A. Pengertian
Takhrij Hadits
a. Secara Etimologi
Kata takhrij
berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz (jelas)
(Munawir, 1984: 356). Takhrij juga bisa berarti al-istimbat (mengeluarkan),
al-tadrib (meneliti) dan al- taujih (menerangkan) (Abadi, 1313 H: 192) Takhrij
juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini al-muttadla diin fi syai’in wahid
(berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal), al-istimbath
(mengeluarkan dari sumbernya), at-tadrib (latihan), al-taujih (menjelaskan
duduk persoalan, pengarahan) (Ali, 2008: 2). Sedang menurut Syeh Manna’ Al-
Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya,
atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja artinya menampakan dan
memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat keluar, dan akhraja
al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan.[1]
b. Secara Terminologi
Adapun secara
terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber
aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Al- Tahhan, 1978: 9).
Takhrij menurut
Nizar Ali, mempunyai pengertian:
1.
Mengungkapkan atau mengeluarkan hadits kepada
orang lain dengan menyebutkan para perowi yang berada dalam rangkaian sanadnya
sebagai yang mengeluarkan hadits.
2.
Mengeluarkan sejumlah hadits dari kandungan
kitabnya dan meriwayatkan kembali.
3.
Petunjuk yang menjelaskan kepada sumber asal
hadits
4.
Petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada
sumber aslinya yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian
dijelaskan martabat/kedudukannya manakala diperlukan ( Ali, 2008: 3).
Sedangkan
takhrij menurut istilah ahli hadits, mempunyai pengertian:[2]
1.
Mengemukakan berbagai hadits yang telah
dikemukakan oleh para guru hadits atau berbagai kitab yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri atau para gurunya atau temannya atau
orang lain dengan menerangkan siapa periwayatannya dari para penyusun kitab ataupun
karya yang dijadikan sumber acuan, kegiatan ini, seperti yang dilakukan oleh
Imam Bukhori yang banyak mengambil hadits dari kitab al-Sunan karya Abu
al-Hasan al-Basri al-Safar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
(Ali, 2008: 43)
2.
Mengemukakan hadits berdasarkan kitab tertentu
dengan disertakan metode periwayatannya dan sanadnya serta penjelasan keadaan
para periwayatnya serta kualitas haditsnya, pengertian al-takhrij seperti ini
dilakukan oleh Zain al-Din ‘Abd al-Rahman ibn al-Husai al-‘Iraqi yang melakukan
takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya
al-Gazali dengan judul bukunya Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’.(Ismail,
1992: 43).
B. Objek
Takhrij
Objek
yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan.
Sanad sebagai unsur dari struktur hadits harus diteliti disamping banyak rijal
yang terdapat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum diterima
haditsnya, juga secara realitas memang diantara para rijal dalam sanad hadits
terkandang ada yang belum diketahui (majhul), misalnya terdapat unsur
sanad yang hanya disebut dengan rajul (رجل),
atau bahkan terkadang ada yang dilompati, misalnya setelah nama seorang tabi’in
langsung dikatakan nabi, yang menunjukan sanadnya terjadi missing link atau infishal
(انفصال).
Apalagi sebuah hadits yang ditulis atau disampaikan tanpa sanad maupun perawi
akhir.[3]
Matan
juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks
yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal
tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan
meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits.
C. Metode
Takhrij
Metode
takhrij adalah cara atau teknis melakukan penelusuran terhadap hadits dari
sumber asalnya, baik hadits tanpa sanad dan perawi, hadits dengan perawi,
maupun hadits lengkap sanad dengan menggunakan kitab-kitab rujukan yang
mendukung, maupun menggunakan alat tekhnologi digital.
Secara
metodologis, takhrij hadits dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu takhrij
dengan cara melacak perawi dari generasi shahabat, takhrij dengan cara melacak
awal kata matan hadits, takhrij dengan cara melacak suku kata atau potongan
matan hadits, takhrij dengan cara melacak tema hadits, dan takhrij dengan cara
melacak sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits.[4]
Adapun
langkah-langkah teknis yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan
takhrij adalah :
1.
Proses Takhrij
Dalam
melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij)
hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menentukan teks hadits atau topik terlebih
dahulu.
b. Menentukan atau mengetahui periwayat (rawi)
hadits, misalnya Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan sebagainya.
c. Menulusuri hadits yang dimaksud dari sumber
aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal al-Nabawi karya
Dr. A.J. Winsick atau lainnya untuk mengetahui dimana posisi sebuah hadits yang
dicari sesungguhnya berada.
d. Meneliti sanad. Setelah didapati keberadaan
hadits dan diketahui sanadnya dalam kitab tertentu, maka nama-nama yang
terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu. Untuk meneliti nama-nama
dalam sanad (rijal al-hadits) dapat dipergunakan buku-buku indeks perawi
seperti kitabTahdzib at-Tahdzib karya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk
mengetahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungan dengan perawi
lainnya, sehingga ditemukan simpulan tentang nama sebenarnya, sifatnya dan
sebagainya, hingga diketahui status haditsnya.
e. Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah
keempat tadi peneliti dapat menganalsis sebuah hadits melalui sanad, baik dari
aspek kwantitas dan kualitas, lalu ditentukan statusnya. Jika dimungkinkan,
maka dilakukaistinbath hukum dari proses tersebut.
f. Contoh
hadis tentang larangan menjual air
حدثنا عبدالله حدثني أبي سفيان عن عمر وقال أخبرني أبو المنهال سمع إياس بن عبد المزنيﱠوكان من أصحاب النبي ص. م قال لاتبيعوا الماء فإنيﱢ سمعت رسول الله ص . م نهى عن بيعالماء لايدري أيﱡ ماء هو ) رواه أحمد .(
(……
dari ‘Amr, dari Abu Minhal yang mendengar Iyas ibn ‘Abd al-Muzaniy, berkata
“janganlah menjual air karena aku mendengar Rasulullah saw. Melarang penjualan
air, dimana ‘Amr tidak mengetahui air apakah yang dimaksudkan”).
Untuk
melakukan praktik takhrij al-hadits sebagaimana langkah-langkah diatas dapat
kita contohkan, meneliti hadits tentang menjual air (bay’ al-ma’) dari
segi sanad dan sistem periwayatannya. Sebagai berikut :[5]
a. Mula-mula peneliti (Mukharrij)
harus mengetahui siapa perawi hadits tersebut. Jika suatu hadits tidak
disebutkan perawinya maka peneliti harus melacaknya, misalnya, melalui kitab
indeks hadits. Seorang perawi yang semestinya menjadi sentral riwayat hadits
tetapi tidk disebutkan, seperti al-Bukhari, Muslim dan sebagainya. Melalui
penulusuran tersebut ditemukan hasil bahwa hadits tersebut terdapat dalam kitab musnad
al-Imam Ahmad lengkap dengan petunjuk juz dan halamannya. Itu artinya
perawi hadits tersebut adalah Imam Ahmad RA.
b. Seorang peneliti mengkorfirmasi kebenaran
data dari Mu’jam tersebut dengan melihat langsung kitab yang
ditulis oleh perawi, yaitu Musnad al-Imam Ahmad. Setelah ditemukan
kebenarannya, peneliti mencatat nomor halaman maupun nomor hadits.
c. Seorang peneliti melengkapi
haditsnya dengan nama-nama sanad (rijal al-hadits) dan perawinya untuk
dilakukan penelitian selanjutnya.
2. Melacak
Periwayatan Hadits dan Kwalitas Perawi.
Setelah
menemukan hadits lengkap dengan sanad seorang peneliti mengamati nama-nama
dalam sana. Dalam menentukan sifat dan martabat hadits peneliti (Mukharrij)
harus mengetahui nama-nama perawi. Bagaimana kwalitas mereka (‘adil, dlabith,
atau tidak) dan bagaimana hubungan mereka dengan perawi sebelumnya. Untuk itu
nama-nama perawi dalam mata rantai sanad harus diidentifikasi satu persatu
untuk diteliti.
D. Manfaat Ilmu Takhrij.[6]
Dengan
demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu :
1. Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits,
dan
2. Mengetahui kualitas dari suatu hadits,
apakah dapat dtierima atau ditolak.
Sedangkan
manfaat takhrij secara umum banyak sekali, diantaranya :
a.
Memperkenalkan sumber-sumber hadits,
kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
b.
Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui
kitab-kitab yang ditunjukkannya.
c.
Memperjelas keadaan sanad, hingga dapat
diketahhui apakah munqathi’ atau tidak.
d.
Memperjelas perawi hadits yang samar karena
dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara
lengkap.
e.
Dapat membedakan antara proses periwayatan yang
dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
SOCIALIZE IT →