Banyak ahli sejarah
menyimpulkan bahwa Islam menyebar di Nusantara, secara khusus juga di daratan
Jawa, melalui keyakinan dan sikap hidup para saudagar yang senantiasa tiba dan
bepergian untuk kemudian bermukim dalam beberapa waktu saja di daerah
tujuannya.[1]
Setidak-tidaknya ada dua alasan yang muncul dari kesimpulan para ahli tersebut tentang faktor-faktor yang memungkinkan Islam menyebar dengan jalan pengaruh keyakinan dan sikap hidup para saudagar. Pertama, jumlah ummat Islam. Dalam sejarah dunia apa yang telah dicapai dan diperjuangkan oleh nabi Muhammad SAW untuk kejayaan tanah gurun pasir yang gersang yaitu Arab itu suatu sukses besar yang menakjubkan. Hanya selama 23 tahun sejak beliau diangkat menjadi Rasulullah yaitu pada tanggal 25 Dzulqa’idah 10 Hijriyah jumlah umat Islam telah mencapai 100 ribu orang.[2]
Kedua, kondisi sosial-ekonomis. Secara garis besar terdapat perbedaan
yang sangat mencolok di jazirah Arab, yaitu jazirah Arab Utara yang komunitas
penduduknya sudah demikian mapan di sepanjang jalur sungai dan di sekitar
sumber-sumber air (oase) dengan kebiasaan bercocok tanam, dengan jazirah Arab
Selatan yang terdiri dari kabilah-kabilah dengan system oligarki dan memiliki
kebiasaan mengembara (berpindah-pindah) untuk kepentingan berdagang maupun
berperang melawan kabilah lainnya.[3]
Kekuatan umat Islam
yang telah terbentuk dan dicapai oleh nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau,
kendati secara kuantitas semakin besar namun dari nilai dan semangat perjuangan
telah terseret pada kepentingan politik yang sektarianistis.[4]
Oleh sebab itu, muncullah pionir-pionir pekabar risalah dari kelompok saudagar
yang mengembara dari benua satu ke benua lainnya.
Bagi Islam – yaitu
agama yang telah memiliki dogma mapan dan telah terkodivikasi dalam al-Qur'an,
sunnah dan telah melahirkan Ushul Fiqh dan Ushuluddin yang telah teruji dalam
perjalanan sejarah – proses islamisasi dalam bentuk yang demikian itu dapat
bermuka dua, yaitu Islam – sebagai ajaran baru – lebih cepat diterima sebagai
keyakinan dan perilaku dalam seluruh lapisan masyarakat. Terbukti menginjak
abad ke-15 seluruh pulau Jawa telah resmi beragama Islam.[5]
Tetapi justru
dengan gerak cepat – sebagai konsekuensi dari budaya saudagar – yang begitu
mengagumkan itu, Islam tidak sempat terintensifikasi dalam ajaran ortodok;
Islam justru terserap dalam praktek-praktek keyakinan pra Islam, Hindu-Budha
yang sinkritik dan heterodok, atau bahkan tenggelam pada kebiasaan-kebiasaan
animistis.
Lebih jauh lagi,
setidak-tidaknya ada dua alasan yang muncul dari kesimpulan para ahli sejarah
tentang beberapa faktor yang memudahkan Islam untuk lebih dikenal dan diminati
sebagai ajaran baru yang menyejukkan, yaitu: pertama, para saudagar memiliki
kebudayaan terutama dalam kehidupan kesehariannya, yang berbeda dengan anggota
masyarakat pada umumnya, mereka bersih lantara berwudlu 5 kali sehari.[6] Kedua, Islam hadir di tengah masyarakat pada saat itu bukan semata-mata sebagai
system keagamaan, namun sekaligus berfungsi sebagai kekuatan alternative,
khususnya dalam hal tata hubungan kemasyarakatan dan sosial-politik, yaitu
bersendi pada prinsip keadilan dan persamaan (equity).[7]
Kekuatan politik
kerajaan Majapahit yang sentralistis terhadap raja – dewa dan didukung oleh
tatanan masyarakat yang hirarki – kasta, yaitu bentuk tatanan masyarakat yang
dapat memungkinkan eksploitasi golongan masyarakat berposisi mapan dan kuat
terhadap golongan masyarakat yang lemah, secara diametral bertentangan dengan
apa yang dilakukan oleh para saudagar, penyebar agama Islam yang pertama kali itu.
Mereka tidak mengakui adanya perbedaan keturunan, golongan dan suku, baik dalam
hal perkawinan maupun perdagangan. Dan hal demikian itu menurut De Graaf dan
Pigeaud merupakan pembaruan besar dalam pergaulan hidup yang terpecah-pecah
secara hirarkis.[8]
Dalam suatu
komunitas masyarakat tradisional pesisir, dengan dua daya tariknya diatas,
Islam mulai dikenal. Proses awal yang demikian itu melempangkan jalan untuk
proses Islamisasi komunitas masyarakat pedalaman yang bercorak
tradisional-agraris dan kemudian ke pusat-pusat kerajaan di seluruh dataran
Jawa, yang secara kharismatik dilakukan oleh para wali dan guru agama yang
berada di tengah-tengah masyarakat.
Akankah Islam
berhasil menanamkan nilai-nilai universalnya dalam kedua bentuk komunitas
masyarakat yang berbeda itu? Untuk lebih memberikan dasar jawaban atas
pertanyaan tersebut, berikut akan diuraikan bentuk masyarakat dan budaya di
Jawa dalam pendekatan geoantropologis. Untuk kemudian dalam sub berikutnya
dirumuskan pola-pola apa yang terbentuk dari persentuhan antara corak Islam
yang dibawa oleh para saudagar dan kemudian dilanjutkan oleh para wali atau
guru agama itu dengan bentuk-bentuk tradisi (pemikiran maupun simbol) yang
telah ada di Jawa, dalam pendekatan geoantropologi.
Namun sebelumnya
perlu dicatat bahwa uraian dari system masyarakat kedua komunitas (pantai dan
pedalaman) yang akan diuraikan berikut ini didasarkan pada kondisi sejak mulai
terasanya pengaruh Hindu dan Budha. Sehingga yang menjadi fokus uraian tersebut
ialah system komunitas yang dibentuk sebelum pengaruh ajaran Islam.
A.
Jawa dalam
Pandangan Geoantropologi
Pendekatan
geoantropologi dilakukan adalah sebagai upaya mencari bentuk atau pola-pola
tindakan manusia berdasarkan letak geografisnya, misalnya pesisir, pedalaman,
gurun pasir, kutub es dan sebagainya. Untuk itu sejak dataran rendah Sahul dan
cekungan tanah Sunda tergenangi oleh luapan air laut,[9]
Jawa mulai terbentuk sebagai pulau (sebagaimana yang ada saat ini) dan memiliki
dua kondisi alam yang sangat menonjol sebagai pusat-pusat kegiatan masyarakat,
yaitu pesisir dan pedalaman.[10]
Dua
kondisi alami (pesisir/pantai dan pedalaman) yang dimiliki oleh pulau Jawa,
masing-masing membawa pengaruh pada bentuk atau pola-pola manusia, baik dalam
kehidupan diri pribadi maupun sosial. Gambaran dua hal tersebut sebagaimana
diuraikan berikut ini:
1.
Pesisir
Wly daratan Jawa yang termasuk pesisir
adalah daratan sepanjang pantai utara dan muara-muara sungai. Dalam sebutan
sekarang wilayah tersebut meliputi: Banten, Sunda Kelapa (Jakarta), Cirebon, Demak,
Tuban, Lasem, Gresik, dan Hulu Sungai Brantas. Di wilayah itulah banyak manusia
bertempat tinggal dan mampu membentuk kehidupan masyarakat yang memiliki bentuk
dan pola kebudayaan khas, yaitu kebudayaan pesisir.
Sebelum lebih jauh diuraikan perihal kebudayaan
pesisir, berikut ini lebih dulu disebutkan dua faktor utama yang menyebabkan
posisi pesisir Jawa teramat penting dalam sejarah, khususnya sejarah agama,
yaitu pertama, tingkat pengetahuan dan teknologi masyarakat pesisir saat itu
relative maju, khususnya menyangkut kelautan. Misalnya wilayah Lasem, Tuban,
Banten, Jepara yang merupakan wilayah penghasil perahu yang cukup canggih saat
itu. Kedua, ekonomi dan perdagangan,
yaitu penghasil emas, beras dan berposisi sebagai tempat transit jalur perdagangan
Barat-Timur.
Arus lalu lintas perdagangan laut dari
dank e Jawa dengan sendirinya dapat menimbulkan perubahan-perubahan baru, yaitu
pertama, munculnya masyarakat baru yang didasarkan atas profesi atau gilded
dan gudang-gudang tempat penyimpanan atau penyaluran barang atau entropots.
[11]
Kedua, dalam perkembangan kemudian munculnya masyarakat baru, merupakan benih
munculnya kerajaan-kerajaan di pesisir, sebagaimana diutarakan oleh Fachry Ali
dan Bahtiar Effendy:
“…….. perkembangan Islam yang begitu menentukan
di sepanjang daerah pesisir Utara pulau Jawa menjadi penting. Fenomena itu
secara politis berarti membendung pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di Jawa
Timur.”[12]
Dari kedua faktor di atas maka muncullah
komunitas masyarakat pesisir yang memiliki struktur sosial, ekonomi, politik
dan budaya yang berbeda dengan daerah pedalaman.
Berikut akan diuraikan ciri-ciri
menonjol dari komunitas masyarakat pesisir sebelum pengaruh Islam.
a.
Kondisi sosial
pesisir Jawa pra Islam
Letak
geografis pesisir, yang memungkinkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari
luar, dapat mempengaruhi kondisi sosial yang mampu bertahan dan memberikan
nilai guna bagi kehidupan perorangan maupun sosial yang menjadi anggota
komunitas masyarakat pesisir tersebut.
Ciri-ciri
yang paling menonjol dalam kehidupan komunitas masyarakat pesisir adalah
mobilitas, baik vertical maupun horizontal. Dengan didominasi oleh aktifitas
perdagangan, maka struktur sosial harus dapat menciptakan dorongan mobilitas
itu.[13]
Sebagaimana diungkap oleh Y. Boelaars sebagai berikut:
“Pola hidup orang pesisir mengenal
peraturan-peraturan dalam kehidupan masyarakat, tetapi ketaatan terhadap
peraturan-peraturan itu tergantung pada untung atau rugi pribadi.”[14]
Sedangkan
ciri mobilitas vertical dalam masyarakat pesisir terlihat pada urusan
perkawinan dan pencapaian status sosial yang lebih tinggi. Dalam hal ini
struktur sosial pesisir mendudukkan sama derajatnya antara kaum kerabat raja
atau saudagar kaya dengan anggota komunitas masyarakat pada umumnya.
Urusan
perkawinan, dari seorang pria diharapkan suatu keberanian agresif, sedangkan
wanita diharapkan watak pemalu dan penurut, demikian juga dapat terjadi
sebaliknya.[15]
Jadi,
masalah pernikahan tidak disandarkan atas garis keturunan atau darah tertentu,
sebagaimana yang terjadi di dalam komunitas masyarakat pedalaman.
Demikian
juga masl persaingan diantara kerabat yang bertujuan merebut suatu status
sosial yang lebih tinggi telah dipergunakan syarat-syarat keahlian, kekayaan,
dan pangkat.
Ciri
mobilitas horizontal dalam komunitas masyarakat pesisir terlihat pada tata
pergaulan dan kerjasama antar kelompok masyarakat, yakni tidak bersandar pada
stratifikasi sosial hirarki – kasta yang feodalistis. Jikapun harus ada
kewibawaan dan loyalitas kepada orang-orang terkemuka, sifat orang pesisir,
dapat berubah sewaktu-waktu bilamana mereka dapat menjalin hubungan baru dengan
orang yang terkemuka lainnya, yang dipandangnya lebih tinggi karena kekayaan
atau posisi politisnya. Lebih jauh lagi Boelaars mengatakan: “Loyalitas bawahan
berpindah bersama turun naiknya kewibawaan atasan”.[16]
Struktur
sosial komunitas pesisir juga dapat dilihat dari hub kekeluargaan atau bentuk
keluarga. Orang pesisir mengenal sistem kekerabatan bilateral, yaitu yang
terdiri dari anggota keluarga yang menyebar ke desa-desa lain. Sedangkan
kelompok keluarga yang telah mapan menempati tempat tinggal khusus, dengan
sejumlah besar anggota keluarga, sehingga dapat menyerupai dusun kerabat,
seperti terlihat bekasnya hingga sekarang di Tuban, Gresik, Kudus, Cirebon dan
Sunda Kelapa.
b.
Kondisi ekonomi
pesisir pra Islam
Di
bidang mata pencaharian orang pesisir tidak terikat pada satu sumber
pencaharian nafkah. Diantara mereka ada yang menjadi nelayan, pedagang, pelaut,
pemungut bea cukai bahkan ada yang menjadi saudagar kaya yang memiliki perahu
dan jaringan perdagangan sangat luas.
Ciri
khas orang pesisir yang menghargai mobilitas dalam mata pencaharian dan
kerjasama, memunculkan ciri khas yang lain di bidang ekonomi, yaitu berpindah
dengan gampang dari majikan yang satu ke majikan yang lain bila dengan
perpindahan itu dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
c.
Kondisi politik
pesisir pra Islam
Di
bidang politik, komunitas masyarakat pesisir dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
pertama letak yang jauh dari pusat kerajaan (kekuasaan). Letak yang demikian
ini memungkinkan bagi siapapun yang memiliki kemampuan modal atau keahlian
lainnya, untuk menjalin kerjasama dengan kekuatan Negara lain, yang sekiranya
dapat membawa keuntungan bagi dirinya.
Kondisi
yang demikian itu sewaktu-waktu dapat mengancam posisi pusat kerajaan –
terutama jika terjadi konflik interen dan melemahnya control terhadap kedudukan
adipati-adipati pesisir.
Kedua,
sejarah tumbuhnya kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir. Faktor sejarah
tumbuhnya kota-kota pelabuhan dengan sendirinya mempengaruhi sistem intyeraksi
komunitas masyarakat pesisir di bidang politik, sebab mentalitas pedagang tidak
menghendaki sistem politik yang sentralistis. Kondisi itu lambat laun terutama
ketika terjadi kontak dengan Islam muncul keinginan-keinginan untuk lebih bebas
dari pusat kerajaan. Aspek inilah yang dijadikan titik acuan oleh Meilink
Roelofaz dan JC. Van Leur dalam melihat kekuatan Islam di Jawa dengan sikap
kurang bijaksana.[17]
Beberapa
data mengemukakan bahwa pesisir Jawa pra Islam telah dimonopoli oleh bangsawan
yang memiliki kapal-kapal dan saham, misalnya perdagangan di wilayah Kendal dan
Tegal dikuasai oleh Tumenggung dan dibawah kendali monopoli Raja Aceh. Demikian
juga dengan Banten, Jakarta (Sunda Kelapa) dan Gresik.[18]
Ada
catatan menarik sebelum uraian di bidang politik ini disudahi, yaitu pendapat
dari CJ. Van Leur yang mengatakan bahwa para pembesar Negara dan
bangsawan-bangsawan yang menguasai daerah pesisir ini ikut terlibat dalam
perdagangan.[19]
d.
Corak sosial-budaya
pesisir pra Islam
Di
bidang sosial budaya, yaitu perangai keseharian orang-orang pesisir memiliki
rasa harga diri sangat tinggi dan sangat peka. Oleh sebab itu mereka cepat
marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan bila disbanding dengan perangai
orang-orang pdalaman yang agraris.
Dibawah gejala-gejala mobilitas sosial dan perebutan status pada
masyarakat pesisir terdapat suatu sikap khusus orang pesisir. Perasaan
kemenangan atas usaha sendiri merupakan pola hidup pesisir yang pantas mendapat
penghargaan tinggi.[20]
[1] Marcel Bonneeff, Islam
di Jawa, Dilihat dari Kudus dalam Kumpulan Karangan, Citra Masyarakat
Indonesia Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hal. 227. Ia menyatakan bahwa
pengislaman itu merupakan hasil proselitisme yang diadakan oleh pedagang asal
Gujarat, Benggala atau India Selatan.
[7] Fachry Ali dan
Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, Mizan, Bandung, 1986, hal. 32.
[8] De Graaf, Dr. dan
Pigeuad, Dr. Th. G. Th., Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Kajian
Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Grafitipers, 1986, hal. 27.
[10] Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa, Studi Falsafi tentang Pandangan Hidup Orang Jawa, Gramedia,
Jakarta, 1988, hal. 11-12.
[11] Sartono Kartodirjo,
(edt.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial, Bhrata Karya
Aksara, Jakarta, 1977, hal. 7-25.
[13] Doelaars, Y. Kepribadian
Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya, Gramedia, Jakarta,
1984, hal. 58.
[17] Marwati, Djoened
Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, PN. Balai
Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 185-188.
[19] Burger, Prof. Dr.
DH., Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jilid I, Pradnyaparamita,
Jakarta, 1962, hal. 27-28.
SOCIALIZE IT →