Di temani malam
terang benderang, karena sedang musim kemarau. Tanpa awan yang menghalangi
tampak bintang-bintang bertebaran di langit, berkelip-kelip cahaya dari
pantulan matahari. Diam, seolah tidak bergerak menemani malam dan bulan yang
belum berbentuk bulat penuh.
Kalau sudah
mulai bermain skak seperti ini, kami lupa dengan waktu. Ini sudah permainan
ketiga, yang pertama aku pemenangnya raja bapakku mati di tengah arenanya
sendiri di damping oleh seorang prajurit dan bentengnya. Nyawa raja bapakku di
akhiri oleh menteriku yang bekerja sama dengan dua kudaku. “pemanasan wira..”
kata bapakku sesaat setelah rajanya tak bisa bergerak. Seolah beliau akan
bersungguh-sungguh setelah itu. Aku hanya tersenyum dengan kemenangan
prajuritku.
Benar saja pada
putaran kedua aku kalah oleh bapakku. Dan kalah dengan mengenaskan. Rajaku mati
mengenaskan di pojokkan areaku oleh serangan bertubi-tubi dari kuda dan di
bantu oleh peluncur yang menyerang secara miring dari belakang dan parahnya
lagi rajaku hanya di dampingi oleh satu pion yang ada di depannya.
bapakku hanya
tersenyum senang, “baru satu sama bapak..” aku berkelakar. Yang sebenarnya
kutujukan untuk menghibur diriku sendiri. “baiklah.. ini ronde terakhir untuk
malam ini wira..” jawab bapakku. Permainanpun di mulai kembali, aku kembali
menggunakan bidak putih dan bapakku bidak hitam. Aku memulai pembukaan dengan
pembukaan andalanku, memajukan 2 langkah pion yang berada di depan rajaku. bapakku
membalas dengan memajukan dua buah pionnya yang di depan kuda masing-masing
satu langkah.
Permainan yang
ketiga ini aku lebih berani, aku menyerang area kekuasaan bapakku bahkan tak
segan-segan menghabisi pion bapakku meskipun pionku juga di matikan oleh
bapakku. Bapakku lebih sabar menunggu dan melihat arah permainanku. Setelah
beberapa menit permainan berlangsung satu persatu bidak kami mati karena saling
menyerang. Bidakku tinggal raja dan panglimanya, satu peluncur, satu kuda, dua
banteng dan empat prajurit. Sedangkan bidak bapakku yang masih tegak berdiri di
arena adalah raja dan panglimanya, satu peluncur, satu kuda, dua banteng dan
empat prajurit.
Akupun mulai
menyerang lagi, menggerakkan panglimaku untuk menghabisi satu prajurit bapakku.
Giliran bapakku, kudanya di gerakkan melewati panglimaku dan menghabisi satu
prajurit di belakang panglimaku. Akan ku habisi kudan bapakku dalam benakku,
baru memegang panglimaku bapakku berdehem ternyata kudanya di lindungi oleh
panglima hitam yang berada lima kotak di
belakang kuda bapakku.
Hampir saja,
kalau panglimaku ku gerakkan untuk memakan kuda bapakku, panglimaku bisa di
tikam dari belakang oleh panglima hitam yang mengintai dari belakang. Kalau itu
terjadi bisa tidak seimbang bidakku tanpa seorang panglima. Akupun berpikir
kembali dan memutuskan memajukan pionku satu langkah untuk mendampingi
panglimaku. Setelah itu bapakku menggerakkan salah satu bentengnya di belakang
arena yang hanya ada banteng dan raja satu langkah kedepan.
Akupun menskak
raja bapakku dengan menggunakan peluncurku, ternyata bapakku hanya menggerakkan
rajanya sedikit ke kanan untuk menghindari seranganku. Stelah itu aku berpikir
bagaimana untk menyerang raja bapakku lagi dengan menggunakan panglimaku
ternyata, raja bapakku di lindungi oleh dua banteng sejajar sehingga sulit untuk
di dekati. Akupun hanya menggerakkan kudaku membentuk L mendekati panglimaku
untuk membantu menyerang.
Giliran
bapakku, beliau juga menggerakkan kudanya kedepan, skak. Akupun hanya
menggerakkan rajaku ke samping. Tiba-tiba kuda bapakku menghampiri bentengku
yang sebelah kanan menyingkirkanya dari arena. Ternyata itulah tujuan
sebenarnya bapakku bukan untuk menyerang raja tetapi menghabisi
bentengku.stelah itu akupun menarik kembali kudaku kebelakang untuk melindungi
rajaku. Bapakku kembali menggerakkan kudanya, skak lagi. Akupun harus
menghindarkan rajaku ke samping karena langkah kedepan sudah di intai peluncur
bapakku yang ada di samping arena.
Aku mulai
kewalahan menahan serangan bapakku, sedangkan jika menyerang raja bapakku di
lindungi menteri dan dua bentengnya. Giliran bapakku lagi, skak. Kali giliran
panglima hitam yang menyerang akupu terpaksa harus menggunakan panglimaku untuk
melindungi raja, setidaknya jika panglimaku di makan aku juga bisa menghabisi
panglima ayahku dengan raja. Alih-alih bapakku memakan panglimaku dengan
panglimanya tapi panglimaku mati di singkirkan kuda. Akupun tidak bisa memakan
kudanya karena di bantu olenh panglima hitam dari belakang.
Dan seperti
yang kuduga dua langkah setelah itu rajaku tewas tak bisa bergerak di serang
panglima dan kuda bapakku. “ya.. kalah lagi..” keluhku. “sudah.. cepat tidur
sudah larut malam..”jawab bapakku sambil merapikan bidak kayu hitam putih itu
kedalam tempatnya. Akupun masuk kedalam rumah, saat melihat jam dinding di
tembok ternyata sudah jam 11 malam. Akupun masuk ke dalam kamar dan tidak lama
kemudian terlelap tidur . . .
Bersambung . . .
SOCIALIZE IT →