A.
Peran Guru sebagai
Pendidik Professional
Pendidikan berintikan
interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan
merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika
salah satu komponen hilang maka hakikat pendidikan juga hilang. Dalam situasi
tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh
media teknologi tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan
professional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan
pendidik professional.[1]
Sebagai pendidik
professional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara
professional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan professional tenaga
kependidikan.
Guru sebagai pribadi
yang dituntut keprofesionalannya dan siswa yang mengembangkan kemampuannya
sebagai insan pembelajar juga membutuhkan tinjauan secara utuh dan bermakna.
Proses pembelajaran secara utuh dalam menumbuhkan kemampuan emosional, di
samping kemampuan intelektual dan bermakna bagi siswa dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Peningkatan kualitas emosional siswa harus diupayakan karena emosi
berperan penting dalam proses pembelajaran dan tidak dapat diabaikan. Emosi
berperan menghubungkan tubuh dengan otak dengan menyediakan energi untuk memacu
prestasi akademik, kesehatan dan keberhasilan pribadi. (Given, 2007 : 81).
Pembelajaran PAI di
sekolah yang memiliki peran strategis
dalam pemberian makna dalam aspek emosional siswa yang sering tidak
dikembangkan secara maksimal. Siswa disuguhkan pembelajaran yang membosankan
tanpa melibatkan permasalahan kehidupan nyata yang ada di lingkungannya. Guru
sering membawa situasi kehidupan nyata dan disajikan dalam proses pembelajaran
PAI tetapi tidak sesuai dengan kehidupan siswa sehingga tidak bermakna.
Pembelajaran selalu dilaksanakan melalui metode ceramah, sedangkan kehidupan
sosial siswa sebagai bagian dari anggota keluarga maupun masyarakat memiliki
berbagai potensi untuk digunakan sebagai sumber belajar yang menarik.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu :
1.
Kemampuan professional,
yang mencakup :
a.
Penguasaan materi
pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan
pelajaran tersebut.
b.
Penguasaan landasan dan
wawasan kependidikan dan keguruan.
c.
Penguasaan proses
kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
2.
Kemampuan social, yaitu
kemampuan menyesuaikna diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar.
3.
Kemampuan personal yang
mencakup :
a.
Penampilan sikap yang
positif terhadap keseliruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan
situasi pendidikan.
b.
Pemahaman, penghayatan,
dan penampilan nilai-nilai yang seharusnya dimiliki guru.
c.
Penampilna upaya untuk
menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya.
B.
Peran
Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Dilihat dari segi
pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat
sentralisasi, desentralisasi, dan sentral-desentral. Peranan guru dalam
berbagai model ini dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu perencangan,
pelaksanaan dan evaluasi. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan
berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau
kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi
kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam
kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan
dan hasil-hasil penggunaan suatu kurikulum.
a.
Peranan guru dalam
pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
Dalam kurikulum yang
bersifat sentralisasi, guru tidak memiliki peranan dalam perancangan, dan
evaluasi kurikulum yang bersifat makro (kurikulum yang menyeluruh meliputi
semua komponen, atau meliputi semua komponen, atau seluruh siswa pada jenjang
pendidikan tertentu), mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro (jabaran dari
rincian dari kurikulum mekro, atau
rancangan dari bagi pelaksanaan pengajaran di kelas).[2]
Kurikulum Pendidikan
Agama Islam yang disusun oleh lembaga sekolah hendaknya sesuai dengan tujuan
yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
minat dan tahap perkembangan siswa, memiliki metode dan media mengajar yang
bervariasi serta menyusun progam dan alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum
yang tersusun sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam
implementasinya. Implementasi kurikulum hampir seluruhnya bergantung pada
kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Guru hendaknya mampu
memilih dan menciptakan situasi-situasi belajar yang menggairahkan siswa, mampu
memilih dan melaksanakan metode mengajar yang sesuai dengan kemampuan siswa,
bahan pelajaran dan banyak mengaktifkan siswa. Guru hendaknya mampu memilih,
menyusun dan melaksanakan evaluasi, baik untuk mengevaluasi perkembangan atau
hasil belajar siswa untuk menilai efisiensi pelaksanaannya itu sendiri. Guru
juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para siswanya tentang apa yang akan
dicapai dengan pengajarannya, misalkan saja guru memberikan tugas-tugas
individual atau kelompok yang akan memperkaya dan memperdalam penguasaan siswa.
Dalam kondisi ideal guru juga berperan sebagai pembimbing, berusaha memahami
secara saksama potensi dan kelemahan siswa, serta membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.
b.
Peranan guru dalam
pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
Kurikulum
desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam
suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau
lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas
karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah. Bentuk
kurikulum ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain :
Pertama, kurikulum
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat. Kedua, kurikulum
sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah baik kemampuan profesional,
finansial dan manajerial. Ketiga, disusun oleh guru-guru sendiri dengan
demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya. Keempat, ada motivasi kepada
sekolah (kepala sekolah, guru), untuk mengembangkan diri, mencari dan
menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam
kompetisi dalam pengembangan kurikulum.
Beberapa kelemahan
kurikulum ini adalah:[3]
- Tidak adanya keseragaman untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat.
- Tidak adanya standart penilaian yang sama sehingga sukar untuk diperbandingkannya keadaan dan kemajuan suatu sekolah/ wilayah dengan sekolah/ wilayah lainnya.
- Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa kesekolah/ wilayah lain.
- Sukar untuk mengadakan pegelolaan dan penilaian secara nasional.
- Belum semua sekolah atau daerah mempunyai kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.
Selain itu, perlu
kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu
diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (1)
posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang
ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan budaya mayoritas
masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (4)
lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar (Hamid, op cit: 522).
Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan mestilah mencakup
subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan
agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi
dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.[4]
Pada kurikulum PAI ada
hal yang lebih pokok yang memang diharapkan dan bukan hanya dalam target tujuan
PAI tapi juga sebagai pendidikan yang lahir dari agama islam diharapkan dapat
berkompetensi jasmani dan rohani, artinya berkompetensi dalam hal sikap, skill,
pengetahuan secara afektif, kognitif, psikomotorik sesuai dengan ajaran agama
islam dalam aspek jasmani.
c. Peranan
Guru dalam Pengembangan Kurikulum yang Bersifat Sentral Desentral
Untuk mengatasi
kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya
dapat digunakan yaitu bentuk sentral desentral. Peranan guru dalam dalam
pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara
sentralisasi.[5]
Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaraban kurikulum induk
ke dalam program tahunan/ semester/ atau satuan pelajaran, tetapi juga di dalam
menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Guru-guru turut memberi
andil dalm merumuskan dalam setiap komponen dan unsur dari kurikulum. Dalam
kegiatan yang seperti itu, mereka mempunyai perasaan turut memilki kurikulum
dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam
pengembangan kurikulum.
Karena guru-guru sejak
awal penyusunan kurikulum telah diikutsertakan, mereka memahami dan benar-benar
menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas
akan lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagi pengguna, tetapi
perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator
kurikulum.
C.
Pengembangan
Kurikulum PAI
Pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai: kegiatan menghasilkan
kurikulum PAI atau proses yang mengkaitkan satu komponen dengan yang lainnya
untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik;dan/ atau kegiatan penyusunan
(desain), pelaksanaaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.[6]
Dalam realitas
sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal-hal tersebut masih
tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari fenomena
berikut:
- perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agtama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI
- perubahan dari cara berpikir tekstual, normative, dan absolutis kepada cara berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam
- perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiuran agama Islam daripada pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut
- perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, tujuan PAI dan cara-cara mencapainya.
D.
Peranan Guru dalam
Mengembangkan Kurikulum PAI
Kurikulum merupakan
salah satu komponen penting dalam pendidikan nasional. Kurikulum berfungsi
sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai kemampuan dan hasil belajar
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran. Kurikulum dalam pendidikan islam sendiri, memilki corak yang
berbeda yang membedakannya dengan kurikulum pendidikan yang lain menjadi
cirinya sendiri.[7]
Omar Muhammad At-toumy
as-Syaibani menyebutkan bahwa ada lima ciri pendidikan islam. Kelima ciri
tersebut secara ringkas sebagai berikut:
1.
Menonjolkan tujuan
agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat dan tekniknya
bercorak agama.meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum
yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran yang menyeluruh.
2.
Bersikap seimbang
diantara berbagai ilmu yang dikandung didalam kurikulum yang digunakan.
Bersikap meyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak
didik.
Peran pendidikan Agama
Islam melalui pelaksanaan proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
yang tepat di sekolah sangat penting dalam penguasaan IPTEK, terutama IMTAQ
siswa. Pendidikan agama Islam berperan untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT serta berakhlak mulia. Kedudukan pendidikan agama Islam di
berbagai tingkatannya dalam sistem pendidikan nasional adalah untuk mewujudkan
siswa yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Guru sebagai pelaksana
kurikulum di kelas mempunyai peranan yang penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan, sebagaimana dikatakan (Sukmadinata, 2005: 191) pendidik, peserta
didik dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan, ketiganya
membentuk suatu segitiga, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat
pendidikan. Komponen-komponen utama pendidikan tersebut berinteraksi dalam
suatu kerangka upaya pencapaian tujuan pendidikan melalui pelaksanaan proses
pembelajaran.
Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), guru berada di
garda terdepan. Guru diberi tugas untuk mengembangkan Standar Isi kurikulum.
Pengalaman yang selama ini bergulat dengan anak didik menjadi modal utamanya
dalam mengimplementasikan semangat Standar Isi ini. Sikap keingintahuan terhadap
segala hal, melakukan langkah-langkah yang kreatif serta tidak kenal menyerah
dan putus asa menghadapi kendala di lapangan sangat diperlukan. Guru harus
berusaha menjadi guru ideal, di samping menjadi contoh moralitas yang baik,
diharapkan ia memiliki wawasan keilmuan yang luas sehinga materi PAI dapat
ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Memahami psikologi anak
didik sangat diperlukan pula. Belajar PAI di sekolah bagi anak didik bukan saja
belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar adanya
pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru, tidak cukup
menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki kemampuan
bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa Inggris, sehingga
kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa menyampaikan ini
halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan mengikuti
perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media teknologi
informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini, pembelajaran yang
efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang komprehensif dan
implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru yang memiliki
kriteria-kriteria di atas.[8]
Dalam konteks
pendidikan Islam, Kamrani Buseri menekankan bahwa peranan pendidik adalah untuk
menumbuhkan nilai Illahiah terhadap peserta didik, nilai Illahiah berkaitan
dengan konsep tentang ketuhanan dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Nilai
Illahiah berkaitan dengan nilai Imaniah, Ubudiyah dan Mualamah, dalam hal ini
pendidik mesti berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembangkan diri peserta
didik terhadap nilai-nilai tersebut. Peranan pendidik dalam penumbuhan
nilai-nilai Illahiah akan lebih meningkat bila disertai dengan berbagai
perubahan, penghayatan, dan penerapan strategi dengan perkembangan jiwa peserta
didik yang disesuaikan dengan jiwa peserta didik.
Hasil observasi
menggambarkan kondisi pembelajaran PAI di lapangan, yang menunjukkan: (1) Guru
Pendidikan agama Islam (PAI) sering menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan
demonstrasi, (2) Guru-guru PAI kurang memperlihatkan adanya perbedaan
langkah-langkah mengajar untuk topik yang berbeda seperti Tauhid, Ibadah, Syariah,
Akhlak, Tarikh, Membaca Alqur’an. Padahal setiap topik menuntut metode/langkah
khusus. (3) Perilaku Guru PAI menunjukkan aktualisasi nilai-nilai Islam, baik
untuk pembinaan diri sendiri maupun pembinaan orang lain, antara lain perilaku
sabar dan bersilaturahmi, serius dan patuh, penuh perhatian dan adil.
[1]
Dakir, (Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004).
[2]
Nana Syaodih Sukma Dinata, (Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 2000), hlm. 200.
[3]
Ibid., hlm. 201
[4] Hendyat Soetopo, (Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta : PT. :Bumi Aksara,
1993), hlm. 42.
[5]
Op.cit., hlm. 202.
[6]
Muhaimin, (Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 34.
[7]
Subandijah, (Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Rajawali Pers, 2000),
hlm. 32.
SOCIALIZE IT →