BY : ROBBAH MA (Anggota 2012)
Momentum puncak peringatan hari kemedekaan Indonesia, 17 Agustus akan segera digelar. Tujuhpuluh tahun sudah Republik Indonesia berdiri. Berbagai peristiwa, baik permasalahan atau prestasi turut hadir mewarnai dinamika negeri beserta jutaan rakyatnya.
Bersamaan
dengan dinamika itu, yang perlu menjadi catatan adalah, hampir di setiap momen,
permasalahan negeri yang dikaji kebih banyak berkutat pada permasalahan seputar
ekonomi, politik, dan kesehatan semata. Hal tersebut memang penting. Tetapi sebenarnya
ada sisi lain yang jarang terjamah oleh kita yang justru menjadi kunci dari
segala aspek kehidupan di negeri ini, baik pada sektor apapun. Sisi lain itu
adalah nasionalisme.
Permasalahan
semacam pejabat yang tidak hafal Pancasila, atau pejabat yang lupa lagu
kebangsaan Indonesia Raya lazim diibaratkan semacam balon yang ketika meletus
membuat orang kaget, dan setelah itu diabaikan. Tak pelak, kejadian tersebut
hanya sekedar menjadi pembicaraan dan tentu tidak ada respon lanjutan, sehingga
hilang begitusaja.
Nasionalisme adalah faham kebangsaan, faham cinta akan
tanah air. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno (1964) menyatakan
bahwa nasionalisme kita (baca: bangsa
Indonesia) bukanlah nasionalisme yang sempit, bukan nasionalisme yang timbul
daripada kesombongan bangsa. Soekarno melanjutkan, bahwa nasionalisme kita merupakan
nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan
rasa hidupnya sebagai suatu bakti.
Sementara
Yamin (2009) memaparkan, bahwa bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, semasa
hidupnya menggagas sebuah pendidikan yang menenkankan pada dimensi pemeliharaan dan pengembangan benih-benih
persatuan dan kesatuan bangsa. Ki Hajar juga menyatakan bahwa pendidikan harus
mampu menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan
kepentingan bangsa diatas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan
sempit.
Apa
yang disampaikan oleh dua tokoh bangsa diatas patut menjadi renungan kita.
Nasionalisme ala Soekarno sudahkan tertanam di jiwa segenap bangsa ? Atau gagasan
Ki Hajar Dewantara sudahkah terwujud dalam pendidikan kita ? Hal semacam ini hampir
dapat dipastikan ‘hilang’ termakan euforia perayaan di setiap tahunnya.
Munculnya
gerakan radikalisme yang tersebar hingga ke daerah, merupakan ancaman nyata
bagi nasionalisme. Setali tiga uang, embrio gerakan ini semakin bermunculan dan
mendapat tempat di hati bangsa Indonesia. Dan repotnya, gerakan semacam ini hanya
mendapat sorotan ketika booming, dan setelah itu tidak ada penguraian
masalah.
Cerdas
Berlomba
Kita sepakat, bahwa tidak hanya bangku madrasah yang bisa
menanamkan nasionalisme. Banyak media lain yang dapat digunakan sebagai sarana
untuk menumbuh-kembangkan jiwa cinta tanah air. Tradisi perlombaan menjelang
puncak peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia menjadi salah satunya.
Perlombaan
semacam panjat pinang, gerak jalan, balap karung, makan kerupuk dan sekian
lomba lain untuk turut memeriahkan hari jadi negeri sudah akrab di lingkungan
kita. Namun yang kurang disadari oleh peserta atau bahkan penyelenggara adalah
apa sebenarnya yang ada dibalik perlombaan tersebut.
Jarang
sekali kita temui penyelenggara lomba yang menjelaskan filosofi dari sekian lomba
yang dicanangkan. Tentu tidak elok kita merayakan suatu hal namun tidak mengerti
substansi dari perayaan yang kita rayakan. Lalu bagaimana jika ‘kebiasaan
buruk’ ini berlanjut ke generasi selanjutnya ?
Seiring
berjalannya waktu makna kemerdekaan akan terkikis. Momentum peringatan
kemerdekaan merupakan alat untuk merenungi, menghayati perjuangan para pahlawan
yang gugur demi kemerdekaan. Kalimat “Bangsa besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya” harus dimaknai dengan penghayatan yang
dalam. Bukan sekedar menempel foto di dinding atau mengenakan kaos/ souvenir
yang terdapat foto pahlawan.
Idealnya,
sebelum perlombaan digelar, penyelenggara menjelaskan apa yang sebenarnya terkandung
dalam perlombaan tersebut. Mengapa di pucuk pinang terdapat bendera merah
putih? Hal ini didasari oleh penghayatan bahwa untuk meraih sang saka merah
putih perlu perjuangan dan segenap elemen bangsa (direpresentasikan oleh tim)
harus bahu membahu demi meraih apa yang dicita-citakan bersama. Lalu apa yang
terkandung dalam lomba gerak jalan? Sesungguhnya untu mencapai ‘finish
kemerdekaan’ perlu perjalanan panjang, dan ketahanan fisik dan mental. Apakah
kita menyadarinya ?
Berangkat
dari kondisi yang demikian, maka kita harus mau untuk ‘merumuskan ulang’ sekian
kegiatan yang telah dicanangkan. Agar makna peringatan kemedekaan benar-benar
tersampaikan. Kalau perlu ganti perlombaan yang tidak relevan dengan semangat
kemedekaan.
Bagaimanapun, dengan
tertanamnya nasionalisme, cinta akan tanah air, kepada seluruh elemen bangsa
maka masa depan Republik Indonesia akan lebih cerah. Melakukan tindak korupsi
sama saja menghianati negeri. Membuang sampah seenaknya, pertanda rela tanah
air sengsara. Dan yang kita harapkan bersama, sikap berani menggugurkan
kepentingan pribadi demi kemakmuran negeri perlahan akan terwujud.
Selamat berlomba !
SOCIALIZE IT →