Pada hakikatnya berfilsafat adalah berfikir untuk mencari sesuatu
yang belum diketahuinya sekaligus mencari sebuah kebenaran yang
sebenaar-benarnya sesuai dengan kaidah-kaidah rasioanal, radikal dan mendalam.
Lebih lanjut daripada itu kegiatan berfikir pun sangat perlu untuk aplikasikan
dan dipublikasikan dan cara publikasi tersebutlah yang sangat urgent, sebab
pemikiran tanpa publikasi tidak akan bisa untuk dimengerti khalayak. Melalui
bahasalah metode publikasi tersebut, dalam perkembangannya filsafat telah
melaui banyak dinamika yang berliku-liku.Berawal dari filsafat alam dan hingga
filsafat kontemporer (kekinian).
Pembahasan-pembahasannya pun berbeda-beda dan tidak menutup
kemungkinan para filsuf banyak berbeda pendapat dan saling mengkritik satu sama
lain. Bahasa sangatlah penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam beragama pun dalam
penyampaiannya juga melalui bahasa.Dalam sebuah risalahnya pun agama juga
berbahasa.
Seorang filsuf linguistik pada umumnya sudah mempunyai sebuah
system untuk mendekati bahasa sebagai suatu obyek khusus.Sedangkan seorang
filsuf bahasa menganggap bahwa bahasa itu mencerminkan semacam visi kodrati
lagi spontan yang dapat dipakai sebagai sumber filsafat.[1]
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
deskripsi relevansi antara pemikiran kontemporer dengan kajian keislaman
2.
Bagaimana
tipologi/contoh pemikiran kontemporer dalam kajian keislaman
3.
Sikap akademis
pemikiran kontemporer dalam kajian keislaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Relevansi Pemikiran Kontemporer Dengan Kajian Keislaman.
1.
Pendekatan
Metode Pemikiran Kontemporer
Pendekatan filsafat merupakan usaha berpikir untuk mendapatkan
suatu kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan mencari/meneliti akar masalah
kajiannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral,
karena memperbincangkan suatu masalah dari segi esensi (hakikat sesuatu). Yang
mana dapat disimpulkan bahwa sejatinya berfilsafat intinya berfikir secara
mendalam, seluas-luasnya, sebebas-bebasnya, dan tidak terikat pada apapun
sampai ke dasar dari segala dasar.[2]
Sangat menarik kalau kita membahas fisafat kontemporer yang mana
filsafat kontemporer juga bisa diartikan secara garis besar bahwa berfilsafat
dengan kajian kehidupan saat ini atau secara singkatnya cara pandang yang
mendalam yang menyangkut kehidupan pada saat ini. Filsafat kontemporer sering
dikaitkan dengan postmodern yang mana secara istilah postmodern berarti setelah
modern.Itu sangat logis sebab postmodern menitik beratkan pada kebebasan, dan
tidak selalu harus simetris.Suatu contoh sederhana: seni bangunan
postmodern tidak mementingkan keseimbangan bangunan melainkan sesuai kesenangan
hati atau bisa disebut request. Kalau dikaitkan dengan filsafat
kontemporer yaitu ada suatu kesamaan yakni kebebasan.Kebebasan dalam memakai
teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal
original.[3]
Bertrand Russel pada tahun 1924 mengemukakan posisi filosofisnya
sebagai posisi atomisme logis yang berpendapat bahwa semua entitas kompleks,
dengan analisis, dapat ditundukan pada particular-partikular sederhana yang
dapat dijelaskan oleh nama-nama yang secara logika tepat. Pernyataan tersebut
dibuktikan dengan deklarasinya bahwa dunia memuat fakta-fakta yang berwujud
seperti apa yang kita pikirkan mengenai mereka.[4]
Hal itu menguatkan pemikiran sang filsuf sekaligus eksistensinya.
Banyak sekali tokoh filsuf kontemporer yang mengemukakan
teori-teori filsafatnya ke dunia luas.Dan pada perkembangan filsafat pada zaman
kontemporer ini sangat besar membawa perubahan ke dunia khalayak, melalui
pemikiran-pemikiran baru para filsuf kontemporer.Akan tetapi tetap tidak
meniggalkan kaidah-kaidah metode pemikiran filsafat terdahulu.Yang paling
menonjol di zaman kontemporer ini para filsuf saling mengkritik dengan
dalil-dalil teori yang telah ditemukan yang menurutnya itu sebuah teori yang
sudah teruji.
a.
Aliran-aliran
Filsafat Kontemporer
Intinya, pada filsafat kontemporer atau filsafat abad 20 itu
diwarnai oleh empat aliran besar. Yakni: Fenomenologi dan Eksistesialisme,
Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan Aliran-aliran Neomarxis, dan teori kritis
merupakan aliran yang terakhir, yang mana aliran kritis tersebut didalangi oleh
Frankfurt yang mengemukakan bahwa kaum marxis saat sebenarnya tidak marxis lagi
dalam artian sudah tidak murni. Kaum marxis menolak penyempitan ajaran karl marx oleh Friedrich Engels. Engel
merupakan kawan akrab dan setia karl marx yang menjelaskan ajaran marx dalam
bentuk sebuah system yang jelas, sedrhana dan logis yang dinamai menjadi “Marxisme” resmi.[5]
Dilain itu aliran strukturalisme dengan salah satu tokohnya J.
lacan dengan teori pemikirannya tentang bahasa. Menurutnya bahasa itu terdiri
dari dari sejumlah termin(jangka waktu)yang ditentukan oleh posisi –
posisinya satu terhadap yang lain. Termin tersebut digabungkan
dengan aturangramatika dan sintaksis.[6]Yang
mana dalam penjabarannya bahwa bahasa itu tidak begitu saja diucapkan dan
disepakati kemudian digunakan untuk alat sebagai komunikasi, melainkan bahasa
melalui tahap-tahap dan pemikiran-pemikiran yang ditempuh sesuai kaidah yang
pada akhirnya disepakati khalayak sebagai alat komunikasi yang kemudian
dipublikasikan.
Hal demikian juga dikemukakan oleh George Edward Moore bahwa bahasa
merupakan sesuatu yang melekat pada manusia.Ia melekat pada kita sebagaimana
nafas dan gerak kita sehari-hari, namun sampai saat ini jarang sekali
orang-orang menelitinya lebih dalam. Kajian-kajian tentang bahasa (bukan kajian
bahasa) masih dianggap minim dan kurang.Sebab, orang-orang Yunani cenderung
menilai bahasa hanya sebagai ekspresi pikiran, akan tetapi mereka melupakan
bahwa bahasa justru juga bisa mempengaruhi pikiran.[7]
Bahasa juga merupakan sesuatu yang membedakan antara makhluk yang berakal
dengan makhluk yang lain. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kegiatan berpikir
sangat erat hubungannya dengan berbicara, sebab berbicara adalah suatu kegiatan
yang mengungkapkan apa yang dipikirkan. Jadi tidak perlu mencari sebuah
perbedaan antara berbicara dan berbahasa karena keduanya itu adalah sama.
Secara terminologis menurut Bloomfield, bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai
anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi.Karena
merupakan sistem, bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan
struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah.[8]
2.
Pendekatan
Kajian Islam/Study Islam
Memang penelitian agama tidak bisa serta merta dipisahkan dengan
aspek bahasa.Karena manusia adalah makhluk bahasa yang manadoktrin agama
dismpaikan dihayati dan disosialisasikan melaui bahasa.Sehingga ada sebuah pernyataan
bahasa agama, maksudnya didalam bahasa agama banyak digunakan bahasa simbolik
dan metafori, dengan demikian untuk menghindari kesalah pahaman mudah terjadi.[9]
Ada tiga macam istilah bahasa agama yang akan dibahas di sisni. Pertama ungkapan-ungkapan
yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat metafisi,
terutama tentang tuhan.
Kedua, bahasa kitab
suci terutama bahasa Alqur’an dan ketiga, bahasa ritual keagamaan.[10]
3.
Implementasi
Lingustik Dalam kajian Islam/study Islam
Linguistik memang sangat berpengaruh. Sebab di satu sisi bahasa
merupakan cara Tuhan untuk menyampaikan wahyu, begitu juga Nabi dalam
menyampaikan kepada umatnya. Seperti contoh Al Qur’an dan Al Hadits.Dalam
ajaran Islam banyak aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan trem-trem
kebahasaan, seperti konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman,
Islam,mukmin, kafir, fasik, murtad dan sebaginya.Lalu ada juga istilah-istilah
keagamaan yang berkaitan dengan relasi Tuhan dan manusia, seperti konsep
Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakatdan lain sebagainya. Pemahaman tentang
konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahamandari sudut kebahasaan sangat
diperlukan, seperti contoh: kata zakat, pada awalnya kata zakatmerujuk pada
makan tumbuh/berkembang secara umum, namun setelah datang Islam, katazakat
memiliki makna yang lebih menyempit merujuk kepada, batasan yang telah
diwajibkan untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak dari harta yang
telah sampai pada nasabyang telah ditentukan.[11]
Secara teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami
perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam
bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian
rujukan,rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru. Kata hijrah
misalnya secaraleksikal ia memilki makna “keluar dari suatu negeri ke negeri
yang lain”. Namun ketika katahijrah telah terhubung dengan kata iman dan jihad
dalam sebuah kalimat maka makna yangterkandung didalamnya tidak hanya sekedar
sebuah aktifitas perpindahan badan dari satutempat ketempat yang lain. Dalam
konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembanganmakna yang bisa jadi
mengarah kepada perluasan maupun penyempitan.Islam sebagai agama wahyu telah
memberikan pencerahan dan pembaharuan darisegala bidang, baik itu kebudayaan,
kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat, bernegaradan termasuk juga didalamnya
pembaharuan dari segi kebahasaan.[12]
Beberapa kunciterminologi etika Jahiliyah telah mengalami
transformasi semantik yang spesifik, seperti karim yang merupakan derivasi dari
karam dan lawan dari bakhil terdapat dalam al-Qur'ansebanyak 47 kali dengan
berbagai derivasinya.Pada awalnya karim merupakan cita-citaJahiliyah tertinggi
dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai manifestasi langsungdari
kemuliaan. Kemudian menghadapi transformasi ke dalam sesuatu semantik
yangmendalam, pada saat yang sama, dan dalam kaitannya dengan hal itu, kata
karim laluditerapkan kepada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat,
yang bukannyamenghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa berpikir
panjang dan semata-matauntuk pamer, namun sama sekali tidak ragu-ragu untuk
menggunakan kekayaannya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar “mulia”
berdasarkan konsep yang baru, yaknimembelanjakan kekayaanya “dijalan Allah.Masih
banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang harus difahami secara utuh dan mendalam,
hal tersebut bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan pemahaman yang akan
berakibat pada kesalahan dalam pengamalan.[13]Dapat
dibayangkan misalnya apabila umatIslam memahami kata sholat sebagaiamana
pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat padamulanya oleh bangsa Arab
diartikan sebagai do’a, padahal setelah kata sholat digunakandan dimasukan
dalam trem yang sangat pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telahmengalami
pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas
yangdiawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok
atau tiang dariagama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits Nabi
saw. Untuk dapatmengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah
dan akidah secaramendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan
bahasa memegang peran yangsangat besar.[14]
B.
Tipologi dan
Contoh Metode Pemikiran Kontemporer ke dalam Kajian Keislaman
1.
Kajian
Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an
Dalam hal ini tipologi pemikiran kontemporer sangat banyak
ditemukan dan seakan-akan terkotak-kotak oleh teori dari berbagai banyak
filsuf.Dan semakin berkembangnya zaman semakin banyaknya disipli ilmuyang
bermunculan hal tersebut ditengarai oleh penemuan-penemuan sebuah teori yang
sangat berkesinambungan dengan realita kehidupan kontemporer.
Dalam konteks ini dalam menimbang berbagai tawaranmetodologi yang
bersifat multidispilener yang biasa digunakan untuk memahami isi kandungan Al
Qur’an. Maka dari itu Linguistik dapat
digunakan dalam kajian pertimbangan bahwa pendekatan perbahasaan (Linguistik)
terhadap Al Qur’an sudah diterapkan para pemikir salaf hingga kontemporer.
Sejarah panjang umat islam dari Nabi SAW sendiri hingga ditafsirkan para
sahabat kemudian direpresentasikan oleh sahabat ibn abas, hingga pada akhirnya
dituliskan pada era modern dalam banyak karya kenamaan bahkan islamisis barat
pun tidak ketinggalan untuk menerapkan pendekatan ini.
Dengan demikian sebagai metode analisis maka linguistik sangat
berkisinambungan dengan metode pendekatan study Al Qur’an. Karenaal-Qur’an
merupakan produk evolusi kebudayaan masyarakat muslim, juga
merupakanrepresentasi nilai religius teologis muslim yang bercorak bahasa. Oleh
karena itu untuk memahami dan mengkaji al-Qur’an, setidaknya diperlukan pisau
analisis yang setara dengancorak yang dimilikinya, yaitu pendekatan linguistik.
Disinilah Strukturalisme Linguistik nampak konsisten dalam
aktifitasnya.Dengan titik pijak dari asumsi dasar bahwa bahasa adalah sebuah system
sebagaimana telah dijelaskan, serta bertumpu pada asumsi bahwa suatu makna
kataitu ditentukan oleh relasi-relasi kata secara linear baik sebelum dan
sesudahnya yang dalamtradisi Strukturalisme Linguistik disebut dengan hubungan
sintagmatis. Sehingga kadang-kadang suatu kata yang sama akan memiliki arti
yang berbeda-beda tergantung relasi ataukonteks strukturnya.Selain itu untuk
mencapai berbagai pemaknaan baru tersebut, juga nampak menguji kata-kata
tersebut dengan menggunakan analisis paradigmatis, atau dengan melihathubungan
mata rantai dalam berbagai rangkaian ujaran, baik yang serupa maupun
berbedadalam bentuk dan makna.dimana yang terpenting adalah relasi antara unsur
bahasa tersebut baik secara linear (struktural-sintagmatis) maupun secara
asosiatif (sistemis-paradigmatis). Di sini juga nampak penelaahan dari dua
perspektif linguistik yang dibedakan secara tegas olehFerdinand de Saussure,
yaitu perspektif sinkronis dan diakronis.[15]
C.
Sikap Kritis
Terhadap Metode Pemikiran Kontemporer Dalam Kajian Keislaman
Hermeneutika berhasil memunculkan berbagai polemik.Ketika akademisi
yang ternyata lulusan pesantren dan perguruan tinggi Islam dengan bangga
mempromosikan hermeneutika sebagai metode tafsir bau yang lebih relevan dan
fleksibel.Akademisi ilmu tafsir dan Al Qur’an sudah banyak mempraktekkan
hermeneutika untuk menafsirkan kitab yang terjaga keasliannya hingga yaumul
qiyamah.Dan tak sedikit kampus-kampus Islam yang menjadikannya sebagai mata
kuliyah wajib bagi jurusan yang berhubungan dengan ilmu tafsir dan Al Qur’an.
Pada mulanya hermeneutika digunakan untuk menafsirkan teks-teks
kuno Yunani.[16]
Sebagai alasan bahwa hermeneutika tidak sekedar ilmu tafsir akan tetapi
hermeneutika dianggap metode tafsir yang bersifat luas, tidak sekedar tertulis,
namun juga yang tidak tertulis. Sehingga pada perkembangannya hermeneutika
semakin meluas dan berkembang dengan suburnya.Tidak menutup kemungkinan para
islamisis barat pun juga mengikuti hermeneutika.Mantan rektor UIN Sunan
Kalijaga, Amin Abdullah, amat gigih dalam menggunakan hermeneutika sebagai
tafsir Al Qur’an.Bahkan beberapa liberalis mengatakan bahwa Al Qur’an hanyalah
muntaj tsaqafi (produk budaya) dari bangsa Arab yang dibawa oleh Muhammad. Kebanyakan
liberalis membebek para syaikhnya di Barat untuk merusak cara pandang muslim
terhadap al-Qur’an.[17]
Seharusnya seorang mufassir harus menguasai beberapa cabang ilmu
yang sesuai untuk tafsir Al Qu’an. Maksudnya, dalam menafsirkan tidak boleh
kalau hanya sekedar menggunakan logika pribadi atau spekulatif-spekulatif yang
hanya berwujud subjektivitas, atau hanya mengandalkan perasaan yang tidak mendasar. Dan perlu ditekankan bahwa
metode-metode yang digunakan seorang mufassir harus sesuai dengan tuntuan yang
telah ditentukan. Mufassir tidak hanya pandai akan ilmu/metode saja, akan
tetapi mufassir hendaknya solih kepribadiannya.[18]
Dan menurut pandangan pribadi, jika hermeneutika dijadikan sebagai
dasar untuk metode tafsir Al Qur’an, maka tidak menutup kemungkinan akan
mendapati sebuah kerancuan, karena hermeneutika merupakan berasal jauh dari
budaya keislaman, dan juga hermeneutika pada dasarnya diciptakan untuk
menafsirkan teks-teks Yunani kuno, dan pertama kali hermeneutika digunakan
metode menafsiran, ialah digunakan untuk Bibel.Bila menilik kepada I’jazul
Qur’an, maka metode ini akan terpatahkan, karena kualitas Qur’an jelas di atas
kitab-kitab lainnya.[19]Pada
dasarnya Al Qur’an merupakan kitab suci yang selevel dengan teks-teks Yunani
kuno.Hermeneutika sangat menekankan pada konstektual, tidak tekstual.Padaha
secara Ilmiah segala sesuatu yang otentik itu berawal dari tekstual yang
kemudian bisa ditarik kesimpulan pada kontekstual.Jadi bisa dikatakan bahwa
hermeneutika itu menitikberatkan pada penalaran atau paradigma penafsir.
Pada intinya tafsir Al Qur’an ada dua sifat, yakni Relatif (zhanni)
dan tetap (qath’i),[20]
dalam hal ini ayat-ayat dalam kategori mutasyabihat merupakan ayat yang tidak
mudah untuk ditafsirkan dengan jelas, sehingga para ulama pun berbeda pendapat,
namun bersepakat bahwa ayat mutasyabihat itu multi tafsir.[21]Yang
kedua adalah muhkamat yang bersifat jelas, para ulama sepakat dalam
penafsirannya, dan biasanya menjadi dalil rujukan hukum.Tidak semua ayat
bersifat relative dan pasti.Semua ada takarannya, agar supaya manusia tetap
selalu belajar dan belajar serta mengambil hikmahnya.Al Qur’an bukanlah yang
mengikuti/tunduk pada perkembangan budaya manusia, tetapi Al Qur’anlah yang
menuntun dan merombak budaya untuk menjadi lebih baik sesuai tuntunan Allah
SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi bisa disimpulkan, semakin berkembangnya zaman semakin banyak
pula macam disiplin ilmu yang bermunculan.Filsafat yang nota bene induk dari
berbagai ilmu pengetahuan juga sangat bervriasi seiring perkembangan mulai dari
awal penemuannya hingga saat ini (kontemporer).Teori perbahasaan memang sangat
relevan untuk menyampaikan apapun yang ada dalam kegiatan berpikir.Kemudian
muncullah teori hemerneutika yang mana teori ini untuk menafsirkan berbagai
teks-teks filsafat Yunani kuno pada zamannya.Yang kemudian digunakan untuk
menafsirkan ke berbagai leteratur, termasuk kitab suci Al Qur’an.
Akan tetapi menurut berbagai pandangan jikateori hermeneutika
tersebut dikaitkan/terapkan untuk menfsirkan Al Qur’an sangatlah tidak relevan,
karena Al Qur’an berdasarkan tekstual dan merupakan kitab suci yang tidak
selevel dengan literature apapun yang ada di bumi ini.
Untuk Makalah Full, bisa download DISINI lengkap dengan FootNote da Daftar Pustaka
SOCIALIZE IT →