Abdurrahman Wahid, dilahirkan di Jombang
7 september 1940, pendidikan dasarnya ditempuh di SD KRIS Jakarta Pusat (sampai
kelas 4), SD Mataraman Perwasri, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Dan pernah nyantri di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Pesantren
Tegalrejo Magelang Yogyakarta, PP. Tambak Beras Jombang, lalu melanjutkan ke
perguruan tinggi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Universitas Baghdad Irak,
Belanda, Jerman. Beliau juga Pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4, Dewan
Syuriah Nasional NU, Ketua PBNU 1984-1989, 1989-1994 dan 1999, lalu meninggal
pada 31 Desember 2009.[1]
a.
Pandangan
Abdurrahman Wahid tentang Pluralisme
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dikenal karena
sering membela kaum minoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan
sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol pada era orde baru.
Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Dalam
pemikiran Gus Dur, ia tidak menginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon,
dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang
ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan,
terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal
saja.
Gus Dur juga dikenal sebagai bapak
pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Dasar semua pemikirannya tidak lain
adalah konsep humanisme, memanusiakan manusia. Humanisme ini menurut Listyono
adalah pengahargaan tertinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat
pada diri manusia. Penghargaan tersebut tercermin dalam tingkah laku manusia
yang menghargai kehidupan orang lain yang memiliki kebebasan berpendapat,
berpikir, berkumpul, dan berkeyakinan atas apa yang diyakini terbaik bagi
hidupnya.[2]
Bagi Gus Dur, nilai terpenting dari sebuah
agama adalah pemaknaan terhadap bagaiman manusia menempatkan dirinya di dunia
untuk bisa mengelola dan mengaturnya bagi tujuan kebaikan hidupnya tersebut.
Gus Dur berkeyakinan bahwa justru humanisme Islam lah, termasuk juga
ajaran-ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosila, yang mendorong
seorang Muslim tidak seharusnya takut kepada suasana plural yang ada di
masyarakat modern, sebaliknya harus meresponya dengan positif.[3]
Berdasarkan pemahaman humanisme
tersebut, menjadi wajar bila Gus Dur sangat menolak segala bentuk kekerasan,
apalagi di dalamnya berdimensi agama. Masih ingat kasus konflik berdarah di
Ambon serta Situbondo, yang ditolaknya adalah pelibatan agama untuk melakukan
kekerasan dalam konflik tersebut. Karenanya, ia pun kemudian tidak setuju
dengan pendirian laskar-laskar agama untuk menyelesaikan konflik-konflik
tersebut. Secara tegas, ia mengatakan bahwa perjuangan hak asasi manusia,
demokrasi, dan kedaulatan hukum adalah perjuangan universal dan bukan hanya
menjadi hak atau claim satu-satunya sebuah agama.[4]
Gus Dur mengakui bahwasanya segala
perjuangan dan pemikirannya yang kemudian dibaca orang sebagai bentuk
perjuangan atas penyemarakan pluralisme dan demokrasi tidak lain adalah
perjuangan nasionalisme Indonesia itu sendiri. Karena bagi Gus Dur ruh dari
nasionalisme adalah bagaimana kita sepakat bahwa segala bentuk penjajahan
dimuka bumi, siapa pun penjajahnya harus dilawan, siapapun yang terjajah harus
kita bela. Oleh karena itulah, kaum minoritas dan yang tertindas selalu dibela
oleh Gus Dur.[5]
Sedangkan fungsi Islam bagi kehidupan
manusia menurut Gus Dur, seperti dalam Al quran, “Nabi Muhammad diutus tidak
lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan” (wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin)
dengan kata “rahmah” diambil pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia
semuanya bersaudara. Kata “alamin” disini berarti manusia, bukannya berarti
semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan
persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya
tindak kekerasan dari kehidupan.[6]
Dalam disertasi Charles Torrey, dia
menggunakan sebuah ayat Al quran untuk menunjukkan kepada perbedaan antara Islam
dan agama-agama lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama tersebut.
“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya
tidak akan diterima oleh Allah, dan dia diakhirat kelak akan menjadi orang yang
merugi ” (Qs Ali Imran 3/85). Dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah
keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak
kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.[7]
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau
melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal
yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu,
tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog
antar agama. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebetuhan berlaku dalam hal
ini. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar
agama juga menjadi kewajiban.
Kitab suci Al quran juga mengatakan:
“Sesungguhnya telah kuciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan
Kujadikan kalian saling mengenal (Qs. Al Hujurat 49/13). Menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara
laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan
demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang
dilarang adalarang adalah perpecahan dan keterpisahan.[8]
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kerjasama
antara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani
kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya
berbeda-beda. Disinilah nantinnya terbentuk persamaan antar agama, bukannya
dalam ajaran atau akidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi.
Batasan antara peranan negara dan
peranan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama itu harus jelas.
Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat yang harus berperan
menentukan hidup matinya agama tersebut di negeri ini. Di sinilah terletak
firman Tuhan dalam Al quran: “Tak ada paksaan dalam beragama, (karena)
benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu” (Qs. Al Baqarah
2/256). Jelas dalam ayat ini tidak ada peranan negara sama sekali melainkan
yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana
yang palsu. Jika semua agama itu besikap saling menghormati, maka setiap agama
berhak hidup di negeri ini.[9]
Sangat jelas dari uraian diatas, bahwa
diskriminasi harus dikikis habis. Kalau kita ingin memiliki negara yang kuat
dan bangsa yang besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai
kekayaan bangsa.
Pada hakekatnya, peranan agama dalam
pembangunan adalah turut melakukan transformasi sosial ke arah masyarakat yang
lebih dewasa, lebih demokratis, lebih berkecukupan dalam pemenuhan
kebutuhannya, dan lebih mampu mengangkat derajat kemanusiaan para warganya.
Transformasi sosial seperti itu, agar tidak menyengsarakan masyarakat melalui
kesenjangan sosial lebih besar di masa depan, haruslah dilandasi oleh visi
keadilan sosial yang jelas dan utuh. Paling tidak pada titik inilah agama dapat
memberikan sumbangan mendasar yaitu menyuarakan hati nurani bangsa dalam upaya
menegakkan keadilan bagi semua warga masyarakat dan menjamin persamaan derajat
dan hak mereka di hadapan undang-undang dan sistem pemerintahan.[10]
[1] Tim Redaksi, Majalah Ijtihad, Edisi 32 Tahun XVII
Rabiul awal-Rajab 1432 H.
[2] Muhammad Rifai, Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), 94-95.
[3] Ibid., 99.
[4] Ibid., 101-102.
[5] Ibid., 104.
[6]
Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan
Aetikel Selama Era Lengser (Yogyakarta: LKIS, 2002), 231.
[7] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006),133.
[8] Ibid., 134.
[9] Ibid., 154.
[10] Abdurrahman Wahid, Moralitas Pembangunan (Yogyakarta: LKPSM
NU DIY, 1994), 7.
SOCIALIZE IT →