A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas, suku budaya yang beraneka ragam dan juga masyarakat yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan.
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seprti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi ,nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinsn ,kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu
Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme berperan sangat penting dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Khususnya yang ada pada siswa seperti: keragaman etnis, budaya ,bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pendidikan Berbasis Multicultural?
2. Apa saja dimensi Pendidikan Berbasis Multicultural?
3. Pendekatan apa saja yang harus dilakukan dalam Pendidikan Berbasis Multicultural?
4. Apa tujuan dari Pendidikan Multikultural di Indonesia?
5. Bagaimana Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Berbasis Multikultural
Pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakat. Sedangkan multicultural berakal dari kata kultur. Pada umumnya, kultur diartikan sebatas pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu[1]. Jadi multicultural adalah keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis multicultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas. Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat.
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
B. Dimensi Pendidikan Multicultural
Dimensi pendidikan multicultural antara lain dipotret pada integrasi pendidikan dalam kurikulum, kontruksi ilmu pengetahuan, pengurangan prasangka, paedagogik kesetaraan antar manusia, dan pemberdayaan budaya sekolah.
1. Integrasi Pendidikan dalam Kurikulum (content integration)
Secara istilah, kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya kea rah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental.[2]
Upaya untuk meginterasikan pendidikan multicultural dikonsepkan dari isi kurikulum, antara lain memuat bagaimana mengurangi prasangka dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari eynis-etnis tertentu dan dalam materi apa prasangka-prasangka tersebut dapat dikemukakan. Disamping itu untu mengapresiasikan jenis-jenis kebudayaan dan segala perbedaan yang dimiliki oleh siswa.
Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan pendekatan pendidikan yang integrative dengan sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yag ada di dalam masyarakat. Suatu alas an yang dapat disampaikan antara lain siswa merupakan bagian dari anggota masyarakat yag memiliki karateristik yang harus diakui secara formal dalam pelaksanaan pendidikan. Perlakuan tersebut tertuang dan diintegrasikan dalam muatan kurikulum pendidikan yang direncanakan dalam setiap tahap, jenis, dan jenjang pendidikan.
2. Kontruksi Ilmu Pengetahuan (Knowledge Contruction)
Dalam kaitan ini diperlajari mengenai sejarah perkembangan masyarakat dan perlakuannya, serta reaksi dari kelompok etnis lainnya. Sejarah berisi hal-hal yang positif maupun yang negative yang perlu diketahui oleh peserta didik dalam upaya mengetahui kondisi masyarakatnya dewasa ini.
Perkembangan masyarakat dengan perlakuan dan reaksi antar kelompok dalam kurun waktu tertentu diketahui sebagai kesatuan dari berkembangnya pengetahuan masyarakat. Perjalanan sejarah yang terkadang memutar balik jarum jam dinilai sebagai materi kajian untuk mengetahui kontruksi ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Dengan keluasan pengetahuan dan pengalaman dapat membantu untuk menyusun strategi dirinya menuju tingkat kesejahteraan yang diinginkan.
3. Pengurangan Prasangka (Prejudice reduction)
Prasangaka rasial memang dihidupkan sejak masa kanak-kanak. Dalam pergaulan sesamanya mulai ditanamkan prasangka-prasangka positif maupun negative terhadap sesamanya. Dalam pergaulan antar kelompok yang intensif, prasangka-prasangka buruk dapat dihilangkan dan dapat dibina kerjasama yang erat dan saling menghargai.
Kekuatan yang terdapat dalam pergaulan kelompok pada akhirnya mampu mereduksi prasangka,. Reduksi itu terjadi karena dalam pergaulan kelompok terbuka wawasan untuk mengenal, mengetahuhi sekaligus mengalami pertautan antar karakteristik, serta pelatihan untuk melakukan pemecahan masalah. Dengan demikian, diharapkan terbangun insight berfikir positif, pada akhirnya dapat membangun sikap dan perilaku positif.
4. Paedagogik Kesetaraan antar Manusia (Equality Pedagogy)
Kebudayaan slalu berkaitan dengan kehidupan nyata yang terjadi dalam skala intercultural maupun multicultural. Dalam skala intercultural masyarakat membangun social bonds dengan groupthinknyab masing-masing. Dalam hal ini kelompok-kelompok etnis yang tersisihkan dianggap sebagai sikap yang tidak adil dalam masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan pendidikan yang mampu dan mau memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dari berbagai sisi kehidupan.
5. Pemberdayaan Budaya Sekolah (Empowering School Culture)
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat.
Mengapresiasikan falsafah masyarakat yang didalamnya mengahargai pluralitas berarti terdapat cirri-ciri pendidikan yang berorientasikan kepentingan multicultural. Apabila pendekatan-pendekatan pendidikan multicultural tersebut dapat dilaksanakan, maka dengan sendirinya lahir kebudayaan sekolah yang kuat dalam menghadapi masalah-masalah social dalam masyarakat. Dengan demikian, sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.[3]
C. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Sebagaimana sebuah upaya dalam mencapai tujuan, maka pelaksanaan pendidikan juga memerlukan pendekatan-pendekatan yang memungkinkan dapat membantu mencapai hasil pendidikannya. Pendekatan pendidikan yang dapat dirumuskan adalah pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistic integrative.
Pendekatan reduksional terbagi menjadi enam, yaitu:
1. Pendekatan Paedagogis
Pendekatan ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak akan dibesarkan menjadi orang dewasa melalui pendidikan. Pandangan ini sangat menghormati setiap tahap perkembangan anak menuju kedewasaan.
2. Pendekatan Filosofis
Pandangan ini bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak memiliki hakikatnya sendiri dan demikian juga dengan orang dewasa. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuknya yang kecil. Anak mempunyai nilai sendiri-sendiri yang akan berkembang menuju pada nilai-nilai seperti orang dewasa. Pandangan filosofis ini melahirkan suatu ilmu pendidikan yang melihat hakikat anak sebagai titik tolak proses pendidikan.
3. Pendekatan Religious
Pendekatan ini memandanga manusia sebagai makhluk religious. Dengan demikian, hakikat pendidikan adalah membawa peserta didik menjadi manusia yang religious. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta didik harus dipersiapkan untuk hidupsesuai dengan harkatnya untuk berTuhan. Pendekatan religious mengenai hakikat pendidikan menekankan pada pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik bagi kehidupan akhiratnya. Peserta didik memiliki kepercayaan dan keyakinan, ketertundukkan, penyerahan dan harapan kepada Tuhan. Oleh sebab itu, pendidikan agama menjadi cirri khas dan sekaligus sentral dalam proses pendidikannya.
4. Pendekata Psikologis
Pandangan ini lebih memacu pada masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan ini cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses belajar mengajar. Satu pandangan yang lebih cepat memaknai secara pragmatis berupa kerja teknnis dalam proses pendidikan. Bagaimana anak dibesarkan melalui proses belajar mengajar berdasarkan pada usia perkembangan dan kemampuannya.
5. Pendekatan Negativis
Pendekatan ini menyatakan tugas pendidik adalah menjaga pertumbuhan anak. Dalam pertumbuhan tersebut perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau sifatnyanegativ terhadap pertumbuhan itu. Dan pendidikan sebagai usaha mengembangkan kepribadian peserta didik atau membudayakan individu.
6. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat. Pendekatan ini memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kebutuhan individu.
Pendekatan holistic Integratif memandang bahwa:
1. Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia tidak pernah selesai. Pendidikan tidak terhenti ketika peserta didik menjadi dewasa, tetapi akan terus menerus berkembang selama interaksi itu berlanjut.
2. Proses pendidikan berarti menumbuhkan eksistensi manusia. Eksistensi tersebut membutuhkan interaksi dengan dirinya dan dengan dengan sesuatu di luar dirinya.
3. Eksistensi manusia yang bermasyarakat. Proses pendidikan merupakan proses yang mewujudkan eksistensi manusia agar mampu menjadi bagian dari masyarakatnya. Dalam pengertian ini, proses pendidikan bbukan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat ayau hidup dalam masyarakat, tetapi proses pendidikan tersebut adalah dalam ranngka membentuk masyarakat itu sendiri.
4. Proses pendidikan yang membudaya. Inti dari kehidupan masyarakat adalah nilai-nilai. Niali-nilai tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan. Dimiliki, dan dilaksanakan oleh seluruh proses tersebut dimaksudkan sebagai proses berjalannya kebudayaan.
5. Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historis, kekinian, dan visi masa depan.[4]
D. Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai Bering menjadi adi penyebab konflik antar kelompok masyarakat.
Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Tujuan pendidikan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam.
2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan.
3. Memberikan ketahanan siswa dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya.
4. Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya. [5]
Dalam pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
E. Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam
Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural.
Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK”, selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme, apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam, sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis.
Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:
1. kekeliruan memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam sebagai agama (ad-din) berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang orisinalitasnya terjaga.
Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli yaitu wahyu, dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya, tidak mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-agama lainnya -terutama agama bumi- di dunia ini yang lahir dari sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari’at hidup manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq.
Islam juga bukan agama sejarah (historical religion). Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam berlaku sepanjang masa. Islam memiliki pandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta, dan lain sebagainya.
2. Kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama. Pemahaman keliru ini berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits), konsep truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) tidak boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan bahwa klaim kebenaran merupakan puncak dari semangat egosentrisme. Klaim kebenaran bagi paham ini dianggap sebagai kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap membanggakan dan mengunggulkan diri). Sikap klaim kebenaran inilah yang menurut kalangan penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang akan menghasilkan friksi di masyarakat dan menimbulkan konflik.
Padahal dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah SWT juga di hadapan manusia lainnya adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Selain sebagai bagian dari deklarasi kemusliman serta kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut menjadi media dakwah pada manusia yang lain untuk sama-sama beriman dan berislam.
Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa harus meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat, setuju, membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip ajaran agama, nilai-nilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh agama itu sendiri.
3. Kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.
Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya.
Kalangan multikulturalis memaknai budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam bingkai multikulturalisme.
Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun kelompok.
Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya.
Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang justeru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan.
4. Agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.
Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman.
________________________________________
[1] Ainul Yaqin, Pendidikan Multicultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), halm. 6
[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat Pres, 2002), halm. 56
[3] Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultura, (Jawa Tengah: Sala Tiga, 2007), halm.75-79
[4] Maslikhah, halm. 80-84
[5] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/
SOCIALIZE IT →