A.
Deskripsi
Relevansi Pemikiran Kontemporer Dengan Kajian Keislaman.
1.
Pendekatan
Metode Pemikiran Kontemporer
Pendekatan filsafat merupakan usaha
berpikir untuk mendapatkan suatu kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan
mencari/meneliti akar masalah kajiannya. Metode ini bersifat mendasar dengan
cara radikal dan integral, karena memperbincangkan suatu masalah dari segi
esensi (hakikat sesuatu). Yang mana dapat disimpulkan bahwa sejatinya
berfilsafat intinya berfikir secara mendalam, seluas-luasnya, sebebas-bebasnya,
dan tidak terikat pada apapun sampai ke dasar dari segala dasar.[1]
Sangat menarik kalau kita membahas
fisafat kontemporer yang mana filsafat kontemporer juga bisa diartikan secara
garis besar bahwa berfilsafat dengan kajian kehidupan saat ini atau secara
singkatnya cara pandang yang mendalam yang menyangkut kehidupan pada saat ini.
Filsafat kontemporer sering dikaitkan dengan postmodern yang mana secara
istilah postmodern berarti setelah modern. Itu sangat logis sebab postmodern menitik
beratkan pada kebebasan, dan tidak selalu harus simetris. Suatu contoh
sederhana: seni bangunan postmodern tidak mementingkan keseimbangan bangunan
melainkan sesuai kesenangan hati atau bisa disebut request. Kalau
dikaitkan dengan filsafat kontemporer yaitu ada suatu kesamaan yakni kebebasan.
Kebebasan dalam memakai teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut
merupakan suatu hal original.[2]
Bertrand Russel pada tahun 1924
mengemukakan posisi filosofisnya sebagai posisi atomisme logis yang berpendapat
bahwa semua entitas kompleks, dengan analisis, dapat ditundukan pada
particular-partikular sederhana yang dapat dijelaskan oleh nama-nama yang
secara logika tepat. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan deklarasinya bahwa
dunia memuat fakta-fakta yang berwujud seperti apa yang kita pikirkan mengenai
mereka.[3]
Hal itu menguatkan pemikiran sang filsuf sekaligus eksistensinya.
Banyak sekali tokoh filsuf kontemporer
yang mengemukakan teori-teori filsafatnya ke dunia luas. Dan pada perkembangan
filsafat pada zaman kontemporer ini sangat besar membawa perubahan ke dunia
khalayak, melalui pemikiran-pemikiran baru para filsuf kontemporer. Akan tetapi
tetap tidak meniggalkan kaidah-kaidah metode pemikiran filsafat terdahulu. Yang
paling menonjol di zaman kontemporer ini para filsuf saling mengkritik dengan
dalil-dalil teori yang telah ditemukan yang menurutnya itu sebuah teori yang
sudah teruji.
a.
Aliran-aliran
Filsafat Kontemporer
Intinya, pada filsafat kontemporer
atau filsafat abad 20 itu diwarnai oleh empat aliran besar. Yakni: Fenomenologi
dan Eksistesialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan Aliran-aliran Neomarxis,
dan teori kritis merupakan aliran yang terakhir, yang mana aliran kritis
tersebut didalangi oleh Frankfurt yang mengemukakan bahwa kaum marxis saat
sebenarnya tidak marxis lagi dalam artian sudah tidak murni. Kaum marxis
menolak penyempitan ajaran karl marx
oleh Friedrich Engels. Engel merupakan kawan akrab dan setia karl marx yang
menjelaskan ajaran marx dalam bentuk sebuah system yang jelas, sedrhana dan
logis yang dinamai menjadi “Marxisme”
resmi.[4]
Dilain itu aliran strukturalisme
dengan salah satu tokohnya J. lacan dengan teori pemikirannya tentang bahasa.
Menurutnya bahasa itu terdiri dari dari sejumlah termin (jangka waktu) yang
ditentukan oleh posisi – posisinya satu terhadap yang lain. Termin
tersebut digabungkan dengan aturan gramatika
dan sintaksis.[5]
Yang mana dalam penjabarannya bahwa bahasa itu tidak begitu saja diucapkan dan
disepakati kemudian digunakan untuk alat sebagai komunikasi, melainkan bahasa
melalui tahap-tahap dan pemikiran-pemikiran yang ditempuh sesuai kaidah yang
pada akhirnya disepakati khalayak sebagai alat komunikasi yang kemudian
dipublikasikan.
Hal demikian juga dikemukakan oleh
George Edward Moore bahwa bahasa merupakan sesuatu yang melekat pada manusia.
Ia melekat pada kita sebagaimana nafas dan gerak kita sehari-hari, namun sampai
saat ini jarang sekali orang-orang menelitinya lebih dalam. Kajian-kajian
tentang bahasa (bukan kajian bahasa) masih dianggap minim dan kurang. Sebab,
orang-orang Yunani cenderung menilai bahasa hanya sebagai ekspresi pikiran, akan
tetapi mereka melupakan bahwa bahasa justru juga bisa mempengaruhi pikiran.[6]
Bahasa juga merupakan sesuatu yang
membedakan antara makhluk yang berakal dengan makhluk yang lain. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa kegiatan berpikir sangat erat hubungannya dengan berbicara,
sebab berbicara adalah suatu kegiatan yang mengungkapkan apa yang dipikirkan.
Jadi tidak perlu mencari sebuah perbedaan antara berbicara dan berbahasa karena
keduanya itu adalah sama.
Secara terminologis menurut
Bloomfield, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang
(arbitrer) yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan
berinteraksi. Karena merupakan sistem, bahasa mempunyai aturan-aturan yang
saling bergantung dan struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara
terpisah-pisah.[7]
2.
Pendekatan
Kajian Islam/Study Islam
Memang penelitian agama tidak bisa
serta merta dipisahkan dengan aspek bahasa. Karena manusia adalah makhluk
bahasa yang manadoktrin agama dismpaikan dihayati dan disosialisasikan melaui
bahasa. Sehingga ada sebuah pernyataan bahasa agama, maksudnya didalam bahasa
agama banyak digunakan bahasa simbolik dan metafori, dengan demikian untuk
menghindari kesalah pahaman mudah terjadi.[8]
Ada tiga macam istilah bahasa agama yang akan dibahas di sisni. Pertama ungkapan-ungkapan
yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat metafisi,
terutama tentang tuhan.
Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Alqur’an dan ketiga,
bahasa ritual keagamaan. [9]
3.
Implementasi
Lingustik Dalam kajian Islam/study Islam
Linguistik memang sangat
berpengaruh. Sebab di satu sisi bahasa merupakan cara Tuhan untuk menyampaikan
wahyu, begitu juga Nabi dalam menyampaikan kepada umatnya. Seperti contoh Al
Qur’an dan Al Hadits. Dalam ajaran Islam banyak aturan dan ritual keagamaan
yang berkaitan dengan trem-trem kebahasaan, seperti konsep kepercayaan yang
terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir, fasik, murtad dan
sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan dengan relasi
Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakat dan lain
sebagainya. Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahaman dari
sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh: kata zakat, pada awalnya
kata zakat merujuk pada makan tumbuh/berkembang secara umum, namun setelah
datang Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih menyempit merujuk kepada,
batasan yang telah diwajibkan untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang
berhak dari harta yang telah sampai pada nasab yang telah ditentukan.[10]
Secara teori kebahasaan, suatu
bahasa akan dapat mengalami perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan
makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna
dapat juga berarti penggantian rujukan, rujukan yang pernah ada diganti dengan
rujukan yang baru. Kata hijrah misalnya secara leksikal ia memilki makna
“keluar dari suatu negeri ke negeri yang lain”. Namun ketika kata hijrah telah
terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah kalimat maka makna yang terkandung
didalamnya tidak hanya sekedar sebuah aktifitas perpindahan badan dari satu tempat
ketempat yang lain. Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna
yang bisa jadi mengarah kepada perluasan maupun penyempitan. Islam sebagai
agama wahyu telah memberikan pencerahan dan pembaharuan dari segala bidang,
baik itu kebudayaan, kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat, bernegara dan
termasuk juga didalamnya pembaharuan dari segi kebahasaan.[11]
Beberapa kunci terminologi etika
Jahiliyah telah mengalami transformasi semantik yang spesifik, seperti karim
yang merupakan derivasi dari karam dan lawan dari bakhil terdapat dalam
al-Qur'an sebanyak 47 kali dengan berbagai derivasinya. Pada awalnya karim
merupakan cita-cita Jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa
perhitungan sebagai manifestasi langsung dari kemuliaan. Kemudian menghadapi
transformasi ke dalam sesuatu semantik yang mendalam, pada saat yang sama, dan
dalam kaitannya dengan hal itu, kata karim lalu diterapkan kepada seseorang
yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang bukannya menghabiskan kekayaannya
dengan membabi buta, tanpa berpikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun
sama sekali tidak ragu-ragu untuk menggunakan kekayaannya untuk tujuan yang
jelas dan benar-benar “mulia” berdasarkan konsep yang baru, yakni membelanjakan
kekayaanya “dijalan Allah. Masih banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang harus
difahami secara utuh dan mendalam, hal tersebut bertujuan agar tidak terjadinya
kesalahan pemahaman yang akan berakibat pada kesalahan dalam pengamalan.[12]
Dapat dibayangkan misalnya apabila umat Islam memahami kata sholat sebagaiamana
pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab
diartikan sebagai do’a, padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan
dalam trem yang sangat pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami
pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok
atau tiang dari agama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits Nabi
saw. Untuk dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah
dan akidah secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan
bahasa memegang peran yang sangat besar.[13]
B.
Tipologi
dan Contoh Metode Pemikiran Kontemporer ke dalam Kajian Keislaman
1.
Kajian
Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an
Dalam hal ini tipologi pemikiran
kontemporer sangat banyak ditemukan dan seakan-akan terkotak-kotak oleh teori
dari berbagai banyak filsuf. Dan semakin berkembangnya zaman semakin banyaknya
disipli ilmuyang bermunculan hal tersebut ditengarai oleh penemuan-penemuan
sebuah teori yang sangat berkesinambungan dengan realita kehidupan kontemporer.
Dalam konteks ini dalam menimbang
berbagai tawaran metodologi yang bersifat multidispilener yang biasa digunakan
untuk memahami isi kandungan Al Qur’an. Maka dari itu Linguistik dapat digunakan dalam kajian pertimbangan
bahwa pendekatan perbahasaan (Linguistik) terhadap Al Qur’an sudah diterapkan
para pemikir salaf hingga kontemporer. Sejarah panjang umat islam dari Nabi SAW
sendiri hingga ditafsirkan para sahabat kemudian direpresentasikan oleh sahabat
ibn abas, hingga pada akhirnya dituliskan pada era modern dalam banyak karya
kenamaan bahkan islamisis barat pun tidak ketinggalan untuk menerapkan
pendekatan ini.
Dengan demikian sebagai metode
analisis maka linguistik sangat berkisinambungan dengan metode pendekatan study
Al Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan produk evolusi kebudayaan masyarakat
muslim, juga merupakan representasi nilai religius teologis muslim yang
bercorak bahasa. Oleh karena itu untuk memahami dan mengkaji al-Qur’an,
setidaknya diperlukan pisau analisis yang setara dengan corak yang dimilikinya,
yaitu pendekatan linguistik.
Disinilah Strukturalisme Linguistik
nampak konsisten dalam aktifitasnya. Dengan titik pijak dari asumsi dasar bahwa
bahasa adalah sebuah system sebagaimana telah dijelaskan, serta bertumpu pada
asumsi bahwa suatu makna kata itu ditentukan oleh relasi-relasi kata secara
linear baik sebelum dan sesudahnya yang dalam tradisi Strukturalisme Linguistik
disebut dengan hubungan sintagmatis. Sehingga kadang-kadang suatu kata yang
sama akan memiliki arti yang berbeda-beda tergantung relasi atau konteks
strukturnya. Selain itu untuk mencapai berbagai pemaknaan baru tersebut, juga
nampak menguji kata-kata tersebut dengan menggunakan analisis para digmatis,
atau dengan melihat hubungan mata rantai dalam berbagai rangkaian ujaran, baik
yang serupa maupun berbeda dalam bentuk dan makna. dimana yang terpenting
adalah relasi antara unsur bahasa tersebut baik secara linear
(struktural-sintagmatis) maupun secara asosiatif (sistemis-paradigmatis). Di
sini juga nampak penelaahan dari dua perspektif linguistik yang dibedakan
secara tegas oleh Ferdinand de Saussure, yaitu perspektif sinkronis dan
diakronis.[14]
C.
Sikap
Kritis Terhadap Metode Pemikiran Kontemporer Dalam Kajian Keislaman
Hermeneutika berhasil memunculkan
berbagai polemik. Ketika akademisi yang ternyata lulusan pesantren dan
perguruan tinggi Islam dengan bangga mempromosikan hermeneutika sebagai metode
tafsir bau yang lebih relevan dan fleksibel. Akademisi ilmu tafsir dan Al
Qur’an sudah banyak mempraktekkan hermeneutika untuk menafsirkan kitab yang
terjaga keasliannya hingga yaumul qiyamah. Dan tak sedikit kampus-kampus Islam
yang menjadikannya sebagai mata kuliyah wajib bagi jurusan yang berhubungan
dengan ilmu tafsir dan Al Qur’an.
Pada mulanya hermeneutika digunakan
untuk menafsirkan teks-teks kuno Yunani.[15]
Sebagai alasan bahwa hermeneutika tidak sekedar ilmu tafsir akan tetapi
hermeneutika dianggap metode tafsir yang bersifat luas, tidak sekedar tertulis,
namun juga yang tidak tertulis. Sehingga pada perkembangannya hermeneutika
semakin meluas dan berkembang dengan suburnya. Tidak menutup kemungkinan para
islamisis barat pun juga mengikuti hermeneutika. Mantan rektor UIN Sunan
Kalijaga, Amin Abdullah, amat gigih dalam menggunakan hermeneutika sebagai
tafsir Al Qur’an. Bahkan beberapa liberalis mengatakan bahwa Al Qur’an hanyalah
muntaj tsaqafi (produk budaya) dari bangsa Arab yang dibawa oleh Muhammad.
Kebanyakan liberalis membebek para syaikhnya di Barat untuk merusak cara
pandang muslim terhadap al-Qur’an. [16]
Seharusnya seorang mufassir harus
menguasai beberapa cabang ilmu yang sesuai untuk tafsir Al Qu’an. Maksudnya,
dalam menafsirkan tidak boleh kalau hanya sekedar menggunakan logika pribadi
atau spekulatif-spekulatif yang hanya berwujud subjektivitas, atau hanya
mengandalkan perasaan yang tidak
mendasar. Dan perlu ditekankan bahwa metode-metode yang digunakan seorang
mufassir harus sesuai dengan tuntuan yang telah ditentukan. Mufassir tidak
hanya pandai akan ilmu/metode saja, akan tetapi mufassir hendaknya solih
kepribadiannya.[17]
Dan menurut pandangan pribadi, jika
hermeneutika dijadikan sebagai dasar untuk metode tafsir Al Qur’an, maka tidak
menutup kemungkinan akan mendapati sebuah kerancuan, karena hermeneutika
merupakan berasal jauh dari budaya keislaman, dan juga hermeneutika pada
dasarnya diciptakan untuk menafsirkan teks-teks Yunani kuno, dan pertama kali
hermeneutika digunakan metode menafsiran, ialah digunakan untuk Bibel. Bila menilik
kepada I’jazul Qur’an, maka metode ini akan terpatahkan, karena kualitas Qur’an
jelas di atas kitab-kitab lainnya.[18]
Pada dasarnya Al Qur’an merupakan kitab suci yang selevel dengan teks-teks
Yunani kuno. Hermeneutika sangat menekankan pada konstektual, tidak tekstual.
Padaha secara Ilmiah segala sesuatu yang otentik itu berawal dari tekstual yang
kemudian bisa ditarik kesimpulan pada kontekstual. Jadi bisa dikatakan bahwa
hermeneutika itu menitikberatkan pada penalaran atau paradigma penafsir.
Pada intinya tafsir Al Qur’an ada
dua sifat, yakni Relatif (zhanni) dan tetap (qath’i),[19]
dalam hal ini ayat-ayat dalam kategori mutasyabihat merupakan ayat yang tidak
mudah untuk ditafsirkan dengan jelas, sehingga para ulama pun berbeda pendapat,
namun bersepakat bahwa ayat mutasyabihat itu multi tafsir.[20]
Yang kedua adalah muhkamat yang bersifat jelas, para ulama sepakat dalam
penafsirannya, dan biasanya menjadi dalil rujukan hukum. Tidak semua ayat
bersifat relative dan pasti. Semua ada takarannya, agar supaya manusia tetap
selalu belajar dan belajar serta mengambil hikmahnya. Al Qur’an bukanlah yang
mengikuti/tunduk pada perkembangan budaya manusia, tetapi Al Qur’anlah yang
menuntun dan merombak budaya untuk menjadi lebih baik sesuai tuntunan Allah
SWT.
[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo, 2004.
Hal. 132.
[3] Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Hal. 197.
[4] Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hal. 176.
[5] Rizal, dkk. Filsafat Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Hal. 56
[6] Diane Collinson. Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan.
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001. Hal. 24.
[7] http://halimparamadina.blogspot.com/2010/10/hakikat-filsafat-bahasa.html
[8] Tim MKD IAIN Sunan Ampel Sby, Pengantar Study Islam, Surabaya:
IAIN Ampel Pers, 2006. Hal. 175.
[9] Ibid.
[10] Rosihon Anwar, Pengantar Studi Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2009. Hal. 25
[11] http://www.academia.edu/3536746/Kajian_Islam_dalam_Pendekatan_Filsafat
[12] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004. Hal. 28
[13] Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana,
2005. Hal. Hal. 44.
[14] Abdul Rozak, Cara Memahami Islam : Metodologi Studi Islam.
Bandung : Gema Media Pustakama, 2001. Hal 27.
[15] Fahmi Salim. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal.
Depok: Gema Insani Press, 2011. Hal. 45.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hal. 46.
[18] Adian Husaini & Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika dan
Tafsir Al-Qur’an. Depok: Gema Insani Press, 2007. Hal. 33.
[19] Abu Zayd, Nasr Hamid. Teks Otoritas Kebenaran (terj).
Yogyakarta: LkiS, 2003. Hal. 23.
[20] Ibid.
SOCIALIZE IT →