A.
Pengertian
Al Ghaibah
Ghaibah
menurut pengertian bahasa artinya sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh
indera manusia. Tidak dapat dilihat dan diketahui keberadaannya. Berasal dari
kata ghaibah, ghiyab menjajdi ghuyub dan ghaibun artinya tertutup dan tersembunyi.[1]
Ghaibah juga berarti keghaiban kalbu dari segala
apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku
makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya
tersibukkan oleh keghaiban yang tiba itu. Kemudian
rasa itu, dengan sendirinya ada yang lainnya, menjadi ghaib, karena faktor yang
tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Abu Nashr As- Sarraj Mengemukakan Al-ghaibah adalah ketidakhadiran (gaib). Dari penafsiran ghaibah ini merupakan tentang, Jin,
Surga dan Neraka, Setan.[2]
Akan tetapi menurut An-Naisabury
Abul Qasim al-Qusyairy Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang
diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena
adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh
kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya,
menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan
ancaman siksa.
Manakala ghaibah dari rasa yang muncul
oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda
menurut tingkah laku kondisinya. Menurut Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah mengatakan Ghaibah adalah keadaan dimana seseorang merasakan ketidak hadiran
dirinya dan orang lain. Ia telah lebur dan tidak terpengaruh dengan perasaannya
diantara mereka ada orang yang keadaan ghaibahnya berlangsung secara terus
menerus, dan ada juga hanya sementara.
Ada
dua maqam ghaibah. Ghaibah maqam pertama, yakni ghaibah
dapat merasakan segala sesuatu melalui kekuatan indera
bashirah. Ghaibah maqam kedua, yaitu ghaibah wujud dirinya sendiri.[3]
Dalam peringkat ini orang sufi mengenal konteks kehidupan, yang terekspresi di
alam sadarnya akan makna hidup, karena ia hadir dalam kebersamaan peristiwa. Ia
berada di tapal batas keghaiban dan kefanaan.
B.
Kehadiran Syuhud Al- Ghaibah
Gambaran
ghaibah di atas adalah salah satu bentuk syuhud para sufi, ketika mereka
menggambarkan dalam keghaiban rasa dengan bentuk yang sesungguhnya di akhirat,
yang kelak akan dialaminya. Suara keghaiban dari
hati nuraninya telah menggerakkan seluruh perasaan dan pikirannya pada
kehidupan diakhirat kelak. Demikian juga hal-hal lain yang ditemuinya didalam
kehidupan dunia.
Ghaibah
itu datangnya berbeda-beda dalam sanubari manusia, menurut kondisinya
masing-masing. Sesuai pula dengan perasaan yang dimunculkan oleh faktor yang
dibukakan oleh Allah swt kedalam hatinya. Masuknya perasaan itu berbeda-beda
menurut kondisi yang meyertainya.[4]
Memperoleh ghaibah lebih mendekati menggaibkan diri (fana), atau menghilangkan
perasaan yang bersifat duniawi dan menempatkan diri dihadapan Allah swt sebagai
tempat hadirnya jiwa dan batin.
Hal-hal yang
ghaib dapat terbagi dalam dua bagian yaitu: pertama, hal ghaib yang tidak
mempunyai bukti, seperti firman Allah: “Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua
yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri (al-An’am: 59). Kedua, hal ghaib yang mempunyai
bukti, yaitu sebagaimana Allah sebagai pencipta dan segala sifat-sifat-nya dan
bukti kenabian. Juga bukti yang berhubungan dengannya seperti hukum, hari
akhir, kebangkitan setelah meniunggal, hari perhitungan, dan hari pembalasan.
Ghaibah
berarti keghaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa
yang berlaku pada tingkah laku mahluk, karena adanya faktor yang datang
padanya, sehingga perasaannya tersibahkan oleh keghaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu dengan sendirinya
dan yang lainnya, menjadi ghaib karena faktor yang tiba, akibat mengingat
pahala atau memikirkn ancaman siksa.[5]
Sebagain dari para sufi mengatakan bahwa
alam ghaib dinisbatkan dengan alam Malakut yaitu alam yang kasat mata (Alamul
Hiss Wassyahadah) atau Batiniah. Dalam alam ini terdapat
keajaiban-keajaiban yang amat mempesonakan yang akan membuat remehnya alam syahadah
(alam lahiriah) di sampingnya. Alam malakut disebut juaga alam atas, alam
ruhani, dan alam nurani (alam cahyani). umumnya,
penafsiran "yang ghaib" di
situ adalah jin, malaikat, sorga dan neraka. bukankah ini juga termasuk kepada
kategori "yang gaib"?
C.
Perasaan
Ghaibah
Ketika seorang sufi melihat rumah yang sedang terbakar umpamanya, perasaan
ghaibahnya merasakan panasnya api yang membakar jiwanya. Pantulan perasaan itu
masuk kedalam pikirannya dan mengatakan: “alangkah panasnya api neraka, sangat
hinalah kelak diriku apabila nasib mengantarkan aku kedalamnya”.[6]
Diriwayatkan bahwasanya seorang ulama sufi lewat didepan rumah seorang tukang
besi. tampak dipandangannya api yang sedang menyala–nyala di pertungkuan besi
tersebut. Melihat kobaran api di dalam tungku tersebut, tiba-tiba ulama sufi
itu pingsan karena begitu mendalam ia menggambarkan dahsyatnya api neraka yang
membakar dirinya kelak di yaumil akhir.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain.
Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut
didalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak berpaling dari shalatnya. Lantas
ditanya tentang keadaanya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api
besar, lebih dari kobaran api itu,” jawabnya
Sebuah kejadian yang sangat aneh
pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia
menjalankan salat, dan dia tidak bergeming sedikitpun dari sujudnya ketika api
mulai menjalar ke tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para
tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya”. Api yang amat besar sangat
menggelisahkanku dari pada api ini jawabnya.[7]
Terkadang kondisi ghaibah
disebabkan
oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut
perbedaan ahwal-nya.
Keadaan (hal)
yang mengawali Abu Hafsh An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai
pandai besinya dimulai dari peristiwa pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dia
dengar dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa
tentang “rasa “ saat suatu warid dating menguasai jiwanya. Kemudian tangannya
dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang
membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya melihatnya dengan
heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh sendiri heran, lalu
melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan
pekerjaannya sebagai pandai besi.
Saya pernah mendengar Abu Nasher,
seorang muazin Naisabur yang sangat saleh, menuturkan pengalaman spiritualnya,
“Saya pernah baca Al-Qur’an di majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di
Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat
mempengaruhi hati saya.
Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah utuk
melaksanakan ibadah haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas
keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat
menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika beliau masih tinggal di Naisabur
sayalah yang melayani keperluan beliau juga membacakan Al-Quran di majelisnya.
Suatu hari saya melihat beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa
(meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan
mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini”, sambutnya
sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah
melihat saya sama sekali”.
Subhanallah! Permohonan bantuan memang hanya pada Allah.
Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta
bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan
sekarang Tuan mengatakan , saya baru melihatmu.
Utusan ini keluar seraya berteriak, “Dia Gila!” Kemudian dia
kembali ke rumah gurunya, Dzun Nun dan melaporkan semua yang disaksikan.
Tiba-tiba Dzun Nun menangis, “Saudaraku. Abu Yazid telah pergi
bersamaorang-orang yang pergi menuju Allah.”
SOCIALIZE IT →