Pendidikan merupakan permulaan untuk meraih sesuatu yang berguna dengan ketentuan bahwa apa yang telah diberikan mesti diajarkan dengan cara yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan bukan hanya pengajaran, tetapi juga merupakan semacam pembaharuan. Pendidikan menentukan kriteria yang akan menjadi acuan semua kegiatan atau proses di masa berikutnya sebagai suatu prestasi. Semua pendidikan formal mempunyai atau mendukung tujuan kegiatan diri secara sadar dan nyata yang berlangsung di dalam berbagai lembaga pendidikan. Belajar, dari pihak murid, adalah proses psikologis dan moral yang melibatkan cara berpikir, berkehendak, berlatih, dan hal - hal produktif lainnya. Puncak semua pendidikan, yang ditanami ketulusan hati, adalah membekali murid kemandirian moral yang berarti memiliki undang-undang diri yang universal, bersifat pribadi, dan juga mampu menetapkan diri. Pembahasan mendalam atas berbagai gagasan pendidikan Ghazali dengan tujuan tunggal, yaitu menjadikan cirri - cirinya yang mendasar, tetapi dapat dipahami oleh orang-orang muda. Gagasan - gagasan Ghazali akan menarik setiap orang yang beriman apabila pribadi - pribadi kita yang mempunyai tujuan kesempurnaan, apabila masyarakat menginginkan pembangunan, apabila nasib kita dimaksudkan untuk penyelamatan, gagasan - gagasan pendidikan dari Ghazali dapat memainkan peran yang besar.
A. Riwayat hidup Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di
Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus wilayah Khurasan dan wafat di
Tabristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 1505 H
bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.[1]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah
kelahirannya, Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Dalam sejarah
filsafat Islam mencatat bahwa Al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang
yang ragu dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu yang dicapai melalui panca
indera maupun akal pikiran. Misalnya, ia ragu terhadap ilmu kalam (teologi)
yang dipelajarinya. Hal ini disebabkan dalam ilmu kalam terdapat beberapa
aliran yang saling bertentangan sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan
aliran mana yang betul - betul benar di antara semua aliran.
Sebagaimana halnya ilmu kalam, dalam ilmu filsafat pun,
Al-Ghazali juga meragukannya, karena dalam filsafat, dijumpai argumen - argumen
yang tidak kuat dan menurut keyakinannya, ada yang bertentangan dengan agama
Islam. Ia akhirnya mnegambil sikap menentang filsafat. Al-Ghazali tidak hanya
menentang pengetahuan yang dihasilkan akal pikiran, tetapi juga menentang
pengetahuan yang dihasilkan panca indera. Menurutnya, panca indera tidak dapat
dipercaya karena mengandung kedustaan. Misalnya, ia menyatakan “bayangan
(rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi sebenarnya bergerak dan pindah
tempat.” Demikian juga bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
hasil perhitungan mengatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.
B. Pandangan Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan
ahli filsafat pendidikan islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan
tugas pendidikan adalah mengarah pada reaksi tujuan dari keagamaan akhlak, di
mana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang
paling penting dalam pendidikan. Sesuai dengan penegasan beliau: “Manakala
seorang anak menjaga anaknya dari siksaan dunia, hendaknya ia menjaganya dari
siksaan api neraka/akhirat, dengan cara mendidik dan melatihnya serta
mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak yang baik merupakan sifat
Rasulullah SAW. (sayyidul mursalin) dan sebaik-baik amal perbuatan orang yang
jujur, terpercaya, dan merupakan realisasi daripada buahnya ketekunan orang
yang dekat kepada Allah.”
Selanjutnya beliau mengatakan: “Wajiblah bagi seorang
guru mengarahkan murid kepada tujuan mempelajari ilmu, yaitu taqarrub kepada
Allah bukannya mengarah kepada pimpinan dan kemegahan.”[2]
Pemikirannya tentang tujuan pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan kepada tiga: (1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada
Allah, (2) Tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah,
(3) Tujuan pendidikan Islam mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang
diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada
Allah.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusha
membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi
dekat dengan Khaliqnya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia
merupakan makhluk mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya.
Untuk itu, pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan
hendaknkya diarahkan pada aspek tazkiyah an-nafs.
Seseorang dinamai guru apabila memberitahukan sesuatu
kepada siapapun. Seorang guru adalah orang yang ditugaskan di suatu lembaga
untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada para pelajar dan pada gilirannya dia
memperoleh upah atau honorarium. Seorang guru atau ulama adalah orang yang
menempatkan cita-cita teragung dan termulia tersebut di depan muridnya dan
membimbingnya untuk mencapainya.[3]
Adapun ciri-ciri pendidik :
1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya
sendiri.
2. Guru jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama dari
pekerjaannya (mengajar) karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi
Muhammad SAW sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik
yang mengamalkan ilmu yang dijarkannya.
3.
Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang
bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat
4.
Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan
intelektual dan daya tangkap anak didiknya
5.
Guru harus mengamalkan yang diajarkannya karena ia
menjadi idola di mata anak muridnya.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut
al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi
atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh
Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang
memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik
adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang
sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik
memiliki tugas dan kewajiban, yaitu: (1) mendahulukan kesucian jiwa; (2)
bersedia merantau untuk mencar ilmu pengetahuan; (3) jangan menyombongkan
ilmunya dn menentang guru; (4) mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila
Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan
jiwanya dengan akhlaq al-karimah.
2.
Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Artinya: "Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik
bagimu daripada yang sekarang (permulaan)." (QS.Adh Dhuha: 4)
3. Bersikap
tawadhu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
4.
Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran.
5.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi
maupun duniawi.
6.
Belajar dengan bertahap dengan memulai pelajaran yang
mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu fardlu 'ain menuju
ilmu fardlu kifayah.
7.
Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada
ilmu lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi illmu pengetahuan secara
mendalam.
8.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
9.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu
duniawi.
10.
Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu
pengetahuan yaitu yang dapat bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta
memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
C. Sasaran Pendidikan Menurut
Al-Ghazali
Al-Ghazali telah menulis beberapa buah karya tentang
persoalan pendidikan dan pembinaan mental. Tetapi pendapatnya yang terpenting
termuat di dalam kitab "Fatihat al-'Ulum", kitab "Ayyuhal
Walad" dan "Ihya' 'Ulumuddin". Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin,
al-Ghazali sesungguhnya telah meletakkan kerangka aturan pendidikan yang
sempurna dan menyaluruh dan terinci dengan jelas. Hal ini tidaklah aneh, karena
pendidikan itu konklusi logis dan filsafat.
Ada dua alat pokok yang digunakan untuk mencapai setiap sasaran program
pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh pelajar atau
dengan kata lain, kurikulum pelajaran atau materi kurikulum untuk pelajar
sehingga materi pelajarannya dapat dikuasai secara penuh dan benar, dapat
dimanfaatkan. Dengan demikian, seorang pelajar akan dapat sampai tujuan
pendidikan dan pengajaran yang diharapkan.
Dari studi terhadap pendapat al-Ghazali mengenai
pengajaran dan pembinaan mental itu ada dua, yaitu: (1) kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan (2) kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan pendapat al-Ghazali
tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend pendidikan islam,
yaitu trend-trend agama dan etika. Maka sasaran pendidikan menurut al-Ghazali
adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Dan manusia akan sampai
kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui
jalur ilmu dan amal.[4]
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan di
akhirat itu, tak lain adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang
terutama.
D. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Mengenai kurikulum, Al-Ghazali telah menyusun
kurikulum yang dia atur berdasarkan arti penting yang dimiliki oleh
masing-masing ilmu seperti berikut ini:
1. Urutan pertama; Al-Qur'an al-Karim,
ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Sunnah dan Tafsir.
2. Urutan kedua; Ilmu-ilmu bahasa (bahasa
Arab), ilmu Nahwu serta artikulasi huruf dan lafadz. Ilmu-ilmu ini melayani
ilmu-ilmu agama.
3. Urutan ketiga; Ilmu-ilmu yang termasuk
kategori wajib kifayah, yaitu ilmu kedokteran, ilmu hitung dan berbagai
keahlian, termasuk ilmu politik.
4. Urutan keempat; Ilmu-ilmu budaya,
seperti syair, sastra, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti
matematika, logika, sebagian ilmu kedoketran yang tidak membicarakan persoalan
metafisika, ilmu politik dan etika.
Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya, ia jelaskan
kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Ia tekankan bahwa ilmu itu wajib dituntut
bukan karena keuntungan di luar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri.
Sebaliknya al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni dan
keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai tasawuf dan zuhud.
Dalam kurikulum al-Ghazali ini tampaklah jelas dua
kecenderungan:
1)
Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di
atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat mensucikan diri dan
membersihknnya dari karat-karat dunia.
2) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak
jelas di dalam karya-karyanya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaiannya
terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di
dunia maupun di akhirat. Hal ini terbukti dari ucapannya sendiri bahwa;
"Seluruh manusia itu akan binasa kecuali yang berilmu, dan
seluruh orang yang berilmu itu akan binasa kecuali orang yang beramal dan
seluruh orang yang beramal itu juga akan binasa kecuali orang yang
ikhlas."
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imam Al-Ghazali
bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliau memulai
pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus, dengan mempelajari dasar-dasar
pengetahuan. Dalam sejarah filsafat Islam mencatat bahwa Al-Ghazali pada
mulanya dikenal sebagai orang yang ragu dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik
ilmu yang dicapai melalui panca indera maupun akal pikiran.
Beliau
menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada reaksi tujuan dari keagamaan
akhlak, di mana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan
yang paling penting dalam pendidikan. Adapun Tujuan pendidikan Islam mengantarkan
peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini
diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik
pada kedekatan diri kepada Allah.
Mengenai sasaran
pendidikan, menurut al-Ghazali adalah
kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Dan manusia akan sampai kepada
tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur
ilmu dan amal.
Al-Ghazali
telah menyusun kurikulum yang dia atur berdasarkan arti penting yang dimiliki oleh
masing-masing ilmu seperti berikut ini: Urutan pertama; Al-Qur'an
al-Karim, ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Sunnah dan Tafsir, Urutan kedua; Ilmu-ilmu
bahasa (bahasa Arab), ilmu Nahwu serta artikulasi huruf dan lafadz. Ilmu-ilmu
ini melayani ilmu-ilmu agama, Urutan ketiga; Ilmu-ilmu yang termasuk
kategori wajib kifayah, yaitu ilmu kedokteran, ilmu hitung dan berbagai
keahlian, termasuk ilmu politik, Urutan keempat; Ilmu-ilmu budaya,
seperti syair, sastra, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti
matematika, logika, sebagian ilmu kedoketran yang tidak membicarakan persoalan
metafisika, ilmu politik dan etika .
Untuk Makalah Lengkapnya Silahkan Download DISINI Lengkap dengan FootNote dan Daftar Pustaka
SOCIALIZE IT →