masing, ataukah kebenaran tersebut tergantung kepada kita
bersama, sehingga kebenaran diartikan sama untuk semua manusia. Dalam hal ini,
salah seorang filsuf, Plato menyimpulkan bahwa pernyataan Protagoras diatas
menunjuk kepada manusia sebagai individu/perorangan. Jadi, pengenalan terhadap
sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu tersebut.
Pendirian tersebut dapat dinamakan sebagai
relativisme. Dalam bidang pengenalan, ajaran relativisme kaum sofis mengatakan
bahwa tidak ada satu pengenalanpun yang bersifat absolut atau objektif. Karena
benda-benda yang kita amati selalu berubah dari waktu ke waktu, dan kondisi
atau keadaan fisik dan jiwa si pengenal tidak selalu stabil. Dengan relativisme
dimaksudkan pendirian manusia tentang baik buruk dan benar salah itu bersifat
relatif.[2]
Dengan kata lain, baik buruk dan benar salah tegantung pada manusia yang
bersangkutan. Dan kebenaran didasarkan pada masing-masing individu yang
merasakannya. Kebenaran umum tidak ada. Apa yang dikatakan seseorang adalah
hasil dari apa yang dirasakan oleh seseorang itu sendiri.[3]
Meskipun suatu hal tersebut dianggap benar olehnya belum tentu dianggap benar
oleh orang lain. Dan sebaliknya ketika seseorang menganggap sesuatu hal
tersebut salah, maka belum tentu pula dianggap salah oleh orang lain.
Sebagai contoh, makanan yang bagi orang sehat
dianggap lezat, namun bagi orang yang sedang sakit, makanan tersebut akan
terasa hambar. Kedua orang tersebut tidak ada yang salah, karena pengenalan
mereka terhadap sesuatu tergantung pada apa yang mereka rasakan pada diri
mereka masing-masing. Kita ambil contoh yang lain, ketika seseorang sangat
mengharapkan hari esok dan ingin segera menghabiskan hari ini, ia akan merasa
dan menganggap hari ini sangat lama jika ia hanya menunggu dan tidak melakukan
kegiatan apapun. Namun bagi orang lain yang melakukan banyak kegiatan dan tidak
sekedar menunggu, hari tersebut akan terasa cepat berlalu. Dalam hal ini
memperlihatkan bahwa dua manusia yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai
cepat lambatnya hari itu berlalu, meskipun kenyataannya dalam panjang waktu
yang sama. Dan kedua manusia tersebut tidak ada yang salah, karena memang
sebenarnya ukuran satu hari sama panjangnya bagi semua umat, dan pemikiran
mereka berdasarkan pada fisik dan psikis orang yang merasakannya tersebut. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa apa yang menurut saya baik, belum tentu menurut
anda juga baik.
Pemikiran-pemikiran Protagoras banyak
memberikan pengaruh bagi oarang-orang di masanya. Sehingga nama Protagoras
sangat dikenal dalam waktu yang cukup lama. Ia cukup mempengaruhi banyak pemuda
lewat pemikirannya tentang pengetahuan. Meskipun begitu, beberapa ajaran dan
hasil pemikirannya mendapat tentangan dari filsuf lain, Socrates misalnya. Ia
menentang pemikiran Protagoras mengenai ajaran pengenalan yang menjadikan
manusia sebagai tolak ukur bagi segala
sesuatunya.
Kalau prinsip
Protagoras, yakni “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat”,
dikaitkan dengan relativisme dalam bidang moral, maka dengan sendirinya jalan
terbuka untuk penyalahgunaan itu.[4]
Sofis-sofis yang besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak menyalahgunakan
ilmu berpidato untuk maksud-maksud jahat. Mereka adalah orang yang dihoramati
oleh umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal yang sama tidak bisa
dikatakan mengenai semua Sofis lain. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan
bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani” (313 c).
Dan Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi
elenchoi (cara-cara
berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah.
Demikian para Sofis memperoleh nama jelek, hal mana masih dapat dirasakan
sampai pada hari ini, sebagaimana nyata dengan contoh-contoh dari bahasa
Inggris tadi.
[2] Prof.
Dr. Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles
(Jogjakarta: Kanisius, 1999).
SOCIALIZE IT →