Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, Ia adalah alumni KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo 1960, menyelesaikan S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1968, kemudian meraih gelar Doktor (Summa Cum Laude) dari Universitas Chicago di AS 1984. Disertasinya berjudul : Ibn Taymmiyah on Kalam and Falsafa. Sebelum berangkat ke Amerika, dua periode memimpin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 19661971 dan presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara 1967-1969 serta wakil sekjen IIFSO (Internasional Islamic Federation of Students Organisation). Pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta 1971-1974, direktur LSIK Jakarta 1974-1976, penelititi leknas LIPI 1976-1984, Staf Ahli IPSK LIPI, pernah menjadi tamu guru besar di Mc GILL University Montreal, Canada 1991-1992.[1]
Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina. Juga tercatat sebagai anggota Komnas HAM RI, pengajar pada program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Khasanah Intelektual Islam, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Konstektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.[2] Itulah biografi singkat dan perjalan organisa-organisasi yang pernah digelutinya beserta karya-karya beliau.
Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina. Juga tercatat sebagai anggota Komnas HAM RI, pengajar pada program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Khasanah Intelektual Islam, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Konstektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.[2] Itulah biografi singkat dan perjalan organisa-organisasi yang pernah digelutinya beserta karya-karya beliau.
a.
Pandangan
Nurcholish Madjid tentang Pluralisme.
Nurcholish Madjid adalah orang yang dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman keyakinan di Indonesia. Menurut Madjid, keyakinan adalah hak paling dasar setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Madjid mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Madjid tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Madjid meyakini bahwa manusia sebagai individu yang sempurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Ayat tersebut, menurut Madjid dimulai dengan pernyataan fakta bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi ke dalam berbagai macam komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri ke arah petunjuk.
Disamping itu ada ayat Al quran yang memberi pengakuan terhadab keragaman budaya, bahsa dan agama sebagai wahan untuk saling berlomba dalam mengukir kebajikan dan bekerja sama dalam kebenaran: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Al-Hujurat 49/13).
Oleh karena itu, kata Madjid, yang diharapkan dari setiap masyarakat manusia adalah menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri. Misalnya, yang secara harfiah dijelaskan dalam ayat Al quran di muka, sikap yang sehat itu adalah menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk secara maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan dalam masyarakat. Semua ini disebabkan karena hanya Allah Yang Maha Mengetahui, dalam artian yang paling final, tentang baik dan buruk, benar dan salah. Dan Tuhan pula yang akan mengumpulkan seluruh umat manusia untuk diberi keputusa akhir dalam keadilan dan kemurahan hati.[3]
“Sesungguhnya Islam itu universal, pertama-tama karena Islam sebagai sikap pasrah dan tunduk patuh kepada Allah, Sang Maha Pencipta, adalah pola wujud seluruh alam semesta. Dalam bahasa yang tegas, seluruh jagad raya adalah suatu wujud atau eksistensi ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan, baik yang terjadi dengan sendirinya mampu karena pilihan sadar secara suka rela”.[4]
Maka untuk menuntun umat manusia agar jangan sampai salah pilih sehingga memiliki sikap tunduk dan pasrah kepada Penciptanya itulah diutus para Rasul. Mereka para Rasul itu datang silih berganti dalam sejarah umat manusia, dan semua mereka membawa pesan yang sama, yaitu Islam, ajaran untuk pasrah serta tunduk dan patuh kepada Tuhan.
Bagi setiap khatib dan juru dakwah dapat dipastikan telah mengetahui adanya prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sebuah firman Allah yang amat sering dikutip berkenaan dengan ini ialah: “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah nyata (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Barang siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang kukuh, yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah 2/256).
Firman tersebut menegaskan bahwa jalan hidup tiranik adalah lawan dari jalan hidup beriman kepada Allah. Itu berarti bahwa jalan hidup berdasarkan iman kepada Tuhan ialah kebalikan dari sikap memaksa-maksa. Karena iman kepada Allah dan menentang tirani itu mempunyai kaitan logis dengan prinsip kebebasan beragama, maka bahkan Nabi pun diingatkan: “Kalau seandainya Tuhanmu mengehendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua,” (Qs. Yunus 10/99).
Maka dari itu, prinsip kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Dan pelembagaan prinsip kebebasan beragama itu dalam sejarah umat manusia, yang pertama kali ialah yang dibuat oleh Rasulullah saw. Sesudah beliau hijrah ke Madina dan harus menyusun masyarakat majemuk (plural) karena menyangkut unsur-unsur non Muslim.[5]
Jika penganut agama itu semua mengamalkan dengan sungguh-sungguh ajaran mereka, maka Allah menjanjikan hidup penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam kehidupan sesudah mati. Suatu firman yang secara umum ditujukan kepada semua penduduk negeri menjanjikan bahwa kalau mereka memang benar-benar beriman dan bertakwa, maka Tuhan akan membukakan berbagai berkah-Nya dari langit dan dari bumi. Dan sebuah firman yang ditujukan kepada para penganut kitab suci menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar beriman dan bertakwa maka Allah akan mengampuni segala kejahatannya dan memasukkan mereka kedalam surga. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad harus menyatakan beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Sikap ini ada dalam rangkaian petunjuk dasar hubungan beliau dengan agama-agama yang ada, yang berdasarkan kitab suci.[6]
[3] Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan politik Nurcholis
Madjid, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, 111.
SOCIALIZE IT →