Pada awal abad kesembilan Masehi, Muhammad bin
Idris al-Syafi’i (w. 820) merampungkan al-Risalah,
sebuah traktat tentang metodologi pengambilan hukum
(ushul al-fiqh). Memasuki paruh kedua abad yang sama,
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 850),
menerbitkan Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah, sebuah buku
tentang aljabar dan matematika. Beberapa tahun setelah
itu, Amr bin Bahr al-Jahiz (w. 869), menulis Kitab
al-Hayawan, sebuah karya ensiklopedis tentang kisahkisah
anekdotal seputar dunia hewan. Pada akhir abad
yang sama, Ahmad bin Yahya al-Baladhuri (w. 892)
mendaftar nama-nama negara dan mengkompilasinya
dalam sebuah buku yang ia beri judul Futuh al-Buldan.
Memasuki abad kesepuluh, Muhammad bin Jarir al-
Tabari (w. 923) menerbitkan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,
sebuah buku sejarah paling lengkap yang pernah ditulis
orang. Kurang lebih pada tahun yang sama, Muhammad
bin Zakariya al-Razi (w. 925) menyelesaikan ensiklopedi
kedokteran dalam 9 jilid yang ia beri judul al-
Hawi. Beberapa tahun setelah itu, Muhammad bin
Muhammad al-Farabi (w. 950), seorang filsuf besar
2
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Islam, menerbitkan Kitab al-Musiqa, sebuah buku yang
mengulas berbagai aspek tentang musik. Abad kesepuluh
ditutup dengan munculnya beberapa karya tentang
karya atau biasa disebut dengan ‘buku indeks’ atau ‘buku
katalog.’ Salah satu penulis paling penting dalam genre ini
adalah Muhammad bin Ishaq al-Nadim (w. 998) yang
karyanya, Al-Fihrist, menjadi rujukan para sarjana hingga
hari ini. Al-Fihrist mendaftar dan mengulas ratusan buku
yang pernah ditulis dan diterbitkan kaum Muslim hingga
masa di mana pengarangnya hidup.1
Sekitar 10 abad setelah Ibn Nadim menerbitkan al-Fihrist, Boisard,2
Makdisi,3 Goodman,4 dan beberapa sarjana modern lainnya, menyebut apa
yang dipamerkan para penulis Muslim dalam berbagai karya yang saya sebut
di atas sebagai gerakan ‘humanisme Islam.’ Kata ‘humanisme’ tentu saja
baru digunakan pada zaman modern. Menurut Remigio Sabbadini, kata itu
pertama kali digunakan dalam bahasa Latin untuk merujuk para pemikir, filsuf,
ilmuwan, dan seniman yang hidup pada masa-masa awal zaman kelahiran
kembali (renaissance).5 Istilah ‘insaniyah’ yang digunakan dalam bahasa Arab
adalah terjemahan langsung dari kata ‘humanisme’ yang digunakan dalam
bahasa-bahasa Eropa.6 Islam sendiri tidak punya sebutan khusus untuk
menamakan fenomena massif pemuliaan manusia dan pembudidayaan ilmu
pengetahuan itu.
Kata ‘humanisme’ memiliki arti ganda. Pada satu sisi, ia berarti gerakan
untuk menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau biasa disebut ‘humaniora.’
Pada sisi lain, ia berarti sebuah gerakan filsafat untuk menekankan sentralitas
manusia. Dalam pengertian pertama, humanisme adalah sebuah upaya
untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karya
Yunani. Humanisme berusaha melampaui semangat abad pertengahan yang
1 Masa-masa abad kesembilan dan kesepuluh adalah era formasi pemikiran Islam dan sekaligus
merupakan masa yang paling produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dispilin
keislaman. Era kreasi dan inovasi itu kemudian dilanjutkan lagi, paling tidak selama tiga abad
berikutnya. Pada masa inilah muncul ratusan—jika bukan ribuan—ilmuwan, sarjana, sastrawan,
arsitek, musisi, dan penyair, yang karyanya memberikan pengaruh buat peradaban manusia
setelahnya.
2 Marcel A. Boisard. Humanism in Islam. Indianapolis: American Trust Publications, 1988.
3 George Makdisi. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: With Special
Reference to Scholasticism. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990.
4 Lenn Evan Goodman. Islamic Humanism. New York: Oxford University Press, 2003.
5 Dalam Augusto Campana. “The Origin of the Word ‘Humanist,’” Journal of the Warburg and
Courtauld Institutes, Vol. 9, (1946), hal. 60.
6 Kata humanism dan derivasinya yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah terjemahan dari
kata umanista (Latin) dan umanesimo (Italia). Lebih jauh tentang asal-usul istilah ini, lihat artikel
Campana (1946) di atas.
3
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
lebih banyak berfokus pada teologi dan metafisika. Karya-karya sastra yang
tak mendapatkan perhatian selama ‘abad kegelapan’ itu dihidupkan dan
digeluti dengan penuh gelora. Surat-surat Cicero dan naskah-naskah pidato
yang tak pernah digubris para filsuf Kristen sebelumnya diterbitkan kembali
dan dipelajari secara serius. Humanisme dalam pengertian yang pertama
ini mengalami puncak ekspresinya pada pertangahan abad ke-15, ketika
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Eropa mewajibkan mata kuliah
studia humanitatis yang terdiri dari tatabahasa, retorika, puisi, sejarah, dan
filsafat moral.7 Dalam pengertiannya yang kedua, humanisme adalah sebuah
bentuk protes terhadap elitisme filsafat yang hanya peduli pada tema-tema
abstrak yang tak punya dampak langsung kepada masyarakat. Kaum humanis
mengkritik para filsuf yang cenderung abai terhadap persoalan-persoalan nyata
yang dihadapi manusia. Bagi mereka, tugas ilmuwan bukan hanya duduk manis
di menara gading, tapi juga harus memiliki semangat aktivisme. Intelektual
sejati adalah orang yang bisa menggabungkan antara kontemplasi dan aksi.
Pada perkembangan selanjutnya, humanisme dalam pengertian kedua
menjadi sebuah filsafat pemberontakan terhadap berbagai bentuk absolutisme,
khususnya menyangkut agama dan politik. Humanisme adalah perjuangan
untuk menegaskan sentralitas manusia, bahwa manusia adalah makhluk bebas
yang bisa mengatur, mengontrol, dan menentukan nasibnya sendiri. Berbeda
dari keyakinan abad pertengahan yang menekankan peran Tuhan, kaum
humanis menolak segala bentuk supernatural dan menganggapnya sebagai
mitos. Dalam pandangan mereka, manusia adalah produk evolusi alamiah, akal
pikiran tak bisa dipisah-pisahkan dari fungsi otak, dan tidak ada kelanjutan
kesadaran setelah manusia mati. Manusia memiliki kekuatan dan potensi untuk
mengatasi persoalan-persoalannya sendiri, dengan terutama berpegang pada
akal dan metode ilmiah yang digunakan secara berani dan bertanggung jawab.
Kaum humanis juga menolak segala bentuk determinisme dan fatalisme.
Manusia adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja yang dia suka.
Manusia adalah penentu nasibnya sendiri.8 Pada 1933, sejumlah intelektual,
sarjana, dan aktivis di Amerika membuat sebuah pernyataan bersama yang
dikenal sebagai “Manifesto Kaum Humanis” (Humanist Manifesto). Manifesto
yang berisi 15 butir ini kemudian diterbitkan oleh jurnal The New Humanist, (Vol.
VI, No. 3, 1933).9
Dalam pengertiannya yang kedua, ada perbedaan mendasar antara gerakan
humanisme di dunia Islam dan di Barat. Di dunia Islam, gerakan humanisme
adalah konsekuensi dan perluasan dari institusi-institusi penyebaran agama,
sementara di Barat (Eropa), humanisme justru merupakan perlawanan dari
lembaga-lembaga semacam itu. Penggunaan kata ‘manusia’ pada humanisme
(umanesimo) menunjukkan karakternya sendiri yang unik. Humanisme
adalah gerakan pemberdayaan peran dan status manusia yang sebelumnya
terpinggirkan. Sebelum abad ke-15, bangsa Eropa hidup dalam era kegelapan
(dark ages). Istilah ‘medieval’ yang digunakan untuk merujuk zaman itu tak
hanya diartikan sebagai ‘abad pertangahan’ tapi juga dimaknai sebagai
7 Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning, Criticism, Schools and Universities,” dalam
Angelo Mazzocco, Interpretations of Renaissance Humanism. Leiden; Boston: Brill, 2006., hal. 79.
8 Corliss Lamont. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Press, 1997, hal. 13-14.
9 Pada 1973, Manifesto ini diperbaharui dan ditambahkan beberapa butir baru yang lebih detil.
Manifesto ini diterbitkan dalam jurnal The Humanist (September/October 1973).
4
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
mentalitas kolot di mana iman dan dogma menguasai manusia. Keberadaan
manusia di dunia pada dasarnya untuk melayani Tuhan. Tugas penting mereka
di dunia ini adalah menyiapkan diri sebaik-baiknya (dengan berbuat amal
saleh) demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Begitu
sentralnya peran Tuhan, manusia sesungguhnya tidak memiliki pilihan. Semua
nasib, masa depan, dan peruntungan mereka sudah ditulis dan ditakdirkan
sejak sebelum lahir. Manusia juga tidak memiliki kebebasan, karena
selain dikekang oleh penguasa politik yang despot, mereka juga diikat oleh
teosentrisme lewat kuasa agama dan agen-agen Gereja. Humanisme adalah
sebuah gerakan untuk melawan semua kondisi keterkalahan itu. Humanisme
adalah upaya untuk mendorong posisi manusia ke pusat perhatian sambil
meminggirkan peran Tuhan dan metafisika yang sebelumnya sangat dominan.
Islam tidak berangkat dari pengalaman seperti itu. Pada awal-awal
sejarahnya, Islam tidak punya persoalan dengan Tuhan dan metafisika,
seperti terjadi di Eropa. Bagi para humanis Muslim, Tuhan dan metafisika
selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan tema-tema
pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Kaum Muslim juga
tak merasakan adanya peminggiran status dan peran manusia seperti yang
dialami kaum humanis di Eropa. Tokoh humanis awal, Muhammad bin Idris
al-Syafi’i adalah seorang sarjana dengan erudisi sangat tinggi tapi sekaligus
adalah pelayan agama yang sangat loyal. Begitu juga tokoh humanis terakhir
pada masa keemasan Islam, Muhammad bin Rushd atau yang di dunia Barat
lebih dikenal dengan Averroes (w. 1198) adalah seorang filsuf par excellence
yang tak pernah meninggalkan jubah agamanya. Benar bahwa pernah muncul
isu predeterminisme pada masa-masa awal sejarah Islam. Tapi, sama sekali
tidak ada pandangan tunggal dalam menyikapi isu tersebut. Para sarjana
Muslim menghadapinya secara beragam, sehingga kemudian memunculkan
tiga mazhab besar dalam Islam, yakni Jabariyah (pendukung kemahakuasaan
Tuhan), Qadariyah (pendukung kebebasan manusia), dan Asy’ariyah
(mengkombinasikan keduanya).
Berbeda dari kaum humanis di Eropa, para sarjana Muslim tidak punya
masalah dengan posisi manusia dalam berhadapan dengan Tuhan maupun
kekuasaan. Tuhan dan kekuasaan adalah dua entitas yang selalu akrab
dengan mereka. Ateisme adalah gagasan yang asing bagi para filsuf dan
sarjana Muslim. Begitu juga, melawan pemerintah merupakan sesuatu
yang absurd yang tak pernah terbersit di benak mereka yang sebagian besar
hidup di lingkungan istana. Bagi para filsuf dan ulama ketika itu, kemajuan
pengetahuan bukan dengan cara memusuhi agama dan penguasa, tapi justru
dengan cara mendekati dan memberdayakannya. Mungkin karena perbedaan
dalam mempersepsi posisi Tuhan dan manusia inilah, humanisme dalam
Islam berkembang dan memiliki trajektori yang agak berbeda dari pengalaman
Eropa. Kita tahu bahwa gerakan pembudidayaan ilmu pengetahuan dalam Islam
terhenti memasuki abad ke-12, seiring dengan menangnya kecenderungan
fatalis (diwakili kaum Asy’ariyah dan Sunnisme). Sementara di Eropa, gerakan
humanisme melahirkan pencerahan dan revolusi industri.
Namun, terlepas dari perbedaan itu, ada satu kesamaan semangat antara
humanisme Islam dan Barat, yakni upaya untuk menekankan pentingnya akal
budi dan ilmu pengetahuan. Selama gerakan humanisme berlangsung di
dunia Islam (abad ke-8 hingga 12), berbagai disiplin ilmu pengetahuan baru
diciptakan, lembaga-lembaga ilmiah didirikan, dan lingkar-lingkar budaya
5
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
dan seni digalakkan. Selama rentang masa ini, kerajaan Islam begitu antusias
mendatangkan ilmuwan-ilmuwan terbaik untuk dipekerjakan di istana atau
di perpustakaan-perspustakaan kerajaan. Buku-buku asing dari Yunani
dan negara lain didatangkan dan diterjemahkan. Kehidupan akademis dan
kesarjanaan mengalami puncak yang tak pernah diulang lagi dalam sejarah
kaum Muslim yang panjang, baik sebelum maupun sesudahnya.
Lahirnya Ilmu Pengetahuan
Sebagai sebuah disiplin yang memiliki metodologi ketat, cabang-cabang
ilmu pengetahuan dalam Islam sebenarnya baru muncul setelah abad
kesembilan, atau paling tidak memasuki paruh kedua abad kedelapan. Apa
yang disebut ‘teologi’ (kalam), meski sudah tampak sejak awal sejarah Islam,
sebagai sebuah disiplin ilmu, ia baru muncul pada abad kesembilan, ketika
kaum Mu’tazilah dan khususnya seorang bekas pengikutnya, Abu Hasan al-
Asy’ari, menuliskan isu-isu teologis secara sistematis. Disiplin-disiplin lain
seperti Fikih, Hadis, dan Tafsir, juga baru muncul belakangan, setelah semakin
mengkristalnya aliran-aliran pemikiran dalam Islam.
Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa al-Qur’an sebagai
kitab suci kaum Muslim memainkan peran penting dalam terciptanya cabangcabang
humaniora (adabiyyat) dalam Islam. Seperti dengan baik dijelaskan
Ibn Nadim, perhatian kaum Muslim yang begitu tinggi terhadap al-Qur’an
mendorong terciptanya disiplin-disiplin baru. Pada mulanya, perhatian itu
sebatas keinginan untuk menghadirkan bacaan yang benar terhadap al-Qur’an.
Sudah umum diketahui bahwa pada masa-masa awal, penulisan ayat-ayat al-
Qur’an tidak menyertakan tanda baca (harakat) yang bisa berimplikasi bukan
hanya pada bunyi, tapi juga pada maknanya. Orang pertama yang peduli pada
persoalan harakat ini adalah Abu Aswad al-Duali (w. 688), seorang tabiin.
Dikisahkan bahwa Abu Aswad merasa risih karena berkali-kali mendapatkan
orang yang keliru dalam membaca sebuah ayat al-Qur’an karena absennya
tanda baca tersebut. Khawatir akan semakin meluasnya kesalahan dalam
bacaan, sahabat dekat Ali bin Abi Thalib itu membuat kaedah bacaan dengan
memberikan tanda-tanda baca pada ayat al-Qur’an. Kelak, apa yang dilakukan
Abu Aswad itu melahirkan disiplin ilmu yang disebut ‘nahwu’ (tata bahasa).
Sedangkan pengembangannya mendorong lahirnya disiplin lain yang terkait
dengan penulisan kaligrafi (khat), keindahan berbahasa (balaghah), puisi (syi’r),
retorika (khitabah), dan sejarah (tarikh).
Jika perhatian terhadap masalah bacaan al-Qur’an mendorong munculnya
ilmu-ilmu humaniora (adabiyat), perhatian kaum Muslim terhadap tematema
al-Qur’an melahirkan ilmu-ilmu agama (ulum al-din). Ilmu tafsir adalah
disiplin yang secara langsung diturunkan dari perhatian kaum Muslim
terhadap pemahaman terhadap kitab suci itu. Ilmu ini berkembang pada abad
kesepuluh, setelah penulisan tafsir semakin mentradisi dan semakin banyak
dilakukan sarjana Muslim. Ilmu fikih berkembang pada abad kesembilan dan
mengalami kejayaannya pada akhir abad kesepuluh ketika mazhab-mazhab
fikih bermunculan. Hadis sebagai ilmu datang lebih lambat, meski upaya
pengumpulannya telah ada sejak awal sejarah Islam. Buku-buku ilmu hadis
yang dikenal sebagai ‘mustalah al-hadith’ baru meramaikan pustaka Islam
setelah abad kesebelas dan mengalami puncaknya satu abad kemudian.
Percabangan ilmu-ilmu Islam muncul akibat perhatian dan interaksi yang
6
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
mendalam terhadap disiplin-disiplin utama ilmu-ilmu agama itu. Ilmu soal
pembagian harta waris (ilm al-faraid) misalnya, adalah disiplin yang muncul dari
fikih. Begitu juga ilmu tentang kronologi ayat (ilm asbab al-nuzul) adalah cabang
dari disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Beberapa disiplin Islam memiliki metodologi
khusus yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Misalnya, disiplin fikih memiliki ushul al-fiqh, disiplin tafsir memiliki úlum altafsir,
dan disiplin hadis memiliki úlum al-hadits atau ilm mustalah al-hadis.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang rasional seperti filsafat, logika,
kedokteran, dan astronomi merupakan disiplin yang muncul akibat interaksi
kaum Muslim dengan peradaban asing. Ekspansi kaum Muslim ke wilayahwilayah
baru seperti Persia, Irak, Mesir, dan Spanyol, memunculkan kebutuhan
akan pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat mendukung pembangunan
peradaban yang tengah mereka lakukan. Langsung setelah ibu kota Islam
pindah dari Madinah ke Damaskus pada akhir abad ketujuh, gerakan apropriasi
budaya dan ilmu pengetahuan mulai dilakukan. Khalifah Bani Umayyah
memulai gerakan peleburan ini dengan mengadopsi sistem pemerintahan
Bizantium (Romawi Timur). Proses apropriasi ini dilanjutkan oleh dinasti
Abbasiyah yang berkuasa setelahnya. Lebih dari apa yang telah dilakukan Bani
Umayyah, dinasti Abbasiyah melakukan gerakan pembudidayaan ilmu-ilmu
rasional yang luar biasa. Dimulai dengan gerakan penerjemahan dan pendirian
Bayt al-Hikmah, sebuah pusat kegiatan intelektual di Baghdad yang menjadi
mercusuar ilmu pengetahuan kerajaan Islam pada masa itu. Buku-buku dari
Yunani mendapatkan perhatian utama. Karya-karya para filsuf besar seperti
Plato, Aristotle, dan Plotinus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Bukubuku
kedokteran dari Persia dan India juga diterjemahkan dan disebarluaskan
ke perpustakaan-perpustakaan Islam pada masa itu. Kurang dari satu abad
setelah gerakan penerjemahan buku-buku klasik itu dimulai, kaum Muslim
telah melahirkan beberapa filsuf besar, ahli kedokteran, dan sarjana astronomi.
Studia Adabia (Adabiyyat)
Jika gerakan humanisme di Eropa menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang
disebut studia humanitatis, gerakan humanisme Islam melahirkan apa yang
George Makdisi sebut sebagai studia adabia.10 Adab secara harfiah berarti
‘disiplin’ atau ‘etika.’ Dalam bahasa Arab modern, adab biasa diartikan sebagai
sastra. Fakultas-fakultas Sastra di dunia Arab biasanya disebut sebagai
‘kuliyat al-adab.’ Namun dalam pengertian yang berkembang pada masamasa
awal Islam, adab lebih dari sekadar sastra. Ia meliputi kegiatan ilmiah
yang terkait dengan tata bahasa, puisi, retorika, sejarah, dan filsafat moral
(akhlaq). Fenomena adab sebagai disiplin ilmu telah ada sejak pra-Islam. Puisipuisi
jahiliyah dan cerita-cerita rakyat yang berkembang pada masa itu kerap
dimasukkan dalam bagian sejarah adab Arab.11 Puisi-puisi jahiliah memainkan
peran yang sangat penting dalam pembentukan disiplin adab dalam sejarah
Islam. Beberapa sarjana bahkan menganggap bahwa keberadaan puisi-puisi
10 George A. Makdisi. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan
Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 140.
11 Lihat misalnya Carl Brockelman, Tarikh al-Adab al-Arabi. Cairo: Dar al-Maarif [n.d]; Syauqi Dhaif.
Tarikh al-Adab al-Arabi. Cairo: Dar al-Maarif [n.d]; dan Mustafa Shadiq al-Rafii, Tarikh Adab al-
Arabi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000.
7
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
jahiliah merupakan jaminan bagi rujukan (syawahid) sastra Islam, termasuk di
dalamnya al-Qur’an.
Tata bahasa adalah cabang adab pertama yang muncul dalam Islam. Seperti
sudah disinggung sebelumnya, disiplin ini muncul akibat kebutuhan yang
mendesak untuk menghindari kesalahan baca pada al-Qur’an. Abu Aswad al-
Duali adalah orang yang kerap disebut berada di belakang munculnya ilmu
nahwu (tata bahasa). Pada dasarnya, nahwu adalah ilmu untuk mengetahui
kedudukan suatu kata yang disimbolkan dengan bunyi akhir setiap kata
tersebut. Kekeliruan dalam mengucapkan bunyi akhir ini bisa mengakibatkan
kekeliruan makna. Salah satu contoh yang sering dirujuk mengapa Abu
Aswad merasa penting untuk segera menciptakan tanda baca pada al-Qur’an
adalah ayat ini: . Ayat ini bisa dibaca dengan dua
kemungkinan. Pertama, innallaha bariun minal musyrikina wa rasulahu (dengan
fathah pada kata ‘rasul’). Kedua, innallaha bariun minal musyrikina wa rasulihi
(dengan kasrah pada kata ‘rasul’). Yang pertama adalah bacaan yang benar
yang berarti “sungguh Allah dan rasulnya terbebas dari orang-orang muysrik.”
Sedangkan yang kedua adalah bacaan yang keliru karena berarti “sungguh
Allah terbebas dari orang-orang musyrik dan rasulNya.”
Ilmu nahwu berfungsi menjaga kekeliruan-kekeliruan semacam itu. Sebagai
tulisan yang memiliki berbagai kemungkinan pengucapan, bahasa Arab
membutuhkan aturan yang dapat menyelamatkan orang dari kekeliruan. Ada
satu sub-disiplin (atau boleh juga disebut ‘seni’) dalam ilmu nahwu yang tugasnya
mengurai setiap kedudukan kata dalam sebuah kalimat. Seni ini disebut dengan
‘i’rab.’ Di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia, i’rab adalah cabang ilmu
yang sangat penting untuk diketahui setiap santri sebelum mereka mengkaji
kitab-kitab kuning (buku Arab klasik). Kata i’rab secara literal berarti ‘mengarab’
yakni suatu upaya untuk menjadi fasih dalam bahasa Arab. Dalam pengertiannya
yang luas, i’rab berarti “ilmu tentang perubahan bunyi akhir kata, baik yang
kentara maupun yang tersembunyi, dalam satu struktur kalimat.”12
Menurut catatan Ibn Nadim, setelah Abu Aswad al-Duali, tata bahasa
dikembangkan oleh murid-muridnya seperti Yahya bin Ya’mar, Anbasah bin
Ma’dan, dan Maymun bin al-Aqran.13 Namun, pada tahap ini, ilmu nahwu masih
diajarkan dari halakah ke halakah tanpa adanya suatu upaya penulisan secara
sistemtais. Penulisan nahwu secara lebih sistematis baru dilakukan pada akhir
abad kedelapan. Salah satu buku pertama yang selamat sampai ke tangan kita
sekarang adalah al-Kitab (buku) karya Amr bin Uthman atau yang lebih dikenal
dengan al-Sibawayh (w. 796). Buku ini memuat tentang berbagai kaedah dasar
tata bahasa Arab. Konon al-Sibawayh sangat serius menyiapkan buku ini dan
dia mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk merampungkan karya
yang kemudian menjadi masterpiece-nya itu.14
Perhatian pada pentingnya kaedah bahasa memunculkan cabang ilmu lain
yang mempelajari tentang kata dan maknanya. Inilah cabang ilmu yang disebut
‘filologi.’ Merujuk pada bahasa aslinya (Yunani), filologi secara harfiah berarti
‘cinta kata.’ Filologi adalah ilmu yang mengurai tentang suatu kata, baik asalusul
maupun maknanya. Dalam Islam, ilmu ini berkembang pada pertengahan
12 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 183.
13 Muhammad bin Ishaq al-Nadim, al-Fihrist, [n.p.], 1971. hal. 46.
14 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 187.
8
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
abad kedelapan dengan lahirnya buku-buku kamus. Di antara buku-buku
kamus pertama yang selamat hingga ke tangan kita hari ini adalah Kitab al-
Ayn, karya Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 791). Cara penulisan buku ini agak
unik, karena tidak seperti buku kamus pada umumnya yang ditulis berdasarkan
alfabet, Kitab al-Ayn disusun berdasarkan fonetik (bunyi suara). Menurut Ibn
Nadim, dalam naskah aslinya, karya agung al-Farahidi ini ditulis dalam 48
jilid.15 Selain menyusun kamus, al-Farahidi juga dikenal sebagai pencipta
cabang ilmu baru yang dikenal dengan nama ‘arud’ (secara harfiah berarti
‘musik’), yakni disiplin yang mengajarkan tentang ritme pada puisi (syair).
Puisi adalah disiplin Adab paling tua yang tak mengenal krisis. Orang-orang
Arab adalah masyarakat yang menghargai puisi. Puisi telah ada sebelum Islam
dan terus digunakan oleh para penulis Arab sebagai rujukan (syawahid) dalam
karya-karya mereka. Sebagai syawahid, bait-bait puisi tidak hanya dijumpai
dalam buku-buku yang terkait dengan karya sastra saja, tapi juga dalam bukubuku
agama, filsafat, dan sejarah. Puisi-puisi pra-Islam (jahiliah) memainkan
peran yang sangat penting dalam kesusasteraan Arab-Islam. Kendati sebagian
besar ulama dan sarjana Islam bersikap antagonis terhadap kehidupan
jahiliah, mereka cukup apresiatif terhadap puisi-puisi pra-Islam itu. Jangan
heran kalau sejak abad pertama Islam muncul begitu banyak para penghafal
dan pengumpul puisi-puisi jahiliah, seperti Qatadah bin Di’amah (w. 736),
Muhammad bin al-Saib al-Kalbi (w. 763), Awanah bin al-Hakam (w. 764), dan
al-Syawqi bin al-Qutami (w. 767).
Puisi jahiliah dianggap sangat penting karena bisa dijadikan rujukan untuk
melihat kemurnian bahasa Arab. Para pengkaji al-Qur’an kerap merujuk pada
puisi-puisi pra-Islam ketika mereka menjumpai suatu kata asing atau kata
yang rumit pada suatu ayat. Begitu pentingnya peran puisi jahiliah, Ibn Abbas,
seorang sahabat Nabi yang dikenal sangat piawai dalam menafsirkan al-Qur’an
memberikan pengakuan: “apabila suatu persoalan muncul berkaitan dengan
kata-kata yang asing dalam Alquran, maka carilah padanan atau artinya
dalam puisi-puisi pra-Islam, karena puisi-puisi itu merupakan ‘catatan bangsa
Arab’.”16 Memang ada beberapa kecaman terhadap perilaku orang-orang
jahiliyah, termasuk kepada para penyair besarnya. Beberapa ulama Islam
mengecam para penyair pra-Islam seperti Imru al-Qays (w. 544), sebagai orang
hedonis, pemabuk, dan pemain perempuan. Tapi tak ada yang menyangkal
bahwa dia adalah penyair terbesar bangsa Arab yang puisi-puisinya
dipamerkan di dinding Ka’bah (al-mu’allaqat). Dia juga pencipta qasidah, puisi
liris yang didendangkan yang berkembang sangat pesat pada era Islam.
Selain puisi, retorika adalah cabang adab yang cukup mendapat perhatian
pada masa keemasan Islam. Dalam bahasa Arab, retorika disebut ‘khitabah,’
satu kata yang memiliki akar yang sama dengan ‘khutbah’ (ceramah) dan
‘khatib’ (penceramah). Para ulama dan sarjana Muslim menaruh perhatian
cukup besar bagi ilmu retorika, karena sebagian ekspresi mereka disampaikan
dalam bentuk oral. Ceramah, khutbah Jum’at, mengajar, berdiskusi, dan
berdebat, adalah bagian dari kegiatan yang membutuhkan kecakapan retoris.
Khitabah tidak hanya terkait dengan bidang agama saja, tapi ia juga mencakup
bidang politik (sebagai ahli kampanye), militer (sebagai motivator perang), dan
penceritaan (sebagai pendongeng). Para khalifah dan sultan kerap memakai
15 Ibn al-Nadim, Fihrist, hal. 48.
16 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 206.
9
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
jasa para orator dan pendongeng untuk diperjakan di istana.
Pidato umumnya disampaikan secara langsung tanpa teks (irtijal). Tapi, ada
beberapa pidato yang disiapkan oleh para penulis pidato untuk disampaikan
para pejabat atau petinggi istana. Naskah-naskah pidato jenis ini dikumpulkan
dan dibukukan, yang kemudian menjadi genre sendiri dalam studia adabia.
Naskah-naskah pidato yang dikumpulkan menjadi rujukan bagi orang yang
ingin mempelajari khitabah dan juga yang ingin menguasai seni keindahan
berbahasa (balaghah). Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa buku-buku
kumpulan pidato menjadi bahan yang sangat berharga bagi para sejarahwan
dalam menulis suatu peristiwa.17 Banyak sekali peristiwa-peristiwa penting
yang tidak dicatat oleh sejarahwan, tapi memiliki rekaman dalam bentuk
pidato-pidato. Ibn Nadim menyebut tema-tema seperti perang, perjanjian,
dan gencatan senjata, sebagai tema yang hampir selalu muncul dalam bukubuku
kumpulan pidato. Tema-tema seperti inilah yang menjadi rujukan para
sejarahwan ketika mereka menulis buku.
Penulisan sejarah merupakan bidang adab yang sangat luas. Ia mencakup
berbagai catatan peristiwa masa silam, dari persoalan politik, militer, agama,
kebudayaan, pendidikan, masyarakat, hingga biografi. Penulisan sejarah
dalam Islam dimulai dari biografi para tokoh atau yang biasa disebut ‘sirah.’
Kehidupan nabi Muhammad merupakan tema yang paling banyak diminati dan
menjadi konsentrasi utama dalam penulisan sirah. Istilah sirah sendiri bahkan
telah menjadi identik dengan biografi nabi. Setelah Nabi, biografi para sahabat
dan kerabat Nabi, khususnya sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar,
Umar, Aisyah, dan Ali, menjadi perhatian berikutnya. Pada awalnya, penulisan
sirah bercampur dengan periwayatan hadis. Para pengumpul hadis biasanya
memberikan bab khusus tentang kehidupan Nabi atau sejarah para sahabat.
Namun, pada perkembangan berikutnya, penulisan biografi Nabi ditulis secara
independen. Orang pertama yang melakukan pekerjaan ini secara sistematis
adalah Muhammad bin Ishaq (w. 767), yang karyanya, Sirah, dianggap sebagai
rujukan paling otoritatif tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad.
Penulisan sejarah umum dimulai sejak abad kesembilan. Orang pertama
yang melakukannya adalah Muhammad bin Jarir al-Tabari (w. 923) dalam
karyanya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Dalam karya agungnya ini, al-Tabari tidak
hanya menulis sejarah Islam saja, tapi juga sejarah dunia. Ia memulai bukunya
dari sejarah kejadian alam raya, kemudian disusul dengan penciptaan Adam
dan Hawa, dan ditutup dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa al-
Tabari sendiri. Banyak orang mengkritik karya al-Tabari ini sebagai buku yang
banyak dipengaruhi oleh kisah-kisah Israiliyyat (tradisi Yahudi). Tuduhan ini
tidak sepenuhnya salah, karena sumber-sumber yang digunakan al-Tabari
dalam menulis sejarah masa silam adalah kitab Perjanjian Lama dan bukubuku
yang ditulis oleh para penulis Yahudi dan Kristen. Tarikh al-Rusul menjadi
rujukan utama para sejarahwan setelahnya. Dua abad setelah al-Tabari, Ali
bin Athir (w. 1233), menulis al-Kamil fi al-Tarikh dalam 14 jilid. Kira-kira satu
setengah abad setelahnya, Ismail bin Kathir (w. 1373) menulis al-Bidayah wa
al-Nihayah dalam 8 jilid. Puncak dari penulisan sejarah dalam Islam adalah Ibn
Khaldun (w. 1406) yang menulis Kitab al-Ibar. Berbeda dari para pendahulunya,
Ibn Khaldun tidak hanya menulis sejarah, tapi ia juga mengembangkan suatu
ilmu penulisan sejarah (historiografi) dan filsafat sejarah. Karyanya yang
17 Ibid., hal. 237.
10
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
dikenal dengan judul al-Muqaddimah ini kemudian menjadi pengantar umum
dari Kitab al-Ibar.
Buku-buku tentang moral dan akhlak mestinya menjadi bagian dari tradisi
filsafat, dan seharusnya masuk dalam katagori ketiga dalam humaniora yang
berkembang di dunia Islam. Namun, literatur tentang moral dan etika dalam
katagori ini bukanlah disiplin yang digeluti para filsuf rasionalis seperti Al-
Farabi dan Ibn Sina, tapi oleh para ulama dan sufi. Sejak awal, pesan-pesan
moral selalu menjadi menu utama dalam halakah-halakah keagamaan.
Ceramah-ceramah di mesjid kerap dijejali ajaran-ajaran moral, baik yang digali
dari tradisi Islam maupun tradisi-tradisi lain. Nilai-nilai etika seperti prasangka
baik, jujur, ikhlas, sabar, dan tawakkal, adalah pesan-pesan moral yang kerap
disampaikan dalam berbagai forum keagamaan. Kelak, nilai-nilai semacam
ini dikembangkan, dielaborasi, dan diformulasikan para Sufi menjadi doktrindoktrin
tasawuf. Salah seorang sufi pertama yang memformulasikan nilai-nilai
itu secara sistematis adalah Ali bin Uthman al-Hujwiri (w. 1077) dalam bukunya
Kasyf al-Mahjub. Buku yang ditulis dalam bahasa Persia ini memuat penjelasan
tentang konsep-konsep kunci tasawuf seperti pengetahuan (ma’rifah), kepapaan
(al-faqr), kemurnian (al-safwah), dan penyesalan (malamat).
Disiplin tasawuf berkembang sangat pesat. Meskipun tasawuf tidak pernah
dianggap sebagai bagian dari Adab, para praktisi dan teoretisi tasawuf kerap
menghasilkan karya-karya bercorak sastra. Selain karya-karya prosa (yang
banyak mengupas persoalan moral),18 para sufi mengungkapkan pandanganpandangan
mereka dalam bentuk puisi. Salah satu alasan mengapa para sufi
memilih puisi sebagai medium penyampaian, karena bahasa puisi dianggap
lebih mampu menampung pikiran-pikiran mereka yang kerap dianggap
anti ortodoksi. Ibn Arabi (w. 1240) adalah salah seorang sufi besar yang
menggunakan puisi untuk tujuan ini. Dia mengarang satu kumpulan puisi yang
diberi judul Tarjuman al-Asywaq (biografi kerinduan), di mana pandanganpandangan
pluralisnya tentang kebenaran semua agama diungkapkan dengan
sangat indah. Sufi lainnya adalah Jalal al-Din Rumi (w. 1273) yang menulis
magnum opus-nya dalam enam jilid buku yang dia beri judul Matsnawi (kuplet).
Dalam kumpulan puisi ini, Rumi mengungkapkan pandangan-pandangan
sufistiknya tentang Tuhan, metafisika, dan kehidupan.
Ilmu-Ilmu Agama (Ulum al-Din)
Ilmu-ilmu agama muncul akibat dari perhatian yang mendalam terhadap
sumber-sumber utama Islam, khususnya al-Qur’an dan hadis. Seperti sudah
disebutkan di atas, kajian terhadap dua sumber ini mendorong lahirnya dua
disiplin dengan segala percabangannya, yakni ‘ulum al-qur’an (tafsir, ta’wil,
qira’at, asbab al-nuzul, dll) dan ulum al-hadith (hadits, mustalah al-hadist, isnad,
matan, jarh wa al-ta’dil, dll). Sementara perhatian terhadap tema-tema tertentu
dalam dua sumber utama itu memunculkan dua cabang ilmu lain, yakni Fikih
(ushul fiqh, faraid, dll) dan Ilmu Kalam (aqaid, tauhid, dll). Ilmu Kalam sebetulnya
tidak lahir dari kajian terhadap al-Qur’an maupun hadis, tapi merupakan disiplin
yang muncul akibat situasi politik yang terjadi pada masa-masa awal sejarah
18 Puncak dari genre ini adalah karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ihya ‘Ulum al-Din, yang kerap
dianggap sebagai buku tasawuf yang mengajarkan nilai-nilai etika tinggi.
11
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Islam. Namun dalam perkembangannya kemudian, tema-tema kalam banyak
terinspirasi dari pengkajian yang mendalam terhadap al-Qur’an dan hadis.
Perhatian kaum Muslim terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak masa
Nabi, ketika kitab suci itu masih berbentuk potongan-potongan ayat. Sebagai
kitab yang utuh, al-Qur’an baru terbentuk pada masa Abu Bakar dan
kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Disiplin pertama
yang dihasilkan langsung akibat interaksi kaum Muslim terhadap al-Qur’an
adalah Tafsir. Sebelum ditulis secara sistematis, Tafsir disampaikan secara
oral di lingkar-lingkar pengajian. Abdullah bin Abbas (w. 688) dikenal sebagai
sahabat Nabi yang paling rajin melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an.
Kumpulan pandangannya dibukukan oleh para murid dan pengikutnya yang
kemudian dikenal dengan Tafsir Ibn Abbas. Literatur tafsir berkembang sangat
pesat. Memasuki abad kesembilan, karya-karya tafsir lengkap (30 juz) mulai
bermunculan. Salah satu pionir yang membuat kitab tafsir lengkap adalah
Ibn Jarir al-Tabari, seorang ahli al-Qur’an yang juga seorang sejarahwan
terkemuka. Kitab tafsirnya diberi judul Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Seperti
juga karya sejarahnya Tarikh al-Rusul wa al-Mulk, kitab Jami al-Bayan menjadi
rujukan para penulis tafsir yang datang setelahnya.
Para sarjana Islam membagi Tafsir kepada dua genre, yakni apa yang
disebut sebagai Tafsir Tradisional (tafsir bi al-ma’tsur) dan Tafsir Rasional
(tafsir bi al-ra’yu). Tafsir Tradisional adalah metodologi interpretasi yang lebih
mengandalkan pemahaman pada makna kata yang digali dari al-Qur’an dan
Hadis. Sementara Tafsir Rasional adalah metodologi interpretasi yang lebih
mengandalkan pada nalar dan akal pikiran. Tafsir Jami al-Bayan dikatagorikan
sebagai jenis tafsir yang pertama kendati ada banyak pandangan-pandangan
al-Tabari pribadi di dalamnya. Bahr al-Ulum karya Abu al-Layth al-Samarqindi
(w. 983), al-Jawahir al-Hasan karya Ahmad bin Muhammad al-Tsalabi (w. 1036),
Ma’alim al-Tanzil karya Husayn bin Mas’ud al-Baghawi (w. 1122), Tafsir al-Qur’an
al-Azim karya Ibn Kathir (w. 1373), dan al-Dur al-Mansur karya Jalal al-Din al-
Suyuthi (w. 1505) adalah contoh lain dari jenis Tafsir Tradisional. Tafsir Rasional
berkembang sangat pesat dan terus ditulis orang hingga hari ini. Salah satu
pengarang tafsir jenis ini adalah Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), seorang mufasir
dan juga teolog yang sangat produktif. Tafsirnya Mafatih al-Ghayb dianggap
sebagai Tafsir Rasional yang sangat kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Karya lain dari Tafsir Rasional yang banyak diajarkan di sekolahsekolah
Islam adalah al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari (w. 1144), Anwar al-Tanzil
karya al-Baydhawi (w. 1286), Madarik al-Tanzil karya al-Nasafi (w. 1310), dan al-
Bahr al-Muhit karya Abu Hayan al-Andalusi (w. 1344).
Ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk Tafsir disebut ilm al-tafsir. Meski
banyak ulama yang menganggap ‘ilm al-tafsir sebagai disiplin yang independen,
namun disiplin ini sesungguhnya merupakan bagian dari cabang ilmu yang lebih
besar lagi, yakni ‘ulum al-Qur’an. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu
tafsir seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan muhkam-mutasyabih, bisa
dijumpai dalam disiplin ilmu al-Qur’an. Upaya penulisan buku-buku ulum al-
Qur’an telah dimulai sejak abad kesembilan,19 namun pemaparannya yang lebih
komprehensif baru muncul pada abad kesebelas, ketika Ali bin Said al-Hufi (w.
19 Pada masa ini, buku-buku tentang Ulum al-Qur’an hanya mengupas tema tertentu dari studi al-
Qur’an, seperti tentang mu’jizat, tentang bacaan, tentang abrogasi, dan tentang asbab al-nuzul. Belum
ada buku khusus yang secara komprehensif membicarakan semua aspek dari disiplin ilmu ini.
12
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
1039) menerbitkan karyanya, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an.20 Satu abad setelah
al-Hufi, disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an semakin pesat berkembang dan semakin
matang sebagai sebuah cabang ilmu. Pada pertengahan abad ke-12, Abu al-
Farj bin al-Jauzi (w. 1201) menerbitkan Funun al-Afnan fi Ulum al-Qur’an, sebuah
karya yang banyak mengilhami para penulis ilmu-ilmu al-Qur’an setelahnya.
Puncak dari penulisan cabang ilmu ini berada di tangan dua sarjana, yakni
Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi (w. 1392) yang menulis al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an, dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) yang menulis al-Itqan fi Ulum al-
Qur’an.
Perhatian kaum Muslim terhadap Hadis telah mulai sejak awal sejarah
Islam. Namun demikian, upaya penulisan dan pembukuannya baru muncul
hampir tiga abad kemudian. Hal ini karena pada masa-masa awal Islam, Nabi
secara spesifik melarang penulisan hadis, karena khawatir akan bercampur
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus memang diminta Nabi untuk
ditulis.21 Kendati demikian, bukan berarti hadis-hadis Nabi tidak terjaga.
Sebelum zaman penulisan buku (asr al-tadwin) dimulai, hafalan adalah medium
paling umum yang biasa digunakan. Hadis-hadis Nabi terjaga dengan baik
dari generasi ke generasi lewat hafalan. Kesadaran untuk mengumpulkan dan
menuliskan hadis muncul pada awal abad kesembilan. Istilah ‘rihlat al-ilm’
yang muncul pada masa ini merujuk pada upaya pencarian hadis-hadis Nabi.
Para pencari hadis mendatangi penghafal dari satu kota ke kota lain. Salah
seorang pertama yang dengan gigih mengumpulkan hadis-hadis Nabi adalah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 870). Dia mengaku telah mengumpulkan
lebih dari 100 ribu hadis Nabi yang sebagian besar dia hafal. Dari jumlah ini,
al-Bukhari menyeleksi hanya sekitar 7000 hadis yang dia anggap paling sahih.
Kumpulan hadis sahihnya ini kemudian dia terbitkan dalam sebuah buku yang
dikenal dengan nama al-Jami al-Sahih. Langkah al-Bukhari ini kemudian diikuti
oleh para pengumpul hadis lainnya. Lima di antaranya mendapatkan posisi
sangat istimewa, yakni Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi (w. 874), Ibn Majah al-
Qazwini (w. 886), Abu Dwud al-Sijistani (w. 888), Muhammad bin Isa al-Turmudzi
(w. 892), dan Abu Abd al-Rahman al-Nasai (w. 915). Karya kelima orang ini plus
karya al-Bukhari dianggap sebagai buku paling berpengaruh setelah al-Qur’an.
Para ulama sangat menghormati karya-karya itu dan menganggapnya sebagai
kitab enam yang paling otoritatif (kutub al-sittah).
Upaya pencarian, pengumpulan, dan penyeleksian hadis memunculkan
cabang ilmu baru, yakni ulum al-hadist atau kadang disebut juga ilm almustalah
al-hadits. Ini adalah semacam metodologi dalam pengumpulan dan
penyeleksian hadis. Perannya sama seperti Logika bagi Filsafat, Ulum al-Qur’an
bagi Tafsir, atau Ushul Fikih bagi Fikih. Ilmu ini muncul sebagai penjelasan
dan sekaligus justifikasi terhadap buku-buku hadis yang bermunculan pada
abad kesembilan dan kesepuluh. Sebelum menjadi ilmu yang utuh, tema-tema
mustalah al-hadith sebenarnya telah ditulis para ulama. Buku-buku biografi
20 Menurut al-Zarqani (Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an), karya al-Hufi ini sebetulnya belum cukup
komprehensif karena lebih banyak menitikberatkan pada bidang tafsir saja, dan bukan ilmu-ilmu
al-Qur’an secara umum. Penamaan ‘Ulum al-Qur’an’ dalam judul bukunya, menurut al-Zarqani
juga keliru, karena yang benar, sesuai catatan Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zunun, judul aselinya
adalah ‘al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an.’
21 Pelarangan Nabi untuk menuliskan ucapan-ucapannya sesungguhnya bukan secara umum,
karena dia masih mengecualikan orang-orang tertentu untuk menulis hadis. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa Nabi mengizinkan Abu Syah, seorang sahabat Nabi yang mengaku lemah
dalam hafalan, untuk menulis hadis-hadis yang dikeluarkannya.
13
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
para perawi (ilm al-rijal) dengan segala penilaiannya (ilm jarh wa al-ta’dil) telah
beredar sejak akhir abad kesembilan. Buku-buku jenis ini terus berkembang
pesat dan mencapai puncaknya pada abad ke-15, ketika buku-buku semacam
Tahdhib al-Tahdhib karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1448) mulai menghiasi rakrak
perpustakaan Islam.
Selain buku-buku hadis, abad kesembilan juga ditandai dengan meruyaknya
buku-buku fikih. Masa ini adalah zaman keemasan fikih, karena pada periode
inilah, hampir seluruh mazhab besar fikih dilahirkan. Pada awalnya, mazhabmazhab
fikih dikenal berdasarkan kota di mana mazab-mazhab itu muncul,
seperti Mazhab Madinah, Mazhab Damaskus, dan Mazhab Kufah, tetapi setelah
abad kesembilan, penamaan mazhab itu didasarkan pada nama tokoh, seperti
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hanbali. Salah satu
alasan mengapa terjadi pergeseran ini karena semakin cairnya pergerakan
sarjana Muslim dari satu kota ke kota lain dan semakin meruyaknya pusatpusat
intelektualisme Islam, sehingga tidak ada lagi sebuah kota yang benarbenar
memiliki ciri khas dalam suatu pemikiran fikih yang berbeda dari
kota-kota lain. Selain itu, yang lebih penting lagi, pada masa ini, pandanganpandangan
fikih tidak lagi hanya disampaikan dalam bentuk verbal di halakahhalakah
keagamaan, tapi mulai ditulis secara sistematis dan disebarluaskan
ke berbagai sekolah dan perguruan tinggi Islam. Para sarjana fikih tak hanya
sekadar mengajar, tapi juga menulis buku. Salah satu pendiri mazhab yang
paling produktif adalah al-Syafii. Dia menulis al-Risalah, sebuah buku yang
menjelaskan metodologi pengambilan hukum. Ini adalah buku pertama yang
menjadi fondasi bagi disiplin Ushul Fikih. Al-Syafii juga menulis masalahmasalah
fikih secara komprehensif. Karyanya, al-Umm (induk) menjadi rujukan
penting bukan hanya untuk melihat isu-isu hukum Islam, tapi juga mencontoh
bagaimana isu-isu itu ditulis secara sistematis.
Disiplin lain yang dianggap sebagai bagian dari ilmu agama adalah ilmu
kalam atau kadang disebut juga ilmu tauhid atau ilmu aqidah. Sebagaimana
sudah disinggung di atas, Ilmu Kalam muncul akibat situasi politik yang terjadi
pada masa-masa awal Islam. Pertentangan soal siapa pengganti Nabi setelah
beliau wafat memunculkan isu kepemimpinan (imamah) yang mendorong
munculnya faksi-faksi politik. Dalam perkembangan selanjutnya, faksifaksi
politik ini, kaum Syiah (pendukung Ali), kaum Khawarij (penentang Ali),
dan kaum Murjiah (pencari jalan tengah), menjadi mazhab-mazhab teologi.
Selama dua abad pertama, teologi berkembang dalam bentuk perdebatan dan
wacana di lingkaran-lingkaran pengajian. Formulasi teologi secara sistematis
baru dilakukan setelah itu, dimulai oleh para pemikir Mu’tazilah seperti
Mu’ammar (w. 830), Abu al-Hudzayl (w. 841), dan al-Nadzam (w. 845). Puncak
penulisan teologi terjadi sekitar satu abad kemudian, ketika tiga teolog besar
mendominasi bidang kesarjaan ini, yakni Abu Hasan al-Asyari (w. 935)22 di
Baghdad, Abu Ja’far al-Tahawi (w. 935)23 di Mesir, dan Abu Mansur al-Maturidi
(w. 944)24 di Samarqand.
22 Al-Asy’ari banyak menulis buku Kalam. Di antaranya adalah al-Ibanah an Ushul al-Diyanah dan
Maqalat al-Islamiyyin.
23 Buku terkenal al-Tahawi yang menjadi rujukan kaum Muslim hingga sekarang adalah al-Aqidah
al-Tahawiyah.
24 Al-Maturidi menulis beberapa buku, di antaranya: Kitab al-Tauhid, al-Radd Awa’il al-Adilla, Bayan
Awham al-Mu’tazila, dan Kitab Ta’wilat al-Qur’an.
14
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Ilmu-Ilmu Klasik (Ulum al-Awail)
Para ulama menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut
disiplin yang bukan ilmu-ilmu agama. Sebagian mereka menyebutnya ‘ilmuilmu
rasional’ (ulum al-aqliyah), sebagian lainnya menyebut ‘ilmu-ilmu asing’
(‘ulum al-ajanib), sebagian yang lain menyebutnya ‘ilmu-ilmu keduniaan’ (‘ulum
al-dunyawiyah). Namun istilah yang paling umum digunakan pada masa-masa
awal keemasan Islam adalah ‘ilmu-ilmu klasik’ (‘ulum al-awail). Istilah ini
merujuk kepada jenis disiplin ilmu apa saja yang datang dari luar dan tidak
dikembangkan dari tradisi keilmuan Islam. Ia bisa datang dari Mesir, Persia,
India, dan Cina. Namun, sebagian besar ulama memahami istilah itu sebagai
cabang-cabang ilmu yang datang dari Yunani, khususnya Logika dan Filsafat.25
Teologi, meskipun berkembang juga di dunia luar Islam, tidak dianggap sebagai
bagian dari ‘ulum awail, karena kaum Muslim mengembangkan sendiri jenis
disiplin semacam ini yang dikenal dengan ‘ilmu kalam.’ Sebagai disiplin,
ilmu kalam muncul dan berkembang dari rahim Islam sendiri, meski dalam
perkembangannya ada interaksi dengan disiplin-disiplin spekulatif yang datang
dari luar, khususnya Logika dan Filsafat.
Buku-buku filsafat di dunia Islam mulai bermunculan pada abad kedelapan,
hanya beberapa tahun setelah proyek penerjemahan buku-buku asing dicanangkan
oleh kerajaan Abbasiyah. Pada mulanya, tradisi filsafat membonceng pada karyakarya
teologis yang terpengaruhi tradisi Helenisme. Para pemikir Mu’tazilah adalah
orang pertama yang memasukkan unsur-unsur filsafat ke dalam teologi Islam.
Sebagai aliran pemikiran yang menjunjung tinggi rasionalitas, Mu’tazilah merasa
berkepentingan untuk memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam. Namun
demikian, dalam perkembangannya, Mu’tazilah tidak pernah menjadi aliran filsafat.
Ia tetap sebagai mazhab teologi hingga masa keruntuhannya. Disiplin filsafat justru
berkembang di tangan para sarjana yang tidak terlalu peduli dengan teologi, tapi
dekat dengan ilmu-ilmu rasional. Sarjana pertama yang mengembangkan disiplin ini
adalah Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (w. 873), seorang ilmuwan serba bisa yang mendapat
julukan ‘Filsuf Arab.’ Dia menulis beberapa buku, namun yang paling penting adalah
karyanya yang berjudul ‘fi al-Falsafah al-Ula’ (tentang Filsafat Pertama). Upaya al-
Kindi dalam memperkenalkan filsafat Yunani diteruskan oleh generasi setelahnya.
Namun di antara para pemikir spekulatif yang paling menonjol adalah dua filsuf
besar: Abu Nasr al-Farabi (w. 951) dan Abu Ali ibn Sina (w. 1037). Keduanya adalah
filsuf yang sangat produktif, menulis buku dari berbagai bidang studi: filsafat, logika,
kedokteran, kimia, biologi, fisika, musik, dan puisi. Namun karya filsafat yang paling
penting dari al-Farabi adalah Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah (pandangan-pandangan
penghuni kota istimewa), dan dari Ibn Sina adalah al-Syifa (penyembuh).
Filsafat Islam di belahan timur kerajaan Islam mengalami kemunduran
setelah Ibn Sina meninggal dunia. Serangan bertubi-tubi dari ulama hadits
terhadap disiplin filsafat dan logika memberikan pengaruh yang cukup fatal
buat perkembangan filsafat. Upaya menghidupkan kembali yang dilakukan
Muhammad Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274) sia-sia, karena corak filsafat Islam
di timur semakin didominasi gerakan spiritualis. Tidak heran kalau pemikiran
filosofis yang muncul kemudian adalah corak gnostik yang lebih dekat kepada
25 George Makdisi tidak menganggap karya-karya Logika dan Filsafat sebagai bagian dari
Humaniora. Bahkan ia menganggap para filsuf besar seperti Alfarabi, al-Sijistani, dan Ibn Sina
hanya sebagai ‘praktisi humaniora amatir.’ (Makdisi, Humanisme, hal. 386). Saya tidak tahu apa
alasan dia mengabaikan karya-karya filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Padahal karya-karya filsafat
mereka justru yang paling kental berbicara tentang tema-tema humanisme.
15
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
tradisi tasawuf ketimbang filsafat. Ini bisa dilihat pada karya-karya Shihab al-
Din al-Suhrawardi (w. 1191) dan Shadr al-Din al-Shirazi atau Mulla Sadra (w.
1636) yang mengembangkan filsafat iluminatif atau filsafat transendentalisme.
Namun demikian, corak helenisme dari filsafat Islam tetap terjaga di belahan
barat dunia Islam (Andalusia). Di sini, filsafat Islam tumbuh subur kendati hanya
selama tiga abad, kerena setelah itu Andalusia mulai mengalami kejatuhan
akibat gerakan reconquista yang dilakukan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa.
Setidaknya ada tiga filsuf besar yang muncul di kawasan itu, yakni Muhammad
bin Yahya Ibn Bajah (w. 1138), Abu Bakar Ibn Tufayl (w. 1185.), dan Muhammad
Ibn Rushd (w. 1198). Mereka inilah yang menghiasi sejarah intelektualisme
Islam di daratan Iberia.
Filsafat Manusia
Humanisme dalam pengertiannya yang kedua, yakni sebagai gerakan filsafat
mendapat perhatian cukup besar dalam dua disiplin spekulatif: Teologi dan
Filsafat.26 Sebagian literatur Adab, khususnya buku-buku tentang etika dan moral,
juga memuat pembahasan tentang manusia, meskipun urainnya tidak terlalu
detil. Sebagian cabang ilmu-ilmu agama juga memuat pembahasan tentang
manusia, kendati dari perspektif yang berbeda dari filsafat humanisme yang
dipahami secara umum. Satu-satunya disiplin agama yang membahas manusia
dari sudut pandang humanisme barangkali adalah Ushul Fikih. Kendati Ushul
Fikih sebenarnya adalah ilmu yang mengulas tentang metodologi pengambilan
hukum Islam (Fikih), ia memiliki landasan filosofis tentang hukum dan bagaimana
manusia memainkan perannya dalam pembentukan hukum dan aturan. Tujuan
hukum atau apa yang biasa disebut sebagai ‘maqasid al-syariah’ pada dasarnya
adalah untuk memuliakan dan mengutamakan kebaikan manusia (maslahah).
Dalam semangat ini, manusia ditempatkan sebagai unsur penting yang tak hanya
sebagai obyek hukum, tapi juga sebagai pembuat dan penentu aturan.
Perhatian pertama tentang betapa pentingnya kedudukan manusia
barangkali dimulai ketika munculnya perdebatan tentang kebebasan (freewill).
Kaum Qadariyah adalah kelompok pertama yang menyadari betapa
pentingnya akal pikiran dan betapa pentingnya menganggap manusia memiliki
kebebasan. Kebebasan adalah kunci bagi tanggungjawab manusia di dunia ini
dan alasan untuk meyakini keadilan Tuhan. Tanggungjawab manusia hanya bisa
dimungkinkan jika mereka memiliki kehendak bebas. Eskatologi hanya bisa
bermakna jika manusia sepenuhnya bertanggungjawab apa yang dia lakukan.
Para pemikir Qadariyah seperti Ma’bad al-Juhani (w. 699) dan Ghaylan al-
Dimashqi (w. 730) meyakini bahwa manusia bukanlah mesin atau robot yang
sepenuhnya sudah didesain dan diatur oleh Tuhan. Berbeda dengan kaum
Jabariyah, para penganut Qadariyah meyakini bahwa nasib dan masa depan
manusia terletak di tangan manusia sendiri, dan bukan pada Tuhan maupun
kekuatan-kekuatan metafisis lainnya.
Harus saya katakan di sini bahwa wacana tentang kebebasan dalam Islam
berbeda dari diskursus serupa yang berkembang di dunia Barat modern. Di
dunia Islam, kebebasan adalah respon terhadap pertanyaan apakah manusia
26 Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran para Sufi besar seperti al-Jilli, Ibn Arabi, dan Jalal al-Din
Rumi bisa dikatagorikan sebagai bagian dari tradisi pemikiran Filsafat.
16
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
bebas dari campur tangan Tuhan. Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan
persoalan kebebasan berkehendak (free-will) dan ketidakbebasan
(predeterminism). Sementara di dunia Barat modern, kebebasan adalah respon
terhadap pertanyaan apakah manusia bebas dari intervensi negara dan dari
manusia lain. Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan dua konsep tentang
kebebasan yang dalam filsafat politik dikenal dengan ‘kebebasan positif’
(freedom for) dan ‘kebebasan negatif’ (freedom from). Kebebasan positif adalah
kebebasan yang memungkinkan keinginan-keinginan seseorang tercapai.27
Sementara kebebasan negatif adalah kemungkinan bagi manusia untuk
menghindar dari apa yang tidak diinginkannya.28
Negara atau manusia tidaklah menjadi unsur penting dalam pembicaraan
tentang kebebasan dalam Islam. Para pendukung teori kebebasan yang radikal
seperti kaum Mu’tazilah hanya memasukkan unsur kekuasaan Tuhan dan
mengabaikan ancaman negara atau manusia dalam perbincangan tentang
kebebasan. Negara secara institusional atau manusia secara individual tidak
pernah dianggap sebagai unsur penting yang bisa menjadi ancaman serius
bagi kebebasan seseorang. Absennya unsur negara dan manusia dalam
perbincangan tentang kebebasan dalam Islam ini memunculkan persoalan besar
yang secara telanjang dipertontonkan oleh Mu’tazilah sendiri. Terlalu dikuasai
oleh teosentrisme, Mu’tazilah membangun lembaga inkuisisi (mihnah) yang
menangkap, memenjarakan, menyiksa, dan membunuh, orang-orang yang tidak
sejalan dengan pandangan mereka. Kebebasan telah kehilangan artinya ketika
manusia dihilangkan dari wacana tentang kebebasan itu sendiri. Barangkali kita
memerlukan sedikit dosis ‘metafisika kemanusiaan’ untuk menghindari perangkap
‘metafisika ketuhanan’ dan metafisika-metafisika lain yang lebih berbahaya.29
Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam Filsafat Islam.
Para filsuf Muslim memandang manusia sebagai ukuran bagi semua hal
(mi’yar kulli syai), persis seperti yang dikatakan kaum Sofis Yunani beberapa
abad sebelumnya. Abd al-Karim al-Jilli menganggapnya sebagai ‘makhluk
sempurna’ (insan kamil), sementara Ibn Arabi memandangnya sebagai ‘pusat
alam raya’ (markaz al-kawn). Berbeda dengan Teologi yang mempertentangkan
antara Tuhan dan manusia, Filsafat Islam menganggap manusia sebagai
perluasan dari wujud Tuhan. Al-Farabi memandang manusia sebagai kulminasi
dari proses emanasi (al-fayd) yang ruwet. Manusia tidak diciptakan seperti
kita menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi
akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.30 Dalam proses kontemplasinya,
akal murni memunculkan aneka benda angkasa, seperti bintang, planet, dan
bulan. Al-Farabi membagi dunia angkasa ini menjadi dua: apa yang dia sebut
sebagai ‘dunia ekstra terestrial’ (ma fawq al-qamar) dan ‘dunia terestrial’ (ma
27 Contoh dari kebebasan jenis ini adalah kebebasan berbicara, berkespresi, berkeyakinan, dan sejenisnya.
28 Contoh dari kebebasan jenis ini adalah kebebasan dari rasa takut, dari kemelaratan, tekanan,
ancaman, dan sejenisnya.
29 Dalam makalahnya, F. Budi Hardiman mengkritik ‘metafisika kemanusiaan’ sebagai akar dari
krisis humanisme di dunia Barat modern. Menurut Budi Hardiman, humanisme telah gagal karena
terlalu berpegang pada ‘metafisika kemanusiaan,’ yakni sebuah paradigma yang memahami
manusia sebagai pusat kenyataan. Budi Hardiman memperkenalkan jenis humanisme baru yang
ia sebut ‘Humanisme Lentur,’ yakni humanisme yang steril dari metafisika kemanusiaan. Lihat
makalah F. Budi Hardiman, “Humanisme dan Para Kritikusnya.” Disampaikan dalam rangkaian
Kuliah Umum Memikirkan Ulang Humanisme di Komunitas Salihara, Sabtu 13 Juni 2009.
30 Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Masyriq, 1968.
17
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
tahta al-qamar). Yang pertama abadi sedangkan yang kedua tidak abadi. Kendati
manusia berada dalam alam terestrial yang fana (alam al-kawn wa al-fasad),
dengan akalnya dia bisa mengabstraksi dan memahami hal-hal yang jauh
berada di luar jangkauan inderanya.
Akal adalah daya (quwwah) yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Dengan akalnya manusia mampu mengetahui yang baik dan yang buruk,
yang salah dan yang benar. Dengan akalnya pula manusia berusaha mencari
kesenangan dan kebahagiaan. Menurut al-Farabi, kebahagiaan yang sempurna
tidak bisa diwujudkan secara individual, tapi harus melibatkan orang lain.
Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial. Mereka saling bekerjasama
dan tolong-menolong untuk merealisasikan kebahagiaan itu.31 Manusia
berkumpul dan membuat aturan-aturan untuk kebaikan bersama. Semakin
baik sebuah perkumpulan dan aturan, semakin mungkin kebahagiaan itu
diwujudkan. Al-Farabi berpendapat bahwa kebaikan bersama bisa diciptakan
lewat pembentukan asosiasi-asosiasi kecil seperti rukun warga, tapi kebaikan
yang lebih besar hanya bisa direalisasikan lewat pembentukan kota (baca;
negara) yang ideal (madinah al-fadilah). Negara ideal harus diatur dan dikelola
secara rasional. Pemimpinnya haruslah seorang yang sempurna, di mana dalam
dirinya bergabung kearifan nabi dan kecerdasan filsuf.32
Seluruh uraian al-Farabi tentang politik dan pemerintahan berangkat dari
konsep kebahagiaan (al-sa’adah) yang merupakan tema kunci etika Islam.
Pertanyaan yang selalu mengganggu para filsuf Muslim adalah dari mana sumber
etika dan moralitas? Apakah akal atau wahyu; nalar atau agama? Ibn Miskawayh
(w. 1030) secara tegas memilih nalar humanis sebagai sumber etika dan
moralitas ketimbang nasihat-nasihat yang diturunkan dari wahyu.33 Miskawayh
percaya bahwa ‘moral rasional’ lebih dapat menjawab dorongan-dorongan kodrati
dalam diri manusia, ketimbang aturan-aturan normatif dari agama. Yang lebih
penting dalam etika, menurut Miskawayh, bukanlah apakah seseorang mematuhi
sebuah norma, tapi bagaimana dia memahami dan menyikapi norma itu. Karena
itu, bagi Miskawayh, lebih penting memperhatikan bagaimana seorang anak
muda memilih teman-teman minumnya, ketimbang kenyataan bahwa anak itu
telah melanggar norma agama karena telah minum minuman keras.34
Pertentangan antara akal dan wahyu sebagai sumber etika menjadi
perdebatan panas dalam wacana pemikiran Islam setelah Miskawayh. Jika
akal atau nalar menjadi pegangan manusia untuk mengetahui baik dan buruk,
benar dan salah, apa gunanya agama? Ibn Rushd menarik perdebatan tentang
kontroversi akal dan wahyu dari wilayah etika ke wilayah hukum. Jika akal
manusia bisa menjadi sumber etika, maka ia juga bisa—dan bahkan lebih
layak—untuk menjadi sumber hukum. Bagi Ibn Rushd, ‘hukum rasional’
bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan dengan ‘hukum agama,’
karena aturan-aturan agama, pada dasarnya dibuat untuk kemaslahatan
manusia. Sama seperti Miskawayh, Ibn Rushd memiliki pendirian tegas ketika
31 Ibid., hal 117.
32 Ibid., hal. 120-126.
33 Pembahasan yang sangat ekstensif tentang Ibn Miskawayh dan pandangannya tentang etika dan
moral bisa dibaca dalam Mohamad Arkoun, Nuz’ah al-Ansanah fi al-Fikr al-Arabi. Beirut: Dar al-
Saqi, 1997.
34 Goodman, Islamic Humanism, hal. 110.
18
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia
t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org
menyikapi pertentangan akal dan wahyu. Jika akal dan wahyu berbenturan
maka wahyu harus ditafsirkan agar sesuai dengan pemahaman akal (fa in kana
muwafiqan fa la qawla hunalika, wa in kana mukhalifan thuliba hunalika
ta’wiluhu).35 Baginya, fungsi wahyu adalah untuk kemaslahatan manusia; jika
wahyu bertentangan dengan kebaikan manusia tak ada pilihan lain kecuali
menafsirkannya agar sesuai dengan kebaikan itu.
Kebaikan manusia atau yang dalam bahasa fikih disebut ‘maslahah’ menjadi
perhatian utama para sarjana Muslim setelah Ibn Rushd. Maslahah dianggap
sebagai salah satu rujukan penting dalam penentuan suatu status hukum.
Sebagai sumber hukum, kedudukan maslahah sama dengan al-Qur’an, Hadis,
Ijma, dan Qiyas, meski berbeda secara degree. Para sarjana hukum Islam seperti
Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 1262), Najm al-Din al-Thufi (w. 1324), dan Abu
Ishaq al-Syathibi (w. 1388), meyakini bahwa tujuan hukum (maqasid al-syari’ah)
pada akhirnya adalah untuk memuliakan manusia dan memberikan landasan
bagi mereka untuk hidup secara pantas dan terhormat. Dalam kata-kata Abd
al-Salam: “seluruh ketentuan agama diarahkan sebesar-besarnya untuk
kemaslahatan manusia” (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-‘ibad).36
Para ulama ushul menyebut lima hak dasar yang menjadi landasan hukum
Islam, yakni hak hidup (al-nafs), hak beragama (al-din), hak berpikir (al-‘aql),
hak milik (al-mal), dan hak menjaga nama baik (al-‘irdh). Kelima hak dasar ini
merupakan nilai universal yang tak hanya diperhatikan para fuqaha Muslim
saja. Pada abad ke-17, John Locke (w. 1704), filsuf Inggris, mengakui pentingnya
kelima hak dasar itu dan meringkasnya menjadi tiga, yakni hak hidup (life), hak
bebas (liberty), dan hak milik (property). Dalam beragam bentuk, kelima hak dasar
ini kemudian diadopsi oleh dokumen-dokumen penting dunia, seperti Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat37 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.38
Dr. Luthfi Assyaukanie. Dosen filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Paramadina
dan Deputi Direktur Freedom Institute, Jakarta. Buku terbarunya, Islam and the Secular
State in Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit ISEAS, Singapore (2009).
Makalah ini disampaikan dalam rangkaian Kuliah
Umum “Memikirkan Ulang Humanisme” di Komunitas
Salihara, Jakarta, Sabtu 27 Juni 2009. Makalah ini
milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun.
35 Artinya: “jika tak ada pertentangan antara wahyu dan akal maka tak ada yang perlu dikatakan. Tapi,
jika ada pertentangan, maka wahyu haruslah ditafsirkan.” Lihat Fasl al-Maqal, [tanpa tempat dan
tahun], hal. 7.
36 Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam. Beirur: Dar al-Jil, [tanpa
tahun], Juz II, hlm. 72.
37 Deklarasi kemerdekaan AS ditulis oleh Thomas Jefferson. Kata-kata yang digunkan adalah “Life,
liberty, and the Pursuit of Happiness.” Di Amerika, ketiga hak ini dianggap sebagai “hak-hak
yang tak bisa ditawar-tawar” (inalienable rights).
38 DUHAM mendaftar banyak hak-hak dasar manusia. Tapi, sebagian besar penjabaran pasal-pasal
DUHAM tidak jauh dari lima hak dasar yang dijabarkan para ulama Muslim.
Idris al-Syafi’i (w. 820) merampungkan al-Risalah,
sebuah traktat tentang metodologi pengambilan hukum
(ushul al-fiqh). Memasuki paruh kedua abad yang sama,
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 850),
menerbitkan Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah, sebuah buku
tentang aljabar dan matematika. Beberapa tahun setelah
itu, Amr bin Bahr al-Jahiz (w. 869), menulis Kitab
al-Hayawan, sebuah karya ensiklopedis tentang kisahkisah
anekdotal seputar dunia hewan. Pada akhir abad
yang sama, Ahmad bin Yahya al-Baladhuri (w. 892)
mendaftar nama-nama negara dan mengkompilasinya
dalam sebuah buku yang ia beri judul Futuh al-Buldan.
Memasuki abad kesepuluh, Muhammad bin Jarir al-
Tabari (w. 923) menerbitkan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,
sebuah buku sejarah paling lengkap yang pernah ditulis
orang. Kurang lebih pada tahun yang sama, Muhammad
bin Zakariya al-Razi (w. 925) menyelesaikan ensiklopedi
kedokteran dalam 9 jilid yang ia beri judul al-
Hawi. Beberapa tahun setelah itu, Muhammad bin
Muhammad al-Farabi (w. 950), seorang filsuf besar
2
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Islam, menerbitkan Kitab al-Musiqa, sebuah buku yang
mengulas berbagai aspek tentang musik. Abad kesepuluh
ditutup dengan munculnya beberapa karya tentang
karya atau biasa disebut dengan ‘buku indeks’ atau ‘buku
katalog.’ Salah satu penulis paling penting dalam genre ini
adalah Muhammad bin Ishaq al-Nadim (w. 998) yang
karyanya, Al-Fihrist, menjadi rujukan para sarjana hingga
hari ini. Al-Fihrist mendaftar dan mengulas ratusan buku
yang pernah ditulis dan diterbitkan kaum Muslim hingga
masa di mana pengarangnya hidup.1
Sekitar 10 abad setelah Ibn Nadim menerbitkan al-Fihrist, Boisard,2
Makdisi,3 Goodman,4 dan beberapa sarjana modern lainnya, menyebut apa
yang dipamerkan para penulis Muslim dalam berbagai karya yang saya sebut
di atas sebagai gerakan ‘humanisme Islam.’ Kata ‘humanisme’ tentu saja
baru digunakan pada zaman modern. Menurut Remigio Sabbadini, kata itu
pertama kali digunakan dalam bahasa Latin untuk merujuk para pemikir, filsuf,
ilmuwan, dan seniman yang hidup pada masa-masa awal zaman kelahiran
kembali (renaissance).5 Istilah ‘insaniyah’ yang digunakan dalam bahasa Arab
adalah terjemahan langsung dari kata ‘humanisme’ yang digunakan dalam
bahasa-bahasa Eropa.6 Islam sendiri tidak punya sebutan khusus untuk
menamakan fenomena massif pemuliaan manusia dan pembudidayaan ilmu
pengetahuan itu.
Kata ‘humanisme’ memiliki arti ganda. Pada satu sisi, ia berarti gerakan
untuk menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau biasa disebut ‘humaniora.’
Pada sisi lain, ia berarti sebuah gerakan filsafat untuk menekankan sentralitas
manusia. Dalam pengertian pertama, humanisme adalah sebuah upaya
untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karya
Yunani. Humanisme berusaha melampaui semangat abad pertengahan yang
1 Masa-masa abad kesembilan dan kesepuluh adalah era formasi pemikiran Islam dan sekaligus
merupakan masa yang paling produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dispilin
keislaman. Era kreasi dan inovasi itu kemudian dilanjutkan lagi, paling tidak selama tiga abad
berikutnya. Pada masa inilah muncul ratusan—jika bukan ribuan—ilmuwan, sarjana, sastrawan,
arsitek, musisi, dan penyair, yang karyanya memberikan pengaruh buat peradaban manusia
setelahnya.
2 Marcel A. Boisard. Humanism in Islam. Indianapolis: American Trust Publications, 1988.
3 George Makdisi. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: With Special
Reference to Scholasticism. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990.
4 Lenn Evan Goodman. Islamic Humanism. New York: Oxford University Press, 2003.
5 Dalam Augusto Campana. “The Origin of the Word ‘Humanist,’” Journal of the Warburg and
Courtauld Institutes, Vol. 9, (1946), hal. 60.
6 Kata humanism dan derivasinya yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah terjemahan dari
kata umanista (Latin) dan umanesimo (Italia). Lebih jauh tentang asal-usul istilah ini, lihat artikel
Campana (1946) di atas.
3
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
lebih banyak berfokus pada teologi dan metafisika. Karya-karya sastra yang
tak mendapatkan perhatian selama ‘abad kegelapan’ itu dihidupkan dan
digeluti dengan penuh gelora. Surat-surat Cicero dan naskah-naskah pidato
yang tak pernah digubris para filsuf Kristen sebelumnya diterbitkan kembali
dan dipelajari secara serius. Humanisme dalam pengertian yang pertama
ini mengalami puncak ekspresinya pada pertangahan abad ke-15, ketika
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Eropa mewajibkan mata kuliah
studia humanitatis yang terdiri dari tatabahasa, retorika, puisi, sejarah, dan
filsafat moral.7 Dalam pengertiannya yang kedua, humanisme adalah sebuah
bentuk protes terhadap elitisme filsafat yang hanya peduli pada tema-tema
abstrak yang tak punya dampak langsung kepada masyarakat. Kaum humanis
mengkritik para filsuf yang cenderung abai terhadap persoalan-persoalan nyata
yang dihadapi manusia. Bagi mereka, tugas ilmuwan bukan hanya duduk manis
di menara gading, tapi juga harus memiliki semangat aktivisme. Intelektual
sejati adalah orang yang bisa menggabungkan antara kontemplasi dan aksi.
Pada perkembangan selanjutnya, humanisme dalam pengertian kedua
menjadi sebuah filsafat pemberontakan terhadap berbagai bentuk absolutisme,
khususnya menyangkut agama dan politik. Humanisme adalah perjuangan
untuk menegaskan sentralitas manusia, bahwa manusia adalah makhluk bebas
yang bisa mengatur, mengontrol, dan menentukan nasibnya sendiri. Berbeda
dari keyakinan abad pertengahan yang menekankan peran Tuhan, kaum
humanis menolak segala bentuk supernatural dan menganggapnya sebagai
mitos. Dalam pandangan mereka, manusia adalah produk evolusi alamiah, akal
pikiran tak bisa dipisah-pisahkan dari fungsi otak, dan tidak ada kelanjutan
kesadaran setelah manusia mati. Manusia memiliki kekuatan dan potensi untuk
mengatasi persoalan-persoalannya sendiri, dengan terutama berpegang pada
akal dan metode ilmiah yang digunakan secara berani dan bertanggung jawab.
Kaum humanis juga menolak segala bentuk determinisme dan fatalisme.
Manusia adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja yang dia suka.
Manusia adalah penentu nasibnya sendiri.8 Pada 1933, sejumlah intelektual,
sarjana, dan aktivis di Amerika membuat sebuah pernyataan bersama yang
dikenal sebagai “Manifesto Kaum Humanis” (Humanist Manifesto). Manifesto
yang berisi 15 butir ini kemudian diterbitkan oleh jurnal The New Humanist, (Vol.
VI, No. 3, 1933).9
Dalam pengertiannya yang kedua, ada perbedaan mendasar antara gerakan
humanisme di dunia Islam dan di Barat. Di dunia Islam, gerakan humanisme
adalah konsekuensi dan perluasan dari institusi-institusi penyebaran agama,
sementara di Barat (Eropa), humanisme justru merupakan perlawanan dari
lembaga-lembaga semacam itu. Penggunaan kata ‘manusia’ pada humanisme
(umanesimo) menunjukkan karakternya sendiri yang unik. Humanisme
adalah gerakan pemberdayaan peran dan status manusia yang sebelumnya
terpinggirkan. Sebelum abad ke-15, bangsa Eropa hidup dalam era kegelapan
(dark ages). Istilah ‘medieval’ yang digunakan untuk merujuk zaman itu tak
hanya diartikan sebagai ‘abad pertangahan’ tapi juga dimaknai sebagai
7 Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning, Criticism, Schools and Universities,” dalam
Angelo Mazzocco, Interpretations of Renaissance Humanism. Leiden; Boston: Brill, 2006., hal. 79.
8 Corliss Lamont. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Press, 1997, hal. 13-14.
9 Pada 1973, Manifesto ini diperbaharui dan ditambahkan beberapa butir baru yang lebih detil.
Manifesto ini diterbitkan dalam jurnal The Humanist (September/October 1973).
4
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
mentalitas kolot di mana iman dan dogma menguasai manusia. Keberadaan
manusia di dunia pada dasarnya untuk melayani Tuhan. Tugas penting mereka
di dunia ini adalah menyiapkan diri sebaik-baiknya (dengan berbuat amal
saleh) demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Begitu
sentralnya peran Tuhan, manusia sesungguhnya tidak memiliki pilihan. Semua
nasib, masa depan, dan peruntungan mereka sudah ditulis dan ditakdirkan
sejak sebelum lahir. Manusia juga tidak memiliki kebebasan, karena
selain dikekang oleh penguasa politik yang despot, mereka juga diikat oleh
teosentrisme lewat kuasa agama dan agen-agen Gereja. Humanisme adalah
sebuah gerakan untuk melawan semua kondisi keterkalahan itu. Humanisme
adalah upaya untuk mendorong posisi manusia ke pusat perhatian sambil
meminggirkan peran Tuhan dan metafisika yang sebelumnya sangat dominan.
Islam tidak berangkat dari pengalaman seperti itu. Pada awal-awal
sejarahnya, Islam tidak punya persoalan dengan Tuhan dan metafisika,
seperti terjadi di Eropa. Bagi para humanis Muslim, Tuhan dan metafisika
selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan tema-tema
pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Kaum Muslim juga
tak merasakan adanya peminggiran status dan peran manusia seperti yang
dialami kaum humanis di Eropa. Tokoh humanis awal, Muhammad bin Idris
al-Syafi’i adalah seorang sarjana dengan erudisi sangat tinggi tapi sekaligus
adalah pelayan agama yang sangat loyal. Begitu juga tokoh humanis terakhir
pada masa keemasan Islam, Muhammad bin Rushd atau yang di dunia Barat
lebih dikenal dengan Averroes (w. 1198) adalah seorang filsuf par excellence
yang tak pernah meninggalkan jubah agamanya. Benar bahwa pernah muncul
isu predeterminisme pada masa-masa awal sejarah Islam. Tapi, sama sekali
tidak ada pandangan tunggal dalam menyikapi isu tersebut. Para sarjana
Muslim menghadapinya secara beragam, sehingga kemudian memunculkan
tiga mazhab besar dalam Islam, yakni Jabariyah (pendukung kemahakuasaan
Tuhan), Qadariyah (pendukung kebebasan manusia), dan Asy’ariyah
(mengkombinasikan keduanya).
Berbeda dari kaum humanis di Eropa, para sarjana Muslim tidak punya
masalah dengan posisi manusia dalam berhadapan dengan Tuhan maupun
kekuasaan. Tuhan dan kekuasaan adalah dua entitas yang selalu akrab
dengan mereka. Ateisme adalah gagasan yang asing bagi para filsuf dan
sarjana Muslim. Begitu juga, melawan pemerintah merupakan sesuatu
yang absurd yang tak pernah terbersit di benak mereka yang sebagian besar
hidup di lingkungan istana. Bagi para filsuf dan ulama ketika itu, kemajuan
pengetahuan bukan dengan cara memusuhi agama dan penguasa, tapi justru
dengan cara mendekati dan memberdayakannya. Mungkin karena perbedaan
dalam mempersepsi posisi Tuhan dan manusia inilah, humanisme dalam
Islam berkembang dan memiliki trajektori yang agak berbeda dari pengalaman
Eropa. Kita tahu bahwa gerakan pembudidayaan ilmu pengetahuan dalam Islam
terhenti memasuki abad ke-12, seiring dengan menangnya kecenderungan
fatalis (diwakili kaum Asy’ariyah dan Sunnisme). Sementara di Eropa, gerakan
humanisme melahirkan pencerahan dan revolusi industri.
Namun, terlepas dari perbedaan itu, ada satu kesamaan semangat antara
humanisme Islam dan Barat, yakni upaya untuk menekankan pentingnya akal
budi dan ilmu pengetahuan. Selama gerakan humanisme berlangsung di
dunia Islam (abad ke-8 hingga 12), berbagai disiplin ilmu pengetahuan baru
diciptakan, lembaga-lembaga ilmiah didirikan, dan lingkar-lingkar budaya
5
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
dan seni digalakkan. Selama rentang masa ini, kerajaan Islam begitu antusias
mendatangkan ilmuwan-ilmuwan terbaik untuk dipekerjakan di istana atau
di perpustakaan-perspustakaan kerajaan. Buku-buku asing dari Yunani
dan negara lain didatangkan dan diterjemahkan. Kehidupan akademis dan
kesarjanaan mengalami puncak yang tak pernah diulang lagi dalam sejarah
kaum Muslim yang panjang, baik sebelum maupun sesudahnya.
Lahirnya Ilmu Pengetahuan
Sebagai sebuah disiplin yang memiliki metodologi ketat, cabang-cabang
ilmu pengetahuan dalam Islam sebenarnya baru muncul setelah abad
kesembilan, atau paling tidak memasuki paruh kedua abad kedelapan. Apa
yang disebut ‘teologi’ (kalam), meski sudah tampak sejak awal sejarah Islam,
sebagai sebuah disiplin ilmu, ia baru muncul pada abad kesembilan, ketika
kaum Mu’tazilah dan khususnya seorang bekas pengikutnya, Abu Hasan al-
Asy’ari, menuliskan isu-isu teologis secara sistematis. Disiplin-disiplin lain
seperti Fikih, Hadis, dan Tafsir, juga baru muncul belakangan, setelah semakin
mengkristalnya aliran-aliran pemikiran dalam Islam.
Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa al-Qur’an sebagai
kitab suci kaum Muslim memainkan peran penting dalam terciptanya cabangcabang
humaniora (adabiyyat) dalam Islam. Seperti dengan baik dijelaskan
Ibn Nadim, perhatian kaum Muslim yang begitu tinggi terhadap al-Qur’an
mendorong terciptanya disiplin-disiplin baru. Pada mulanya, perhatian itu
sebatas keinginan untuk menghadirkan bacaan yang benar terhadap al-Qur’an.
Sudah umum diketahui bahwa pada masa-masa awal, penulisan ayat-ayat al-
Qur’an tidak menyertakan tanda baca (harakat) yang bisa berimplikasi bukan
hanya pada bunyi, tapi juga pada maknanya. Orang pertama yang peduli pada
persoalan harakat ini adalah Abu Aswad al-Duali (w. 688), seorang tabiin.
Dikisahkan bahwa Abu Aswad merasa risih karena berkali-kali mendapatkan
orang yang keliru dalam membaca sebuah ayat al-Qur’an karena absennya
tanda baca tersebut. Khawatir akan semakin meluasnya kesalahan dalam
bacaan, sahabat dekat Ali bin Abi Thalib itu membuat kaedah bacaan dengan
memberikan tanda-tanda baca pada ayat al-Qur’an. Kelak, apa yang dilakukan
Abu Aswad itu melahirkan disiplin ilmu yang disebut ‘nahwu’ (tata bahasa).
Sedangkan pengembangannya mendorong lahirnya disiplin lain yang terkait
dengan penulisan kaligrafi (khat), keindahan berbahasa (balaghah), puisi (syi’r),
retorika (khitabah), dan sejarah (tarikh).
Jika perhatian terhadap masalah bacaan al-Qur’an mendorong munculnya
ilmu-ilmu humaniora (adabiyat), perhatian kaum Muslim terhadap tematema
al-Qur’an melahirkan ilmu-ilmu agama (ulum al-din). Ilmu tafsir adalah
disiplin yang secara langsung diturunkan dari perhatian kaum Muslim
terhadap pemahaman terhadap kitab suci itu. Ilmu ini berkembang pada abad
kesepuluh, setelah penulisan tafsir semakin mentradisi dan semakin banyak
dilakukan sarjana Muslim. Ilmu fikih berkembang pada abad kesembilan dan
mengalami kejayaannya pada akhir abad kesepuluh ketika mazhab-mazhab
fikih bermunculan. Hadis sebagai ilmu datang lebih lambat, meski upaya
pengumpulannya telah ada sejak awal sejarah Islam. Buku-buku ilmu hadis
yang dikenal sebagai ‘mustalah al-hadith’ baru meramaikan pustaka Islam
setelah abad kesebelas dan mengalami puncaknya satu abad kemudian.
Percabangan ilmu-ilmu Islam muncul akibat perhatian dan interaksi yang
6
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
mendalam terhadap disiplin-disiplin utama ilmu-ilmu agama itu. Ilmu soal
pembagian harta waris (ilm al-faraid) misalnya, adalah disiplin yang muncul dari
fikih. Begitu juga ilmu tentang kronologi ayat (ilm asbab al-nuzul) adalah cabang
dari disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Beberapa disiplin Islam memiliki metodologi
khusus yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Misalnya, disiplin fikih memiliki ushul al-fiqh, disiplin tafsir memiliki úlum altafsir,
dan disiplin hadis memiliki úlum al-hadits atau ilm mustalah al-hadis.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang rasional seperti filsafat, logika,
kedokteran, dan astronomi merupakan disiplin yang muncul akibat interaksi
kaum Muslim dengan peradaban asing. Ekspansi kaum Muslim ke wilayahwilayah
baru seperti Persia, Irak, Mesir, dan Spanyol, memunculkan kebutuhan
akan pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat mendukung pembangunan
peradaban yang tengah mereka lakukan. Langsung setelah ibu kota Islam
pindah dari Madinah ke Damaskus pada akhir abad ketujuh, gerakan apropriasi
budaya dan ilmu pengetahuan mulai dilakukan. Khalifah Bani Umayyah
memulai gerakan peleburan ini dengan mengadopsi sistem pemerintahan
Bizantium (Romawi Timur). Proses apropriasi ini dilanjutkan oleh dinasti
Abbasiyah yang berkuasa setelahnya. Lebih dari apa yang telah dilakukan Bani
Umayyah, dinasti Abbasiyah melakukan gerakan pembudidayaan ilmu-ilmu
rasional yang luar biasa. Dimulai dengan gerakan penerjemahan dan pendirian
Bayt al-Hikmah, sebuah pusat kegiatan intelektual di Baghdad yang menjadi
mercusuar ilmu pengetahuan kerajaan Islam pada masa itu. Buku-buku dari
Yunani mendapatkan perhatian utama. Karya-karya para filsuf besar seperti
Plato, Aristotle, dan Plotinus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Bukubuku
kedokteran dari Persia dan India juga diterjemahkan dan disebarluaskan
ke perpustakaan-perpustakaan Islam pada masa itu. Kurang dari satu abad
setelah gerakan penerjemahan buku-buku klasik itu dimulai, kaum Muslim
telah melahirkan beberapa filsuf besar, ahli kedokteran, dan sarjana astronomi.
Studia Adabia (Adabiyyat)
Jika gerakan humanisme di Eropa menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang
disebut studia humanitatis, gerakan humanisme Islam melahirkan apa yang
George Makdisi sebut sebagai studia adabia.10 Adab secara harfiah berarti
‘disiplin’ atau ‘etika.’ Dalam bahasa Arab modern, adab biasa diartikan sebagai
sastra. Fakultas-fakultas Sastra di dunia Arab biasanya disebut sebagai
‘kuliyat al-adab.’ Namun dalam pengertian yang berkembang pada masamasa
awal Islam, adab lebih dari sekadar sastra. Ia meliputi kegiatan ilmiah
yang terkait dengan tata bahasa, puisi, retorika, sejarah, dan filsafat moral
(akhlaq). Fenomena adab sebagai disiplin ilmu telah ada sejak pra-Islam. Puisipuisi
jahiliyah dan cerita-cerita rakyat yang berkembang pada masa itu kerap
dimasukkan dalam bagian sejarah adab Arab.11 Puisi-puisi jahiliah memainkan
peran yang sangat penting dalam pembentukan disiplin adab dalam sejarah
Islam. Beberapa sarjana bahkan menganggap bahwa keberadaan puisi-puisi
10 George A. Makdisi. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan
Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 140.
11 Lihat misalnya Carl Brockelman, Tarikh al-Adab al-Arabi. Cairo: Dar al-Maarif [n.d]; Syauqi Dhaif.
Tarikh al-Adab al-Arabi. Cairo: Dar al-Maarif [n.d]; dan Mustafa Shadiq al-Rafii, Tarikh Adab al-
Arabi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000.
7
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
jahiliah merupakan jaminan bagi rujukan (syawahid) sastra Islam, termasuk di
dalamnya al-Qur’an.
Tata bahasa adalah cabang adab pertama yang muncul dalam Islam. Seperti
sudah disinggung sebelumnya, disiplin ini muncul akibat kebutuhan yang
mendesak untuk menghindari kesalahan baca pada al-Qur’an. Abu Aswad al-
Duali adalah orang yang kerap disebut berada di belakang munculnya ilmu
nahwu (tata bahasa). Pada dasarnya, nahwu adalah ilmu untuk mengetahui
kedudukan suatu kata yang disimbolkan dengan bunyi akhir setiap kata
tersebut. Kekeliruan dalam mengucapkan bunyi akhir ini bisa mengakibatkan
kekeliruan makna. Salah satu contoh yang sering dirujuk mengapa Abu
Aswad merasa penting untuk segera menciptakan tanda baca pada al-Qur’an
adalah ayat ini: . Ayat ini bisa dibaca dengan dua
kemungkinan. Pertama, innallaha bariun minal musyrikina wa rasulahu (dengan
fathah pada kata ‘rasul’). Kedua, innallaha bariun minal musyrikina wa rasulihi
(dengan kasrah pada kata ‘rasul’). Yang pertama adalah bacaan yang benar
yang berarti “sungguh Allah dan rasulnya terbebas dari orang-orang muysrik.”
Sedangkan yang kedua adalah bacaan yang keliru karena berarti “sungguh
Allah terbebas dari orang-orang musyrik dan rasulNya.”
Ilmu nahwu berfungsi menjaga kekeliruan-kekeliruan semacam itu. Sebagai
tulisan yang memiliki berbagai kemungkinan pengucapan, bahasa Arab
membutuhkan aturan yang dapat menyelamatkan orang dari kekeliruan. Ada
satu sub-disiplin (atau boleh juga disebut ‘seni’) dalam ilmu nahwu yang tugasnya
mengurai setiap kedudukan kata dalam sebuah kalimat. Seni ini disebut dengan
‘i’rab.’ Di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia, i’rab adalah cabang ilmu
yang sangat penting untuk diketahui setiap santri sebelum mereka mengkaji
kitab-kitab kuning (buku Arab klasik). Kata i’rab secara literal berarti ‘mengarab’
yakni suatu upaya untuk menjadi fasih dalam bahasa Arab. Dalam pengertiannya
yang luas, i’rab berarti “ilmu tentang perubahan bunyi akhir kata, baik yang
kentara maupun yang tersembunyi, dalam satu struktur kalimat.”12
Menurut catatan Ibn Nadim, setelah Abu Aswad al-Duali, tata bahasa
dikembangkan oleh murid-muridnya seperti Yahya bin Ya’mar, Anbasah bin
Ma’dan, dan Maymun bin al-Aqran.13 Namun, pada tahap ini, ilmu nahwu masih
diajarkan dari halakah ke halakah tanpa adanya suatu upaya penulisan secara
sistemtais. Penulisan nahwu secara lebih sistematis baru dilakukan pada akhir
abad kedelapan. Salah satu buku pertama yang selamat sampai ke tangan kita
sekarang adalah al-Kitab (buku) karya Amr bin Uthman atau yang lebih dikenal
dengan al-Sibawayh (w. 796). Buku ini memuat tentang berbagai kaedah dasar
tata bahasa Arab. Konon al-Sibawayh sangat serius menyiapkan buku ini dan
dia mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk merampungkan karya
yang kemudian menjadi masterpiece-nya itu.14
Perhatian pada pentingnya kaedah bahasa memunculkan cabang ilmu lain
yang mempelajari tentang kata dan maknanya. Inilah cabang ilmu yang disebut
‘filologi.’ Merujuk pada bahasa aslinya (Yunani), filologi secara harfiah berarti
‘cinta kata.’ Filologi adalah ilmu yang mengurai tentang suatu kata, baik asalusul
maupun maknanya. Dalam Islam, ilmu ini berkembang pada pertengahan
12 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 183.
13 Muhammad bin Ishaq al-Nadim, al-Fihrist, [n.p.], 1971. hal. 46.
14 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 187.
8
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
abad kedelapan dengan lahirnya buku-buku kamus. Di antara buku-buku
kamus pertama yang selamat hingga ke tangan kita hari ini adalah Kitab al-
Ayn, karya Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 791). Cara penulisan buku ini agak
unik, karena tidak seperti buku kamus pada umumnya yang ditulis berdasarkan
alfabet, Kitab al-Ayn disusun berdasarkan fonetik (bunyi suara). Menurut Ibn
Nadim, dalam naskah aslinya, karya agung al-Farahidi ini ditulis dalam 48
jilid.15 Selain menyusun kamus, al-Farahidi juga dikenal sebagai pencipta
cabang ilmu baru yang dikenal dengan nama ‘arud’ (secara harfiah berarti
‘musik’), yakni disiplin yang mengajarkan tentang ritme pada puisi (syair).
Puisi adalah disiplin Adab paling tua yang tak mengenal krisis. Orang-orang
Arab adalah masyarakat yang menghargai puisi. Puisi telah ada sebelum Islam
dan terus digunakan oleh para penulis Arab sebagai rujukan (syawahid) dalam
karya-karya mereka. Sebagai syawahid, bait-bait puisi tidak hanya dijumpai
dalam buku-buku yang terkait dengan karya sastra saja, tapi juga dalam bukubuku
agama, filsafat, dan sejarah. Puisi-puisi pra-Islam (jahiliah) memainkan
peran yang sangat penting dalam kesusasteraan Arab-Islam. Kendati sebagian
besar ulama dan sarjana Islam bersikap antagonis terhadap kehidupan
jahiliah, mereka cukup apresiatif terhadap puisi-puisi pra-Islam itu. Jangan
heran kalau sejak abad pertama Islam muncul begitu banyak para penghafal
dan pengumpul puisi-puisi jahiliah, seperti Qatadah bin Di’amah (w. 736),
Muhammad bin al-Saib al-Kalbi (w. 763), Awanah bin al-Hakam (w. 764), dan
al-Syawqi bin al-Qutami (w. 767).
Puisi jahiliah dianggap sangat penting karena bisa dijadikan rujukan untuk
melihat kemurnian bahasa Arab. Para pengkaji al-Qur’an kerap merujuk pada
puisi-puisi pra-Islam ketika mereka menjumpai suatu kata asing atau kata
yang rumit pada suatu ayat. Begitu pentingnya peran puisi jahiliah, Ibn Abbas,
seorang sahabat Nabi yang dikenal sangat piawai dalam menafsirkan al-Qur’an
memberikan pengakuan: “apabila suatu persoalan muncul berkaitan dengan
kata-kata yang asing dalam Alquran, maka carilah padanan atau artinya
dalam puisi-puisi pra-Islam, karena puisi-puisi itu merupakan ‘catatan bangsa
Arab’.”16 Memang ada beberapa kecaman terhadap perilaku orang-orang
jahiliyah, termasuk kepada para penyair besarnya. Beberapa ulama Islam
mengecam para penyair pra-Islam seperti Imru al-Qays (w. 544), sebagai orang
hedonis, pemabuk, dan pemain perempuan. Tapi tak ada yang menyangkal
bahwa dia adalah penyair terbesar bangsa Arab yang puisi-puisinya
dipamerkan di dinding Ka’bah (al-mu’allaqat). Dia juga pencipta qasidah, puisi
liris yang didendangkan yang berkembang sangat pesat pada era Islam.
Selain puisi, retorika adalah cabang adab yang cukup mendapat perhatian
pada masa keemasan Islam. Dalam bahasa Arab, retorika disebut ‘khitabah,’
satu kata yang memiliki akar yang sama dengan ‘khutbah’ (ceramah) dan
‘khatib’ (penceramah). Para ulama dan sarjana Muslim menaruh perhatian
cukup besar bagi ilmu retorika, karena sebagian ekspresi mereka disampaikan
dalam bentuk oral. Ceramah, khutbah Jum’at, mengajar, berdiskusi, dan
berdebat, adalah bagian dari kegiatan yang membutuhkan kecakapan retoris.
Khitabah tidak hanya terkait dengan bidang agama saja, tapi ia juga mencakup
bidang politik (sebagai ahli kampanye), militer (sebagai motivator perang), dan
penceritaan (sebagai pendongeng). Para khalifah dan sultan kerap memakai
15 Ibn al-Nadim, Fihrist, hal. 48.
16 Makdisi. Cita Humanisme Islam, hal. 206.
9
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
jasa para orator dan pendongeng untuk diperjakan di istana.
Pidato umumnya disampaikan secara langsung tanpa teks (irtijal). Tapi, ada
beberapa pidato yang disiapkan oleh para penulis pidato untuk disampaikan
para pejabat atau petinggi istana. Naskah-naskah pidato jenis ini dikumpulkan
dan dibukukan, yang kemudian menjadi genre sendiri dalam studia adabia.
Naskah-naskah pidato yang dikumpulkan menjadi rujukan bagi orang yang
ingin mempelajari khitabah dan juga yang ingin menguasai seni keindahan
berbahasa (balaghah). Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa buku-buku
kumpulan pidato menjadi bahan yang sangat berharga bagi para sejarahwan
dalam menulis suatu peristiwa.17 Banyak sekali peristiwa-peristiwa penting
yang tidak dicatat oleh sejarahwan, tapi memiliki rekaman dalam bentuk
pidato-pidato. Ibn Nadim menyebut tema-tema seperti perang, perjanjian,
dan gencatan senjata, sebagai tema yang hampir selalu muncul dalam bukubuku
kumpulan pidato. Tema-tema seperti inilah yang menjadi rujukan para
sejarahwan ketika mereka menulis buku.
Penulisan sejarah merupakan bidang adab yang sangat luas. Ia mencakup
berbagai catatan peristiwa masa silam, dari persoalan politik, militer, agama,
kebudayaan, pendidikan, masyarakat, hingga biografi. Penulisan sejarah
dalam Islam dimulai dari biografi para tokoh atau yang biasa disebut ‘sirah.’
Kehidupan nabi Muhammad merupakan tema yang paling banyak diminati dan
menjadi konsentrasi utama dalam penulisan sirah. Istilah sirah sendiri bahkan
telah menjadi identik dengan biografi nabi. Setelah Nabi, biografi para sahabat
dan kerabat Nabi, khususnya sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar,
Umar, Aisyah, dan Ali, menjadi perhatian berikutnya. Pada awalnya, penulisan
sirah bercampur dengan periwayatan hadis. Para pengumpul hadis biasanya
memberikan bab khusus tentang kehidupan Nabi atau sejarah para sahabat.
Namun, pada perkembangan berikutnya, penulisan biografi Nabi ditulis secara
independen. Orang pertama yang melakukan pekerjaan ini secara sistematis
adalah Muhammad bin Ishaq (w. 767), yang karyanya, Sirah, dianggap sebagai
rujukan paling otoritatif tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad.
Penulisan sejarah umum dimulai sejak abad kesembilan. Orang pertama
yang melakukannya adalah Muhammad bin Jarir al-Tabari (w. 923) dalam
karyanya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Dalam karya agungnya ini, al-Tabari tidak
hanya menulis sejarah Islam saja, tapi juga sejarah dunia. Ia memulai bukunya
dari sejarah kejadian alam raya, kemudian disusul dengan penciptaan Adam
dan Hawa, dan ditutup dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa al-
Tabari sendiri. Banyak orang mengkritik karya al-Tabari ini sebagai buku yang
banyak dipengaruhi oleh kisah-kisah Israiliyyat (tradisi Yahudi). Tuduhan ini
tidak sepenuhnya salah, karena sumber-sumber yang digunakan al-Tabari
dalam menulis sejarah masa silam adalah kitab Perjanjian Lama dan bukubuku
yang ditulis oleh para penulis Yahudi dan Kristen. Tarikh al-Rusul menjadi
rujukan utama para sejarahwan setelahnya. Dua abad setelah al-Tabari, Ali
bin Athir (w. 1233), menulis al-Kamil fi al-Tarikh dalam 14 jilid. Kira-kira satu
setengah abad setelahnya, Ismail bin Kathir (w. 1373) menulis al-Bidayah wa
al-Nihayah dalam 8 jilid. Puncak dari penulisan sejarah dalam Islam adalah Ibn
Khaldun (w. 1406) yang menulis Kitab al-Ibar. Berbeda dari para pendahulunya,
Ibn Khaldun tidak hanya menulis sejarah, tapi ia juga mengembangkan suatu
ilmu penulisan sejarah (historiografi) dan filsafat sejarah. Karyanya yang
17 Ibid., hal. 237.
10
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
dikenal dengan judul al-Muqaddimah ini kemudian menjadi pengantar umum
dari Kitab al-Ibar.
Buku-buku tentang moral dan akhlak mestinya menjadi bagian dari tradisi
filsafat, dan seharusnya masuk dalam katagori ketiga dalam humaniora yang
berkembang di dunia Islam. Namun, literatur tentang moral dan etika dalam
katagori ini bukanlah disiplin yang digeluti para filsuf rasionalis seperti Al-
Farabi dan Ibn Sina, tapi oleh para ulama dan sufi. Sejak awal, pesan-pesan
moral selalu menjadi menu utama dalam halakah-halakah keagamaan.
Ceramah-ceramah di mesjid kerap dijejali ajaran-ajaran moral, baik yang digali
dari tradisi Islam maupun tradisi-tradisi lain. Nilai-nilai etika seperti prasangka
baik, jujur, ikhlas, sabar, dan tawakkal, adalah pesan-pesan moral yang kerap
disampaikan dalam berbagai forum keagamaan. Kelak, nilai-nilai semacam
ini dikembangkan, dielaborasi, dan diformulasikan para Sufi menjadi doktrindoktrin
tasawuf. Salah seorang sufi pertama yang memformulasikan nilai-nilai
itu secara sistematis adalah Ali bin Uthman al-Hujwiri (w. 1077) dalam bukunya
Kasyf al-Mahjub. Buku yang ditulis dalam bahasa Persia ini memuat penjelasan
tentang konsep-konsep kunci tasawuf seperti pengetahuan (ma’rifah), kepapaan
(al-faqr), kemurnian (al-safwah), dan penyesalan (malamat).
Disiplin tasawuf berkembang sangat pesat. Meskipun tasawuf tidak pernah
dianggap sebagai bagian dari Adab, para praktisi dan teoretisi tasawuf kerap
menghasilkan karya-karya bercorak sastra. Selain karya-karya prosa (yang
banyak mengupas persoalan moral),18 para sufi mengungkapkan pandanganpandangan
mereka dalam bentuk puisi. Salah satu alasan mengapa para sufi
memilih puisi sebagai medium penyampaian, karena bahasa puisi dianggap
lebih mampu menampung pikiran-pikiran mereka yang kerap dianggap
anti ortodoksi. Ibn Arabi (w. 1240) adalah salah seorang sufi besar yang
menggunakan puisi untuk tujuan ini. Dia mengarang satu kumpulan puisi yang
diberi judul Tarjuman al-Asywaq (biografi kerinduan), di mana pandanganpandangan
pluralisnya tentang kebenaran semua agama diungkapkan dengan
sangat indah. Sufi lainnya adalah Jalal al-Din Rumi (w. 1273) yang menulis
magnum opus-nya dalam enam jilid buku yang dia beri judul Matsnawi (kuplet).
Dalam kumpulan puisi ini, Rumi mengungkapkan pandangan-pandangan
sufistiknya tentang Tuhan, metafisika, dan kehidupan.
Ilmu-Ilmu Agama (Ulum al-Din)
Ilmu-ilmu agama muncul akibat dari perhatian yang mendalam terhadap
sumber-sumber utama Islam, khususnya al-Qur’an dan hadis. Seperti sudah
disebutkan di atas, kajian terhadap dua sumber ini mendorong lahirnya dua
disiplin dengan segala percabangannya, yakni ‘ulum al-qur’an (tafsir, ta’wil,
qira’at, asbab al-nuzul, dll) dan ulum al-hadith (hadits, mustalah al-hadist, isnad,
matan, jarh wa al-ta’dil, dll). Sementara perhatian terhadap tema-tema tertentu
dalam dua sumber utama itu memunculkan dua cabang ilmu lain, yakni Fikih
(ushul fiqh, faraid, dll) dan Ilmu Kalam (aqaid, tauhid, dll). Ilmu Kalam sebetulnya
tidak lahir dari kajian terhadap al-Qur’an maupun hadis, tapi merupakan disiplin
yang muncul akibat situasi politik yang terjadi pada masa-masa awal sejarah
18 Puncak dari genre ini adalah karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ihya ‘Ulum al-Din, yang kerap
dianggap sebagai buku tasawuf yang mengajarkan nilai-nilai etika tinggi.
11
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Islam. Namun dalam perkembangannya kemudian, tema-tema kalam banyak
terinspirasi dari pengkajian yang mendalam terhadap al-Qur’an dan hadis.
Perhatian kaum Muslim terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak masa
Nabi, ketika kitab suci itu masih berbentuk potongan-potongan ayat. Sebagai
kitab yang utuh, al-Qur’an baru terbentuk pada masa Abu Bakar dan
kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Disiplin pertama
yang dihasilkan langsung akibat interaksi kaum Muslim terhadap al-Qur’an
adalah Tafsir. Sebelum ditulis secara sistematis, Tafsir disampaikan secara
oral di lingkar-lingkar pengajian. Abdullah bin Abbas (w. 688) dikenal sebagai
sahabat Nabi yang paling rajin melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an.
Kumpulan pandangannya dibukukan oleh para murid dan pengikutnya yang
kemudian dikenal dengan Tafsir Ibn Abbas. Literatur tafsir berkembang sangat
pesat. Memasuki abad kesembilan, karya-karya tafsir lengkap (30 juz) mulai
bermunculan. Salah satu pionir yang membuat kitab tafsir lengkap adalah
Ibn Jarir al-Tabari, seorang ahli al-Qur’an yang juga seorang sejarahwan
terkemuka. Kitab tafsirnya diberi judul Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Seperti
juga karya sejarahnya Tarikh al-Rusul wa al-Mulk, kitab Jami al-Bayan menjadi
rujukan para penulis tafsir yang datang setelahnya.
Para sarjana Islam membagi Tafsir kepada dua genre, yakni apa yang
disebut sebagai Tafsir Tradisional (tafsir bi al-ma’tsur) dan Tafsir Rasional
(tafsir bi al-ra’yu). Tafsir Tradisional adalah metodologi interpretasi yang lebih
mengandalkan pemahaman pada makna kata yang digali dari al-Qur’an dan
Hadis. Sementara Tafsir Rasional adalah metodologi interpretasi yang lebih
mengandalkan pada nalar dan akal pikiran. Tafsir Jami al-Bayan dikatagorikan
sebagai jenis tafsir yang pertama kendati ada banyak pandangan-pandangan
al-Tabari pribadi di dalamnya. Bahr al-Ulum karya Abu al-Layth al-Samarqindi
(w. 983), al-Jawahir al-Hasan karya Ahmad bin Muhammad al-Tsalabi (w. 1036),
Ma’alim al-Tanzil karya Husayn bin Mas’ud al-Baghawi (w. 1122), Tafsir al-Qur’an
al-Azim karya Ibn Kathir (w. 1373), dan al-Dur al-Mansur karya Jalal al-Din al-
Suyuthi (w. 1505) adalah contoh lain dari jenis Tafsir Tradisional. Tafsir Rasional
berkembang sangat pesat dan terus ditulis orang hingga hari ini. Salah satu
pengarang tafsir jenis ini adalah Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), seorang mufasir
dan juga teolog yang sangat produktif. Tafsirnya Mafatih al-Ghayb dianggap
sebagai Tafsir Rasional yang sangat kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Karya lain dari Tafsir Rasional yang banyak diajarkan di sekolahsekolah
Islam adalah al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari (w. 1144), Anwar al-Tanzil
karya al-Baydhawi (w. 1286), Madarik al-Tanzil karya al-Nasafi (w. 1310), dan al-
Bahr al-Muhit karya Abu Hayan al-Andalusi (w. 1344).
Ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk Tafsir disebut ilm al-tafsir. Meski
banyak ulama yang menganggap ‘ilm al-tafsir sebagai disiplin yang independen,
namun disiplin ini sesungguhnya merupakan bagian dari cabang ilmu yang lebih
besar lagi, yakni ‘ulum al-Qur’an. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu
tafsir seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan muhkam-mutasyabih, bisa
dijumpai dalam disiplin ilmu al-Qur’an. Upaya penulisan buku-buku ulum al-
Qur’an telah dimulai sejak abad kesembilan,19 namun pemaparannya yang lebih
komprehensif baru muncul pada abad kesebelas, ketika Ali bin Said al-Hufi (w.
19 Pada masa ini, buku-buku tentang Ulum al-Qur’an hanya mengupas tema tertentu dari studi al-
Qur’an, seperti tentang mu’jizat, tentang bacaan, tentang abrogasi, dan tentang asbab al-nuzul. Belum
ada buku khusus yang secara komprehensif membicarakan semua aspek dari disiplin ilmu ini.
12
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
1039) menerbitkan karyanya, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an.20 Satu abad setelah
al-Hufi, disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an semakin pesat berkembang dan semakin
matang sebagai sebuah cabang ilmu. Pada pertengahan abad ke-12, Abu al-
Farj bin al-Jauzi (w. 1201) menerbitkan Funun al-Afnan fi Ulum al-Qur’an, sebuah
karya yang banyak mengilhami para penulis ilmu-ilmu al-Qur’an setelahnya.
Puncak dari penulisan cabang ilmu ini berada di tangan dua sarjana, yakni
Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi (w. 1392) yang menulis al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an, dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) yang menulis al-Itqan fi Ulum al-
Qur’an.
Perhatian kaum Muslim terhadap Hadis telah mulai sejak awal sejarah
Islam. Namun demikian, upaya penulisan dan pembukuannya baru muncul
hampir tiga abad kemudian. Hal ini karena pada masa-masa awal Islam, Nabi
secara spesifik melarang penulisan hadis, karena khawatir akan bercampur
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus memang diminta Nabi untuk
ditulis.21 Kendati demikian, bukan berarti hadis-hadis Nabi tidak terjaga.
Sebelum zaman penulisan buku (asr al-tadwin) dimulai, hafalan adalah medium
paling umum yang biasa digunakan. Hadis-hadis Nabi terjaga dengan baik
dari generasi ke generasi lewat hafalan. Kesadaran untuk mengumpulkan dan
menuliskan hadis muncul pada awal abad kesembilan. Istilah ‘rihlat al-ilm’
yang muncul pada masa ini merujuk pada upaya pencarian hadis-hadis Nabi.
Para pencari hadis mendatangi penghafal dari satu kota ke kota lain. Salah
seorang pertama yang dengan gigih mengumpulkan hadis-hadis Nabi adalah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 870). Dia mengaku telah mengumpulkan
lebih dari 100 ribu hadis Nabi yang sebagian besar dia hafal. Dari jumlah ini,
al-Bukhari menyeleksi hanya sekitar 7000 hadis yang dia anggap paling sahih.
Kumpulan hadis sahihnya ini kemudian dia terbitkan dalam sebuah buku yang
dikenal dengan nama al-Jami al-Sahih. Langkah al-Bukhari ini kemudian diikuti
oleh para pengumpul hadis lainnya. Lima di antaranya mendapatkan posisi
sangat istimewa, yakni Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi (w. 874), Ibn Majah al-
Qazwini (w. 886), Abu Dwud al-Sijistani (w. 888), Muhammad bin Isa al-Turmudzi
(w. 892), dan Abu Abd al-Rahman al-Nasai (w. 915). Karya kelima orang ini plus
karya al-Bukhari dianggap sebagai buku paling berpengaruh setelah al-Qur’an.
Para ulama sangat menghormati karya-karya itu dan menganggapnya sebagai
kitab enam yang paling otoritatif (kutub al-sittah).
Upaya pencarian, pengumpulan, dan penyeleksian hadis memunculkan
cabang ilmu baru, yakni ulum al-hadist atau kadang disebut juga ilm almustalah
al-hadits. Ini adalah semacam metodologi dalam pengumpulan dan
penyeleksian hadis. Perannya sama seperti Logika bagi Filsafat, Ulum al-Qur’an
bagi Tafsir, atau Ushul Fikih bagi Fikih. Ilmu ini muncul sebagai penjelasan
dan sekaligus justifikasi terhadap buku-buku hadis yang bermunculan pada
abad kesembilan dan kesepuluh. Sebelum menjadi ilmu yang utuh, tema-tema
mustalah al-hadith sebenarnya telah ditulis para ulama. Buku-buku biografi
20 Menurut al-Zarqani (Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an), karya al-Hufi ini sebetulnya belum cukup
komprehensif karena lebih banyak menitikberatkan pada bidang tafsir saja, dan bukan ilmu-ilmu
al-Qur’an secara umum. Penamaan ‘Ulum al-Qur’an’ dalam judul bukunya, menurut al-Zarqani
juga keliru, karena yang benar, sesuai catatan Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zunun, judul aselinya
adalah ‘al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an.’
21 Pelarangan Nabi untuk menuliskan ucapan-ucapannya sesungguhnya bukan secara umum,
karena dia masih mengecualikan orang-orang tertentu untuk menulis hadis. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa Nabi mengizinkan Abu Syah, seorang sahabat Nabi yang mengaku lemah
dalam hafalan, untuk menulis hadis-hadis yang dikeluarkannya.
13
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
para perawi (ilm al-rijal) dengan segala penilaiannya (ilm jarh wa al-ta’dil) telah
beredar sejak akhir abad kesembilan. Buku-buku jenis ini terus berkembang
pesat dan mencapai puncaknya pada abad ke-15, ketika buku-buku semacam
Tahdhib al-Tahdhib karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1448) mulai menghiasi rakrak
perpustakaan Islam.
Selain buku-buku hadis, abad kesembilan juga ditandai dengan meruyaknya
buku-buku fikih. Masa ini adalah zaman keemasan fikih, karena pada periode
inilah, hampir seluruh mazhab besar fikih dilahirkan. Pada awalnya, mazhabmazhab
fikih dikenal berdasarkan kota di mana mazab-mazhab itu muncul,
seperti Mazhab Madinah, Mazhab Damaskus, dan Mazhab Kufah, tetapi setelah
abad kesembilan, penamaan mazhab itu didasarkan pada nama tokoh, seperti
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hanbali. Salah satu
alasan mengapa terjadi pergeseran ini karena semakin cairnya pergerakan
sarjana Muslim dari satu kota ke kota lain dan semakin meruyaknya pusatpusat
intelektualisme Islam, sehingga tidak ada lagi sebuah kota yang benarbenar
memiliki ciri khas dalam suatu pemikiran fikih yang berbeda dari
kota-kota lain. Selain itu, yang lebih penting lagi, pada masa ini, pandanganpandangan
fikih tidak lagi hanya disampaikan dalam bentuk verbal di halakahhalakah
keagamaan, tapi mulai ditulis secara sistematis dan disebarluaskan
ke berbagai sekolah dan perguruan tinggi Islam. Para sarjana fikih tak hanya
sekadar mengajar, tapi juga menulis buku. Salah satu pendiri mazhab yang
paling produktif adalah al-Syafii. Dia menulis al-Risalah, sebuah buku yang
menjelaskan metodologi pengambilan hukum. Ini adalah buku pertama yang
menjadi fondasi bagi disiplin Ushul Fikih. Al-Syafii juga menulis masalahmasalah
fikih secara komprehensif. Karyanya, al-Umm (induk) menjadi rujukan
penting bukan hanya untuk melihat isu-isu hukum Islam, tapi juga mencontoh
bagaimana isu-isu itu ditulis secara sistematis.
Disiplin lain yang dianggap sebagai bagian dari ilmu agama adalah ilmu
kalam atau kadang disebut juga ilmu tauhid atau ilmu aqidah. Sebagaimana
sudah disinggung di atas, Ilmu Kalam muncul akibat situasi politik yang terjadi
pada masa-masa awal Islam. Pertentangan soal siapa pengganti Nabi setelah
beliau wafat memunculkan isu kepemimpinan (imamah) yang mendorong
munculnya faksi-faksi politik. Dalam perkembangan selanjutnya, faksifaksi
politik ini, kaum Syiah (pendukung Ali), kaum Khawarij (penentang Ali),
dan kaum Murjiah (pencari jalan tengah), menjadi mazhab-mazhab teologi.
Selama dua abad pertama, teologi berkembang dalam bentuk perdebatan dan
wacana di lingkaran-lingkaran pengajian. Formulasi teologi secara sistematis
baru dilakukan setelah itu, dimulai oleh para pemikir Mu’tazilah seperti
Mu’ammar (w. 830), Abu al-Hudzayl (w. 841), dan al-Nadzam (w. 845). Puncak
penulisan teologi terjadi sekitar satu abad kemudian, ketika tiga teolog besar
mendominasi bidang kesarjaan ini, yakni Abu Hasan al-Asyari (w. 935)22 di
Baghdad, Abu Ja’far al-Tahawi (w. 935)23 di Mesir, dan Abu Mansur al-Maturidi
(w. 944)24 di Samarqand.
22 Al-Asy’ari banyak menulis buku Kalam. Di antaranya adalah al-Ibanah an Ushul al-Diyanah dan
Maqalat al-Islamiyyin.
23 Buku terkenal al-Tahawi yang menjadi rujukan kaum Muslim hingga sekarang adalah al-Aqidah
al-Tahawiyah.
24 Al-Maturidi menulis beberapa buku, di antaranya: Kitab al-Tauhid, al-Radd Awa’il al-Adilla, Bayan
Awham al-Mu’tazila, dan Kitab Ta’wilat al-Qur’an.
14
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Ilmu-Ilmu Klasik (Ulum al-Awail)
Para ulama menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut
disiplin yang bukan ilmu-ilmu agama. Sebagian mereka menyebutnya ‘ilmuilmu
rasional’ (ulum al-aqliyah), sebagian lainnya menyebut ‘ilmu-ilmu asing’
(‘ulum al-ajanib), sebagian yang lain menyebutnya ‘ilmu-ilmu keduniaan’ (‘ulum
al-dunyawiyah). Namun istilah yang paling umum digunakan pada masa-masa
awal keemasan Islam adalah ‘ilmu-ilmu klasik’ (‘ulum al-awail). Istilah ini
merujuk kepada jenis disiplin ilmu apa saja yang datang dari luar dan tidak
dikembangkan dari tradisi keilmuan Islam. Ia bisa datang dari Mesir, Persia,
India, dan Cina. Namun, sebagian besar ulama memahami istilah itu sebagai
cabang-cabang ilmu yang datang dari Yunani, khususnya Logika dan Filsafat.25
Teologi, meskipun berkembang juga di dunia luar Islam, tidak dianggap sebagai
bagian dari ‘ulum awail, karena kaum Muslim mengembangkan sendiri jenis
disiplin semacam ini yang dikenal dengan ‘ilmu kalam.’ Sebagai disiplin,
ilmu kalam muncul dan berkembang dari rahim Islam sendiri, meski dalam
perkembangannya ada interaksi dengan disiplin-disiplin spekulatif yang datang
dari luar, khususnya Logika dan Filsafat.
Buku-buku filsafat di dunia Islam mulai bermunculan pada abad kedelapan,
hanya beberapa tahun setelah proyek penerjemahan buku-buku asing dicanangkan
oleh kerajaan Abbasiyah. Pada mulanya, tradisi filsafat membonceng pada karyakarya
teologis yang terpengaruhi tradisi Helenisme. Para pemikir Mu’tazilah adalah
orang pertama yang memasukkan unsur-unsur filsafat ke dalam teologi Islam.
Sebagai aliran pemikiran yang menjunjung tinggi rasionalitas, Mu’tazilah merasa
berkepentingan untuk memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam. Namun
demikian, dalam perkembangannya, Mu’tazilah tidak pernah menjadi aliran filsafat.
Ia tetap sebagai mazhab teologi hingga masa keruntuhannya. Disiplin filsafat justru
berkembang di tangan para sarjana yang tidak terlalu peduli dengan teologi, tapi
dekat dengan ilmu-ilmu rasional. Sarjana pertama yang mengembangkan disiplin ini
adalah Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (w. 873), seorang ilmuwan serba bisa yang mendapat
julukan ‘Filsuf Arab.’ Dia menulis beberapa buku, namun yang paling penting adalah
karyanya yang berjudul ‘fi al-Falsafah al-Ula’ (tentang Filsafat Pertama). Upaya al-
Kindi dalam memperkenalkan filsafat Yunani diteruskan oleh generasi setelahnya.
Namun di antara para pemikir spekulatif yang paling menonjol adalah dua filsuf
besar: Abu Nasr al-Farabi (w. 951) dan Abu Ali ibn Sina (w. 1037). Keduanya adalah
filsuf yang sangat produktif, menulis buku dari berbagai bidang studi: filsafat, logika,
kedokteran, kimia, biologi, fisika, musik, dan puisi. Namun karya filsafat yang paling
penting dari al-Farabi adalah Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah (pandangan-pandangan
penghuni kota istimewa), dan dari Ibn Sina adalah al-Syifa (penyembuh).
Filsafat Islam di belahan timur kerajaan Islam mengalami kemunduran
setelah Ibn Sina meninggal dunia. Serangan bertubi-tubi dari ulama hadits
terhadap disiplin filsafat dan logika memberikan pengaruh yang cukup fatal
buat perkembangan filsafat. Upaya menghidupkan kembali yang dilakukan
Muhammad Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274) sia-sia, karena corak filsafat Islam
di timur semakin didominasi gerakan spiritualis. Tidak heran kalau pemikiran
filosofis yang muncul kemudian adalah corak gnostik yang lebih dekat kepada
25 George Makdisi tidak menganggap karya-karya Logika dan Filsafat sebagai bagian dari
Humaniora. Bahkan ia menganggap para filsuf besar seperti Alfarabi, al-Sijistani, dan Ibn Sina
hanya sebagai ‘praktisi humaniora amatir.’ (Makdisi, Humanisme, hal. 386). Saya tidak tahu apa
alasan dia mengabaikan karya-karya filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Padahal karya-karya filsafat
mereka justru yang paling kental berbicara tentang tema-tema humanisme.
15
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
tradisi tasawuf ketimbang filsafat. Ini bisa dilihat pada karya-karya Shihab al-
Din al-Suhrawardi (w. 1191) dan Shadr al-Din al-Shirazi atau Mulla Sadra (w.
1636) yang mengembangkan filsafat iluminatif atau filsafat transendentalisme.
Namun demikian, corak helenisme dari filsafat Islam tetap terjaga di belahan
barat dunia Islam (Andalusia). Di sini, filsafat Islam tumbuh subur kendati hanya
selama tiga abad, kerena setelah itu Andalusia mulai mengalami kejatuhan
akibat gerakan reconquista yang dilakukan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa.
Setidaknya ada tiga filsuf besar yang muncul di kawasan itu, yakni Muhammad
bin Yahya Ibn Bajah (w. 1138), Abu Bakar Ibn Tufayl (w. 1185.), dan Muhammad
Ibn Rushd (w. 1198). Mereka inilah yang menghiasi sejarah intelektualisme
Islam di daratan Iberia.
Filsafat Manusia
Humanisme dalam pengertiannya yang kedua, yakni sebagai gerakan filsafat
mendapat perhatian cukup besar dalam dua disiplin spekulatif: Teologi dan
Filsafat.26 Sebagian literatur Adab, khususnya buku-buku tentang etika dan moral,
juga memuat pembahasan tentang manusia, meskipun urainnya tidak terlalu
detil. Sebagian cabang ilmu-ilmu agama juga memuat pembahasan tentang
manusia, kendati dari perspektif yang berbeda dari filsafat humanisme yang
dipahami secara umum. Satu-satunya disiplin agama yang membahas manusia
dari sudut pandang humanisme barangkali adalah Ushul Fikih. Kendati Ushul
Fikih sebenarnya adalah ilmu yang mengulas tentang metodologi pengambilan
hukum Islam (Fikih), ia memiliki landasan filosofis tentang hukum dan bagaimana
manusia memainkan perannya dalam pembentukan hukum dan aturan. Tujuan
hukum atau apa yang biasa disebut sebagai ‘maqasid al-syariah’ pada dasarnya
adalah untuk memuliakan dan mengutamakan kebaikan manusia (maslahah).
Dalam semangat ini, manusia ditempatkan sebagai unsur penting yang tak hanya
sebagai obyek hukum, tapi juga sebagai pembuat dan penentu aturan.
Perhatian pertama tentang betapa pentingnya kedudukan manusia
barangkali dimulai ketika munculnya perdebatan tentang kebebasan (freewill).
Kaum Qadariyah adalah kelompok pertama yang menyadari betapa
pentingnya akal pikiran dan betapa pentingnya menganggap manusia memiliki
kebebasan. Kebebasan adalah kunci bagi tanggungjawab manusia di dunia ini
dan alasan untuk meyakini keadilan Tuhan. Tanggungjawab manusia hanya bisa
dimungkinkan jika mereka memiliki kehendak bebas. Eskatologi hanya bisa
bermakna jika manusia sepenuhnya bertanggungjawab apa yang dia lakukan.
Para pemikir Qadariyah seperti Ma’bad al-Juhani (w. 699) dan Ghaylan al-
Dimashqi (w. 730) meyakini bahwa manusia bukanlah mesin atau robot yang
sepenuhnya sudah didesain dan diatur oleh Tuhan. Berbeda dengan kaum
Jabariyah, para penganut Qadariyah meyakini bahwa nasib dan masa depan
manusia terletak di tangan manusia sendiri, dan bukan pada Tuhan maupun
kekuatan-kekuatan metafisis lainnya.
Harus saya katakan di sini bahwa wacana tentang kebebasan dalam Islam
berbeda dari diskursus serupa yang berkembang di dunia Barat modern. Di
dunia Islam, kebebasan adalah respon terhadap pertanyaan apakah manusia
26 Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran para Sufi besar seperti al-Jilli, Ibn Arabi, dan Jalal al-Din
Rumi bisa dikatagorikan sebagai bagian dari tradisi pemikiran Filsafat.
16
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
bebas dari campur tangan Tuhan. Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan
persoalan kebebasan berkehendak (free-will) dan ketidakbebasan
(predeterminism). Sementara di dunia Barat modern, kebebasan adalah respon
terhadap pertanyaan apakah manusia bebas dari intervensi negara dan dari
manusia lain. Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan dua konsep tentang
kebebasan yang dalam filsafat politik dikenal dengan ‘kebebasan positif’
(freedom for) dan ‘kebebasan negatif’ (freedom from). Kebebasan positif adalah
kebebasan yang memungkinkan keinginan-keinginan seseorang tercapai.27
Sementara kebebasan negatif adalah kemungkinan bagi manusia untuk
menghindar dari apa yang tidak diinginkannya.28
Negara atau manusia tidaklah menjadi unsur penting dalam pembicaraan
tentang kebebasan dalam Islam. Para pendukung teori kebebasan yang radikal
seperti kaum Mu’tazilah hanya memasukkan unsur kekuasaan Tuhan dan
mengabaikan ancaman negara atau manusia dalam perbincangan tentang
kebebasan. Negara secara institusional atau manusia secara individual tidak
pernah dianggap sebagai unsur penting yang bisa menjadi ancaman serius
bagi kebebasan seseorang. Absennya unsur negara dan manusia dalam
perbincangan tentang kebebasan dalam Islam ini memunculkan persoalan besar
yang secara telanjang dipertontonkan oleh Mu’tazilah sendiri. Terlalu dikuasai
oleh teosentrisme, Mu’tazilah membangun lembaga inkuisisi (mihnah) yang
menangkap, memenjarakan, menyiksa, dan membunuh, orang-orang yang tidak
sejalan dengan pandangan mereka. Kebebasan telah kehilangan artinya ketika
manusia dihilangkan dari wacana tentang kebebasan itu sendiri. Barangkali kita
memerlukan sedikit dosis ‘metafisika kemanusiaan’ untuk menghindari perangkap
‘metafisika ketuhanan’ dan metafisika-metafisika lain yang lebih berbahaya.29
Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam Filsafat Islam.
Para filsuf Muslim memandang manusia sebagai ukuran bagi semua hal
(mi’yar kulli syai), persis seperti yang dikatakan kaum Sofis Yunani beberapa
abad sebelumnya. Abd al-Karim al-Jilli menganggapnya sebagai ‘makhluk
sempurna’ (insan kamil), sementara Ibn Arabi memandangnya sebagai ‘pusat
alam raya’ (markaz al-kawn). Berbeda dengan Teologi yang mempertentangkan
antara Tuhan dan manusia, Filsafat Islam menganggap manusia sebagai
perluasan dari wujud Tuhan. Al-Farabi memandang manusia sebagai kulminasi
dari proses emanasi (al-fayd) yang ruwet. Manusia tidak diciptakan seperti
kita menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi
akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.30 Dalam proses kontemplasinya,
akal murni memunculkan aneka benda angkasa, seperti bintang, planet, dan
bulan. Al-Farabi membagi dunia angkasa ini menjadi dua: apa yang dia sebut
sebagai ‘dunia ekstra terestrial’ (ma fawq al-qamar) dan ‘dunia terestrial’ (ma
27 Contoh dari kebebasan jenis ini adalah kebebasan berbicara, berkespresi, berkeyakinan, dan sejenisnya.
28 Contoh dari kebebasan jenis ini adalah kebebasan dari rasa takut, dari kemelaratan, tekanan,
ancaman, dan sejenisnya.
29 Dalam makalahnya, F. Budi Hardiman mengkritik ‘metafisika kemanusiaan’ sebagai akar dari
krisis humanisme di dunia Barat modern. Menurut Budi Hardiman, humanisme telah gagal karena
terlalu berpegang pada ‘metafisika kemanusiaan,’ yakni sebuah paradigma yang memahami
manusia sebagai pusat kenyataan. Budi Hardiman memperkenalkan jenis humanisme baru yang
ia sebut ‘Humanisme Lentur,’ yakni humanisme yang steril dari metafisika kemanusiaan. Lihat
makalah F. Budi Hardiman, “Humanisme dan Para Kritikusnya.” Disampaikan dalam rangkaian
Kuliah Umum Memikirkan Ulang Humanisme di Komunitas Salihara, Sabtu 13 Juni 2009.
30 Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Masyriq, 1968.
17
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
tahta al-qamar). Yang pertama abadi sedangkan yang kedua tidak abadi. Kendati
manusia berada dalam alam terestrial yang fana (alam al-kawn wa al-fasad),
dengan akalnya dia bisa mengabstraksi dan memahami hal-hal yang jauh
berada di luar jangkauan inderanya.
Akal adalah daya (quwwah) yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Dengan akalnya manusia mampu mengetahui yang baik dan yang buruk,
yang salah dan yang benar. Dengan akalnya pula manusia berusaha mencari
kesenangan dan kebahagiaan. Menurut al-Farabi, kebahagiaan yang sempurna
tidak bisa diwujudkan secara individual, tapi harus melibatkan orang lain.
Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial. Mereka saling bekerjasama
dan tolong-menolong untuk merealisasikan kebahagiaan itu.31 Manusia
berkumpul dan membuat aturan-aturan untuk kebaikan bersama. Semakin
baik sebuah perkumpulan dan aturan, semakin mungkin kebahagiaan itu
diwujudkan. Al-Farabi berpendapat bahwa kebaikan bersama bisa diciptakan
lewat pembentukan asosiasi-asosiasi kecil seperti rukun warga, tapi kebaikan
yang lebih besar hanya bisa direalisasikan lewat pembentukan kota (baca;
negara) yang ideal (madinah al-fadilah). Negara ideal harus diatur dan dikelola
secara rasional. Pemimpinnya haruslah seorang yang sempurna, di mana dalam
dirinya bergabung kearifan nabi dan kecerdasan filsuf.32
Seluruh uraian al-Farabi tentang politik dan pemerintahan berangkat dari
konsep kebahagiaan (al-sa’adah) yang merupakan tema kunci etika Islam.
Pertanyaan yang selalu mengganggu para filsuf Muslim adalah dari mana sumber
etika dan moralitas? Apakah akal atau wahyu; nalar atau agama? Ibn Miskawayh
(w. 1030) secara tegas memilih nalar humanis sebagai sumber etika dan
moralitas ketimbang nasihat-nasihat yang diturunkan dari wahyu.33 Miskawayh
percaya bahwa ‘moral rasional’ lebih dapat menjawab dorongan-dorongan kodrati
dalam diri manusia, ketimbang aturan-aturan normatif dari agama. Yang lebih
penting dalam etika, menurut Miskawayh, bukanlah apakah seseorang mematuhi
sebuah norma, tapi bagaimana dia memahami dan menyikapi norma itu. Karena
itu, bagi Miskawayh, lebih penting memperhatikan bagaimana seorang anak
muda memilih teman-teman minumnya, ketimbang kenyataan bahwa anak itu
telah melanggar norma agama karena telah minum minuman keras.34
Pertentangan antara akal dan wahyu sebagai sumber etika menjadi
perdebatan panas dalam wacana pemikiran Islam setelah Miskawayh. Jika
akal atau nalar menjadi pegangan manusia untuk mengetahui baik dan buruk,
benar dan salah, apa gunanya agama? Ibn Rushd menarik perdebatan tentang
kontroversi akal dan wahyu dari wilayah etika ke wilayah hukum. Jika akal
manusia bisa menjadi sumber etika, maka ia juga bisa—dan bahkan lebih
layak—untuk menjadi sumber hukum. Bagi Ibn Rushd, ‘hukum rasional’
bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan dengan ‘hukum agama,’
karena aturan-aturan agama, pada dasarnya dibuat untuk kemaslahatan
manusia. Sama seperti Miskawayh, Ibn Rushd memiliki pendirian tegas ketika
31 Ibid., hal 117.
32 Ibid., hal. 120-126.
33 Pembahasan yang sangat ekstensif tentang Ibn Miskawayh dan pandangannya tentang etika dan
moral bisa dibaca dalam Mohamad Arkoun, Nuz’ah al-Ansanah fi al-Fikr al-Arabi. Beirut: Dar al-
Saqi, 1997.
34 Goodman, Islamic Humanism, hal. 110.
18
Seri Kuliah Umum | Juni 2009
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia
t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org
menyikapi pertentangan akal dan wahyu. Jika akal dan wahyu berbenturan
maka wahyu harus ditafsirkan agar sesuai dengan pemahaman akal (fa in kana
muwafiqan fa la qawla hunalika, wa in kana mukhalifan thuliba hunalika
ta’wiluhu).35 Baginya, fungsi wahyu adalah untuk kemaslahatan manusia; jika
wahyu bertentangan dengan kebaikan manusia tak ada pilihan lain kecuali
menafsirkannya agar sesuai dengan kebaikan itu.
Kebaikan manusia atau yang dalam bahasa fikih disebut ‘maslahah’ menjadi
perhatian utama para sarjana Muslim setelah Ibn Rushd. Maslahah dianggap
sebagai salah satu rujukan penting dalam penentuan suatu status hukum.
Sebagai sumber hukum, kedudukan maslahah sama dengan al-Qur’an, Hadis,
Ijma, dan Qiyas, meski berbeda secara degree. Para sarjana hukum Islam seperti
Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 1262), Najm al-Din al-Thufi (w. 1324), dan Abu
Ishaq al-Syathibi (w. 1388), meyakini bahwa tujuan hukum (maqasid al-syari’ah)
pada akhirnya adalah untuk memuliakan manusia dan memberikan landasan
bagi mereka untuk hidup secara pantas dan terhormat. Dalam kata-kata Abd
al-Salam: “seluruh ketentuan agama diarahkan sebesar-besarnya untuk
kemaslahatan manusia” (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-‘ibad).36
Para ulama ushul menyebut lima hak dasar yang menjadi landasan hukum
Islam, yakni hak hidup (al-nafs), hak beragama (al-din), hak berpikir (al-‘aql),
hak milik (al-mal), dan hak menjaga nama baik (al-‘irdh). Kelima hak dasar ini
merupakan nilai universal yang tak hanya diperhatikan para fuqaha Muslim
saja. Pada abad ke-17, John Locke (w. 1704), filsuf Inggris, mengakui pentingnya
kelima hak dasar itu dan meringkasnya menjadi tiga, yakni hak hidup (life), hak
bebas (liberty), dan hak milik (property). Dalam beragam bentuk, kelima hak dasar
ini kemudian diadopsi oleh dokumen-dokumen penting dunia, seperti Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat37 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.38
Dr. Luthfi Assyaukanie. Dosen filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Paramadina
dan Deputi Direktur Freedom Institute, Jakarta. Buku terbarunya, Islam and the Secular
State in Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit ISEAS, Singapore (2009).
Makalah ini disampaikan dalam rangkaian Kuliah
Umum “Memikirkan Ulang Humanisme” di Komunitas
Salihara, Jakarta, Sabtu 27 Juni 2009. Makalah ini
milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun.
35 Artinya: “jika tak ada pertentangan antara wahyu dan akal maka tak ada yang perlu dikatakan. Tapi,
jika ada pertentangan, maka wahyu haruslah ditafsirkan.” Lihat Fasl al-Maqal, [tanpa tempat dan
tahun], hal. 7.
36 Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam. Beirur: Dar al-Jil, [tanpa
tahun], Juz II, hlm. 72.
37 Deklarasi kemerdekaan AS ditulis oleh Thomas Jefferson. Kata-kata yang digunkan adalah “Life,
liberty, and the Pursuit of Happiness.” Di Amerika, ketiga hak ini dianggap sebagai “hak-hak
yang tak bisa ditawar-tawar” (inalienable rights).
38 DUHAM mendaftar banyak hak-hak dasar manusia. Tapi, sebagian besar penjabaran pasal-pasal
DUHAM tidak jauh dari lima hak dasar yang dijabarkan para ulama Muslim.
*Luthfi Assyaukanie
SOCIALIZE IT →