Sebuah meja bundar terbuat dari pohon mahoni asli buatan dari sebuah kecamatan di daerahku sendiri, dan di kelilingi oleh 5 kursi yang juga terbuat dari kayu. Saat makan bersama seperti inilah kami bisa berkumpul bersama setelah melakukan aktivitas masing-masing. Ada bapak tidak duduk di kursi depan karena tidak ada depan dan samping di meja makan sederhana rumah kami, ada ibu, ada adik perempuanku yang masih sekolah dasar kelas 5 di sekolah dasar bertempat di desa kami, dan sebelumnya ada abangku yang sekarang sudah menikah dan tinggal bersama istrinya di kabupaten T dan bekerja sebaga pegawai negeri di pemerintah kabupaten tempat dia tinggal, sudah hampir setengah tahun dia menikah dan tinggal di sana, jadi, malam ini hanya ada kami berempat.
Di meja bundar inilah setiap malam kami makan bersama karena dari pagi dan sore kami jarang bisa makan bersama, dan saat makan malam seperti ini biasanya kami bercerita, mengobrol tentang apapun bahkan kadang bapakku mengobrol masalah Negara yang aku dan adikku hanya menjadi pendengar setia saja, karena tidak mengerti apa yang di bicarakan ayah dan ibuku. Tentang BBMlah, tentang DPRlah, tentang perang antara amerika dan musuhnyalah. kalau menurutku meja makan bundar ini seolah konferensi meja bundar saat diplomasi untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia dulu seperti yang pernah dikatakan guru pendidikan dan kewarganegaraanku.
Biasanya setelah makan seperti ini ibuku menyuruh aku dan adikku untuk belajar, dan khusus adikku stetlah belaja di suruh tidur tetapi kebanyakan adikkku tidak mau tidur setelah belajarnya selesai. Sedangkan aku selalu menjawab bahwa aku sudah memimilih buku untuk besok.
Malam ini setelah makan bapak mengajakku bermain skak di depan rumah, di meja kecil dan di kelilingi 3 kursi di utara, timur dan selatannya. Bermain skak seperti ini sering aku lakukan dengan bapakku meskipun tidak setiap hari kalau dahulu saat masih ada abangku aku bergantian dengan abangku untuk melawan bapakku untuk bermain skak. Bapakkulah yang mengajari kami bermain skak sejak kecil, dulu ketika masih kelas 3 dan 4 sekolah dasar aku hanya jadi penonton permainan bapak dan abangku, tetapi sejak kelas 5 aku mulai di ajari bapakku bermain permainan yang berasal dari eropa ini.
“Kamu mau teh atau kopi lang?” Tanya ibu padaku. “teh saja bu” jawabku. Kalau sudah bermain skak seperti ini ibu pasti membuatkan minuman untuk kami biasanya di temani dengan ketela rebus yang banyak terdapat di sawah. Kalau bapakku tidak usah di Tanya, beliau pasti minum kopi. Dulu pernah aku Tanya pada bapakku kenapa beliau sangat menyukai kopi. Jawaban beliau adalah “dengar wira (nama panggilan kesayangan bapakku karena nama lengkapku adalah Muhammad wira galang) kopi adalah minuman rakyat seperti kita, dahulu kala kopi adalah minuman para bangsawan di seluruh dunia tetapi lambat laun kopi menjadi minuman rakyat biasa bahkan menjadi symbol perlawanan, dahulupun raja-raja jawa penikmat kopi sampai bung karnopun juga penikmat kopi wira, dari dahulu kalapun kopi adalah minuman nenek moyang kita. jadi, kita harus melestarikannya”.
Kalau sudah seperti itu bapakku seperti seorang orator ulung di depan para pendengarnya yaitu aku, akupun hanya bisa diam mendengarkan dengan seksama, tidak boleh menyela karena kalu seperti itu bapakku tidak mau ada yang menyela. Meskipun aku hanya paham tidak sampai separuhnya mungkin.
Setelah menata skak pada posnya masing-masing, bapakku menggunakan pion berwarna hitam dan aku yang pion putih. Giliranku pertama, akupun memajukan prajuritku depan raja 2 langkah ke depan dan permainanpun di mulai . . .
Bersambung . . .
SOCIALIZE IT →