A. Pengertian pendidikan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara “Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara “Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Dalam kamus Bahasa Indonesia 1991: 232, pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan kata “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi latihan. Kemudian mendapat imbuhan “pe” dan akhiran “an”, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai ahlak dan kecerdasan pikiran. Menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasional , pendidikan adalah usaha sadar dan terencanan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Dalam buku Mufradat, ar-Raghib al-’Ashfahani mengatakan bahwa ar-Rabb berarti tarbiyah (pendidikan) yang makna lengkapnya adalah menumbuhkan perilaku demi perilaku secara bertahap hingga mencapai batasan kesempurnaan.
- Teori-Teori Pendidikan[2]
- Koneksionisme
Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dalam eksperiman kucing atau puzzle box kemudian dikenal dengan nama instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen itu, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon , itulah sebabnya teori ini juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychologyof learning”. Thorndike mengemukakan tiga macam hokum yaitu:
- Law of effect yaitu jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat, sebaliknya semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon semakin lemah pada hubungan stimulus dan respon tersebut. Hokum inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforce dalam teori operant conditioning hasil penemuan B.F.Skimer.
- Law of rediness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organism itu berasal dari pendayagunaan conduction units (satuan perantara).
- Law of exercise (hukum latihan) ialah generaisasi atau law oh use dan lau of disuse. Menurut Hilqaret dan Bower (1975) jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use) dan sebaliknya jika perilaku tadi tidak akan sering dilatih maka akan terlupakan atau menurun (law ofdiscuses).
- Pembiasaan klasik (classical conditioning)
Teori pembasaan klasik ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Povlo (1849-1936) seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973). Dalam eksperimennya Pavlor meggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioning stimulus (CS), unconditioned timulus (UCS), unconditioned respone (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari. CR adalah respon yang dipelajari itu sendiri. UCS adalah rangsangan yang menimbulkan respon yang tidak dielajari. UCR adalah respon yang tidak dipelajari.
- Pembiasaan perilaku respon (operant conditioning)
Teori pembiasaan perilaku respon penciptanya bernama Burhus Fredic Skimer (lahir tahun 1904) seorang penganut behaviorism yang dianggap controversial. Tema yang mewarnai karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
- Teori pendekatan kognitif
Teori pendekatan kognitif adalah bagian terpenting bagi sains kognitif yang telah member konstribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi. Pendidikan sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas psikologi kognitif, ilmu-ilmu computer, linguistic, intelegensi buatan matematika, epistemology dan neuropsychological/ psikologi syaraf. Endekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti prnting proses internl mental manusia. Dalam pandangan ahli kognitif tingkah laku manusia tampak tidak dapat diukur dan diterbangkan tanpa melibatkan proses mental seperti: motivasi , kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
- Teori kognitif-Gestalt-Field
Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Teori ini berbeda dengan behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui dan bukan respon. Teori ini meneknkan pada peristiwa mental, bukan hubungan stimulus respon. Teori Gestalt berkmbang di Jerman dengan pendirinya yang utama adalah Max Werthaimer, menurut gestalt belajar siswa harus memahami makna hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Belajar adalah mencari dan mendapatkan prognanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Teori medan atau Field, menurut teori ini individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup. Dalam medan hidup ini ada suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu ada hambatan.
Jadi perbedaan pandangan antara pendekatan behavioristik dengan kognitif adalah sebagai beikut:
- Proses atau peristiwa belajar seseorang, bukan semata-mata antara ikatan stimulus. Respons, melainkan juga melibatkan proses kognitif.
- Dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya, misalnya belajar meniru sopan santun dimeja makan dan bertegur sapa. Peranan ranah cipta siswa tidak begitu menonjol meskipun sesungguhnya keputusan untuk meniru atau tidak ada pada diri orang itu sendiri.
C. Macam-Macam Pendidikan
1. Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah yang bersifat resmi. Pendidikan formal berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan pendidikan formal berstatus swasta.
2. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi paket A, paket B dan paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembagakursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
3. Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan, pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.pendidikan informal ini bersifat tidak resmi. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
D. Hubungan Pendidikan dan Jiwa Keagamaan
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan alQur`an (Islam) adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh alQur`an, untuk bertaqwa kepada-Nya.[3]Dengan demikian pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami nilai agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka perkembangan jiwa keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh bersama dengan suasana lingkungan sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah tumbuh maka akan terbentuk sikap keagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
Adapun beberapa pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan seseorang:
1. Pendidikan Keluarga
GilbertHighest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari keluarga. Hal ini mengandung pengertian, bahwa dalam usia bayi sampai usia sekolah keluarga mempunyai peran yang dominan dalam menumbuhkembangkan rasa keagamaan dalam seorang anak.
Potensi religiositas seorang anak akan dapat berkembang baik karena adanya sentuhan dari orang tua. Melalui sentuhan orang tua ini potensi keagamaan tersebut berkembang dengan baik karena adanya pengarahan yang baik pula.
Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dalam proses perkembangan rasa agama setiap individu. Kedekatan orang tua dengan anaknya menjadikan orang tua sebagai a significant person bagi anaknya. Semua perilaku keagamaan orang tua terserap oleh anak menjadi bahan identifikasi diri anak terhadap orang tuanya. Maka terjadilah proses imitasi perilaku, karena sekedar peniruan saja atau diiringi oleh keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Karena proses imitasi yang terus menerus maka perilaku keagamaan orang tua terinternalisasi dalam diri anak dan mengkristal menjadi kata hati.
Begitupun perkembangan agama menurut W.H Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat didalamnya di samping terjadinya kegiatan imitasi seperti yang telah diterangkan diatas.
2. Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitive lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kaelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapt dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tuan dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.[4]
Sesuai dengan peran dan fungsinya, lembaga pendidikan merupakan jenjang setelah pendidikan keluarga. Lembaga pendidikan agama mempunyai peran yang sangat efektif dalam perkembangan rasa keagamaan seeorang. Usia anak yang beranjak dewasa dibarengi rasa keingintahuan yang menggebu menjadi pintu bagi penanaman nilai-nilai keagamaan.
Pihak-pihak yang terkait dengan sekolah seperti guru dan kepala sekolah mempunyai tugas yang yang berat dalam rangka mengembangkan rasa keagamaan tersebut. Segala macam kurikulum, sistem belajar, metode, pendekatan dan sebagainya harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkkan dalam rangka penanaman rasa keagamaan. Rasa keagamaan yang dikembangkan dalam sebuah pendidikan agama akan berujung pada perubahan sikap menerima nilai-nilai agama.
Menurut McGuire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian, kedua adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat Bantu ynag memungkinkan anak-anak memberikan perhatiaanya. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata. Ketiga, peneimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua cirri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.
3. Pendidikan Masyarakat
Masyarakat merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral, dan spiritual. Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalarn mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
a) Fakta-fakta asuhan
b) Alat-alatnya
c) Regularitas
d) Perlindungan
e) Unsur waktu
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.
Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu ternentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadiaanterintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada oranng lain.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalarn pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
[1] Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: Rajawali Perss, 2010), hal 14.
[3]QuraishShihab, Membumikan alQur`an, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 173
[4] Jamaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 222-223
SOCIALIZE IT →